Praktik membagikan uang atau barang untuk mempengaruhi seseorang
agar memilih seorang calon legislator atau calon presiden dalam
pemilihan umum (pemilu) – atau yang biasa disebut sebagai praktik jual
beli suara atau politik uang – begitu merajalela di Indonesia.
Penelitian doktoral saya
mengenai praktik jual beli suara di Indonesia menemukan bahwa satu di
antara tiga orang pemilih terpapar oleh praktik ini pada pemilu 2018.
Hal ini menempatkan Indonesia ke dalam peringkat ketiga negara di dunia
yang paling banyak melakukan politik uang ketika pemilu.
Saya mengolah data dari berbagai macam survei yang dilakukan antara
tahun 2006 dan 2018 dengan jumlah responden lebih dari 800.000 orang di
seluruh Indonesia.
Artikel saya berusaha menjawab mengapa praktik jual beli suara begitu
mengakar di Indonesia meski dianggap tabu oleh masyarakat dan fakta
bahwa praktik ini hanya membawa pengaruh sedikit pada hasil pemilu.
Praktik jual beli suara: masa lalu dan masa sekarang
Praktik jual beli suara sudah ada sejak pemilu pertama Indonesia pada
1955. Salah satu partai tertua Indonesia, Partai Nasional Indonesia
(PNI), yang didirikan oleh Presiden Soekarno, membagikan uang kepada tokoh-tokoh pada tingkat lokal agar bisa memenangkan pemilu.
Pada saat masa Orde Baru, membeli suara pemilih dianggap bukan strategi yang populer karena
partai politik pada saat itu melihat tidak ada untungnya melakukan
praktik ini dengan sistem pemilu yang selalu memenangkan partai
pemerintah, yaitu Golkar. Meskipun demikian, Golkar beberapa kali
dilaporkan
membagikan uang untuk memobilisasi dukungan massa.
Praktik jual beli suara hampir tidak terdengar pada pemilu 1999 ,
ketika Indonesia baru berubah menjadi negara demokrasi setelah
runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Saat itu, kompetisi terjadi antar partai,
dan bukan antar kandidat, yang menurut saya berperan penting dalam
mendorong maraknya praktik jual beli suara ini.
Saya perhatikan praktik jual beli suara mulai berkembang pada pemilu
2009, setelah pemerintah memperbolehkan individual kandidat untuk
berkompetisi di dalam pemilu. Fakta bahwa setiap kandidat bersaing tidak
hanya dengan calon lainnya dari partai yang berbeda tapi juga bersaing
dengan kandidat lainnya dalam satu partai memperparah keberadaan praktik
jual beli suara.
Praktik jual beli suara masih ada sampai sekarang. Dalam penelitian
saya di lapangan selama 13 bulan pada 2013 dan 2014, saya menemukan
kebanyakan para kandidat ini sangat terbuka dalam mendiskusikan berapa
banyak uang yang mereka bagikan kepada para pemilih dan bagaimana mereka
terlibat dalam praktik jual beli suara ini.
Praktik jual beli suara ini ada di mana-mana sehingga seorang mantan
anggota parlemen pernah menantang saya dalam sebuah wawancara agar saya
memotong jarinya jika saya bisa menemukan anggota parlemen yang terpilih
tanpa membeli suara pemilih.
Meskipun jumlah kasus praktik jual beli suara di Indonesia tinggi,
tidak banyak yang mengetahui berapa cakupannya dan bagaimana praktik ini
mempengaruhi hasil pemilu. Riset saya berusaha menjawab kedua
pertanyaan ini.
Menggunakan data survei yang dikumpulkan setelah pemilu 2014, saya
menemukan bahwa setidaknya 33% dari pemilih pernah ditawari suap. Hal
ini berarti bahwa dari 187 juta total jumlah pemilih, hampir 62 juta
orang menjadi target praktik jual beli suara. Angka ini menempatkan
Indonesia di nomor ketiga negara-negara di dunia yang melakukan praktik
jual beli suara, setelah Uganda dan Benin.
Menyebar melawan semua norma dan hukum
Di kebanyakan negara, termasuk Indonesia, praktik jual beli suara dianggap ilegal dan tabu oleh masyarakat.
Undang-Undang Pemilu yang baru saja disahkan
menganggap praktik ini sebagai sebuah bentuk kejahatan. Hukuman
maksimal bagi para pelaku adalah denda sebesar Rp48 juta dan empat tahun
penjara.
