Kubu petahana Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun pesaingnya Prabowo
Subianto-Sandiago Uno terus berusaha menunjukkan kelebihan
masing-masing, dan mempertanyakan pencapaian yang lainnya.
Salah
satu hal yang dianggap sebagian pihak akan terus dipakai Jokowi untuk
memenangkan masa jabatan kedua di tahun 2019 nanti adalah keberhasilan
ekonomi, seperti dalam bidang prasarana umum, misalnya.
"Pak
Jokowi sudah menginstruksikan kepada kami bahwa pilpres itu adalah ajang
demokrasi yang harus dilaksanakan oleh kita dengan cara yang
demokratis, sehat juga gembira. Kami akan terus menyusun strategi
bagaimana melakukan sosialisasi capaian-capaian prestasi Pak Jokowi
dengan angka dan data yang bersumber dari BPS," kata Maman Imanulhaq,
direktur Tim Relawan Nasional Jokowi.
"Seluruh kampanye ini harus
mengikuti aturan yang berlaku, termasuk misalnya ada yang kemarin
mengatakan bahwa sosialisasi program Pak Jokowi di bioskop itu curi start,
penggunaan publik, kita bantah. Kenapa? Karena memang menurut
peraturannya itu adalah kewajiban dari kementerian untuk
mensosialisasikan capaian-capaian kerja kinerja Jokowi dan bentuk
daripada transparansi," Maman menambahkan.
Kebijakan ekonomi Jokowi, terkait dengan infrastruktur misalnya,
dipandang sebagian pihak akan menyebabkan Indonesia lebih menjadi pasar
barang impor saja.
"Kalau infrastruktur ini tidak dibarengi dengan
pembangunan manufaktur yang terjadi adalah arus barang itu lancar
tetapi dari pelabuhan ke desa-desa, bukan dari manufaktur ke pelabuhan
untuk ekspor. Ini kalau tidak segera dibarengi dengan insentif
pembuatan kawasan-kawasan industri, maka akan jadi bumerang. Kalau
manufakturnya tidak ada, yang terjadi adalah arus barang impor yang
menjadi lancar," kata Sadar Subagyo, anggota Dewan Penasihat DPP Partai
Gerindra.
Tetapi berdasarkan data yang ada, sebenarnya tidak
dipungkiri terjadi perbaikan ekonomi selama empat tahun terakhir di
bawah Presiden Joko Widodo, kata Kresnayana Yahya, pengamat ekonomi dari
Institut Teknologi 10 November, Surabaya.
"Negara ini belum
pernah inflasi di bawah 4%, kalau sekarang ini malah di bawah 3%. Dan
itu menunjukkan stabilitas, daya beli dan ada kesamaan harga seluruh
Indonesia. Komponen ini menjadi penting untuk menunjukkan
gejolak-gejolak yang menjadi indikator ekonomi turun, itu tidak ada,"
kata Kresnayana.
"Rata-rata pertumbuhan ekonomi dalam empat tahun
ini sudah mencapai 5%. Keadaan ini merangsang timbulnya dan tumbuhnya
partisipasi masyarakat dalam perekonomian. Investasi masih masuk.
Pengangguran itu relatif kecil, di bawah 10%. Kemiskinan turun di bawah
9%. Kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin relatif itu turun,
di sekitar 0,4 atau 0,39," tambah Kresnayana yang juga ahli statistik.
Masalah agama
Selain masalah ekonomi, berbagai hal lain diperkirakan juga akan mempengaruhi pilihan yang akan diambil 187 juta warga yang memiliki hak pilih pada tahun 2019, seperti masalah agama.
Salah satu hal yang dipandang bagian
dari strategi kubu Jokowi untuk tetap berkuasa adalah memasukkan KH.
Ma'ruf Amin, tokoh Nahdatul Ulama yang saat di Majelis Ulama Indonesia
sempat mengeluarkan fatwa yang dipandang menyudutkan kelompok minoritas
seperti Ahmadiyah atau LGBT.
"Pemilihan Kiai Ma'ruf Amin bukan
pemilihan simbol, tetapi lebih kepada kualitas. Bahwa Pak Jokowi sangat
mengetahui posisi tokoh agama itu di Indonesia sangat penting, karena
nilai-nilai agama itu penting dalam kehidupan di Indonesia," kata Maman
Imanulhaq.
"MUI melakukan keputusan itu tidak berdasarkan personal
tetapi keputusan bersama yang di dalamnya mungkin ada kelompok-kelompok
yang ekstrem radikal," Maman membela lebih jauh pemilihan Ma'ruf Amin
sebagai pasangan Jokowi untuk memenangkan pilpres.