Orang yang menerima suap untuk memilih calon tertentu juga mendapat
label negatif dari masyarakat karena dianggap tidak dapat melaksanakan
mandat demokrasi yang telah diberikan.
Menyadari bahwa praktik jual beli suara bukanlah praktik yang lazim
di kalangan masyarakat, saya berasumsi bahwa akan sulit bagi saya untuk
menanyakan topik ini kepada responden karena kemungkinan besar mereka
akan berbohong karena takut dihukum dan juga diasingkan secara sosial.
Berdasarkan asumsi tersebut, saya kemudian melakukan sebuah survei
eksperimen yang diharapkan dapat mendorong pemilih untuk memberikan
jawaban yang lebih jujur. Berbeda dengan survei biasanya, survei saya
menggunakan seperangkat pertanyaan terselubung dan tidak langsung yang
tidak akan mengintimidasi responden agar mereka bisa berkata jujur.
Survei yang saya kembangkan ini berdasarkan metode yang dilakukan di
Nikaragua dan Libanon yang dibuat untuk mengantisipasi ketika responden
berbohong mengenai fakta bahwa mereka disuap.
Ternyata hasil riset saya menunjukkan bahwa asumsi saya di atas
salah. Baik menggunakan survei biasa maupun survei eksperimen, keduanya
menunjukkan bahwa pemilih Indonesia secara terbuka mengakui bahwa mereka
menerima suap untuk memilih kandidat tertentu. Hal ini menandakan bahwa
praktik jual beli suara di Indonesia tidaklah setabu seperti yang
diperkirakan sebelumnya.
Pada masa kampanye pemilu 2014, saya menjadi saksi bagaimana istilah
semacam NPWP dan golput menjadi begitu populer di kalangan para pemilih.
NPWP yang biasanya merupakan singkatan dari Nomor Pokok Wajib Pajak,
diplesetkan menjadi Nomer Piro, Wani Piro, yang diambil dari
bahasa Jawa yang artinya menanyakan kepada kandidat, mereka berani bayar
berapa agar pemilih memilih mereka.
Sementara itu, golput yang biasanya merujuk pada pemilih yang tidak
menggunakan hak suaranya, saat itu diplesetkan menjadi “golongan
penerima uang tunai”.
Meski dampaknya kecil, jumlah kasus tetap banyak
Meskipun praktik jual beli suara banyak ditemukan di Indonesia,
dampaknya pada hasil pemilu tergolong rendah. Penelitian saya
menunjukkan bahwa praktik jual beli suara ini hanya mempengaruhi sekitar
11% dari total hasil suara.
Saya menawarkan dua penjelasan mengapa hal ini bisa terjadi. Pertama,
kandidat salah target. Penelitian saya menunjukkan bahwa bukannya
menargetkan pemilih loyal, para calon justru banyak menyasar pemilih
yang tidak terikat yang belum tentu akan memberikan suara mereka.
Pemilih loyal, yang jumlahnya terbatas (hanya 15% dari jumlah seluruh
pemilih), itu juga diperebutkan oleh banyak kandidat yang bersaing,
sehingga membuat mereka sulit untuk disasar.
Kedua, kecenderungan para tim sukses (broker) untuk meraup keuntungan
dari kandidat dengan membesar-besarkan jumlah pemilih loyal juga
mengakibatkan mengapa dampak praktik jual beli suara begitu rendah.
Banyak pemilih yang disuap bukanlah pemilih yang loyal terhadap
kandidat. Pemilih ini mungkin menerima duitnya, tapi mereka memilih
calon yang lain.
Selain itu, banyak tim sukses yang bahkan bekerja untuk beberapa
kandidat, termasuk yang berasal dari partai politik yang berbeda, yang
kemudian memungkinkan terjadinya pembelotan besar-besaran.
Namun, jika praktik jual beli suara terbukti tidak efektif, mengapa masih banyak ditemui?
Dalam studi ini, saya telah menghitung bahwa rata-rata margin
kemenangan yang membedakan seorang kandidat yang lolos dengan yang
tidak, hanya 1,65%.
Jadi, jika praktik jual beli suara ternyata bisa mempengaruhi hingga
11%, tidak heran jika banyak kandidat politik masih menggunakan strategi
ini karena praktik ini mungkin saja memberi mereka kemenangan.
0 comments:
Post a Comment