Sementara pihak Prabowo yang dipandang dekat dengan kelompok ulama
tertentu memang dikenal menggunakan isu ini untuk mendapatkan kekuasaan,
misalnya saat Gerindra menjadi salah satu pihak yang menjatuhkan mantan
Gubernur Jakarta Tjahaya Basuki Purnama.
"Kami akan fokus di
ekonomi. Kami tidak menggunakan isu-isu SARA itu. Tidak semua yang
melontarkan isu SARA, mengenai TKA dan semuanya itu adalah berasal atau
secara resmi dari kubunya Pak Prabowo. Itu hanya terjadi pada waktu
pemilihan DKI," Sadar Subagyo Sadar, yang juga pengusaha TI dan
Sekretaris Jenderal DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, menegaskan.
Suku,
agama, ras dan antar golongan memang merupakan komoditas politik yang
kadang ampuh, tetapi berpotensi untuk memecah belah masyarakat, kata
Prof Dr I Gede Pantja Astawa, ahli hukum tata negara Universitas
Padjadjaran, Bandung.
"Pertarungan politik merebut kursi presiden
itu, apapun akan dilakukan. Boleh, sah-sah saja. Cuma jangan kemudian
menghalalkan segara cara. Menghalalkan ajaran Machiavelli. Itu nanti
akan sangat merusak. Tolong diperhatikan, ke depan kita berpikirnya.
Jangan karena nafsu ingin berkuasa dan demikian besar libidonya untuk
berkuasa apapun dilakukan," kata I Gede Pantja Astawa.
Media sosial atau serangan fajar?
Salah satu alat penggalangan dukungan politik yang semakin meningkat pengaruhnya adalah penggunaan media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Cara ini dilakukan berbagai pihak termasuk para sukarelawan Jokowi.
"Kita akan terus melakukan sosialisasi ini, kampanye ini
baik lewat udara, lewat penggalangan sosial media dan juga lewat darat, door to door.
Kami juga melakukan edukasi politik dan juga pelatihan-pelatihan,
seperti pelatihan saksi sehingga pilpres ini betul-betul menghasilkan
pemimpin yang bermartabat, berkualitas dan berdaulat, " kata Maman
Imanulhaq, pimpinan tim yang jumlahnya sudah mencapai 425 organ relawan,
baik di pusat maupun daerah.
Kelompok Prabowo berusaha menjangkau
kelompok milenial dan para "emak-emak" juga dengan menggunakan cara
yang sama, selain kampanye dari pintu ke pintu.
"Kami ini berada
di oposisi maka kami akan lebih banyak menggunakan media sosial. Lima
puluh lima persen pemilih itu adalah golongan milenial yang sekarang
sangat akrab dengan media sosial," kata Sadar Subagyo.
"Juga ada
segmen pemilih yang selama ini kurang begitu tersentuh, kami akan
mengarah ke sana, yaitu yang kami sebut pasukan emak-emak yang sekarang
sangat merasakan gejolak kemandegan ekonomi yang terjadi. Mesin politik
akan bergerak sampai ke tingkat-tingkat desa dan RT. Gerakannya lebih ke
arah door to door," Sadar Subagyo menjelaskan lebih jauh.
Tetapi apakah strategi memang akan efektif dalam memenangkan
pemilihan presiden tahun 2019? Prof. Dr. I Gede Pantja Astawa dari UNPAD
mengatakan masing-masing pihak akan menggunakan medsos yang isinya akan
disesuaikan dengan kepentingan masing-masing tempat.
"Masing-masing
kubu pasti sudah mempetakan kekuatan lawan, kelemahan lawan, kemudian
daerah-daerah mana yang menjadi mayoritas dukungan. Isu apa yang bisa
dimunculkan, misalnya di daerah Kalimantan. Ketika dua kubu ini
memanfaatkan media, media elektronik, media cetak maupun media sosial
kalau bisa menahan diri terhadap isu-isu SARA," kata I Gede Pantja
Astawa.
Sementara Kresnayana dari Institut Teknologi 10 November,
Surabaya memandang kelompok di atas 35 tahun tidak mendasarkan pilihan
pada data.
"Sudah ada masyarakat yang cikal bakalnya itu tidak percaya, tidak trust pada data. Dan kelompok ini, maaf, cukup besar yang menggambarkan pokok e,
sudah apriori pada orang dan tidak punya nalar yang waras. Hal-hal
seperti ini pada kelompok umur yang di atas 30 -35 ini masih sedang
berlangsung dan mereka memang tidak punya pendirian," kata Kresnayana.
0 comments:
Post a Comment