SIAPAPUN pasti bingung dan gelisah ketika sedang dihimpit berbagai
macam persoalan serius. Saat pertama yang dihadapi setiap orang ketika
ketika menghadapi persoalan adalah adalah akal empiriknya dan rasio
untuk segera mencari solusi dari masalah yang dihadapinya.
Saat-saat seperti itulah manusia akan berada pada titik balik
kehidupan. Jika dia mengingat Allah, niscaya dia akan memulai babak baru
di mana hidupnya akan senantiasa diberkahi. Namun manakala dia
berpaling dari-Nya, niscaya dia akan sengsara untuk selama-lamanya.
Suatu hari, ada seorang seorang pengusaha sukses yang sedang
menghadisi sebuah seminar. Saat itu, ia bercerita tentang bagaimana awal
mula memulai bisnis yang kemudian berkembang menjadi begitu besar.
Ia bercerita, bahwa usahannya dimilai dengan niat untuk mendapat ridha Allah SWT.
Niat itu hadir berawal dari sebuah buku yang pernah dibacanya. Dalam buku itu dikisahkan ada seorang Muslim yang ketika di dunia mati syahid. Namun sayangnya, ia tidak seperti orang-orang yang syahid lainnya. Ketika orang yang mati syahid telah masuk surga, ia tertahan di depan pintu surga.
Niat itu hadir berawal dari sebuah buku yang pernah dibacanya. Dalam buku itu dikisahkan ada seorang Muslim yang ketika di dunia mati syahid. Namun sayangnya, ia tidak seperti orang-orang yang syahid lainnya. Ketika orang yang mati syahid telah masuk surga, ia tertahan di depan pintu surga.
Rasulullah yang menyaksikan kejadian itu (saat beliau di mi’rajkan
oleh Allah) langsung bertanya kepada Jibril. “Wahai Jibril, mengapa
orang itu tertahan di depan pintu surga?” Jibril menjawab, “Itu adalah
umatmu yang mati syahid. Ia tertahan karena di dunia ia belum sempat
menyelesaikan (melunasi) hutang-hutangnya.”
Saat membaca buku yang dikisahkannya, pengusaha sukses itu dalam
kondisi banyak hutang. Bahkan karena begitu banyaknya hutang yang harus
ia lunasi, sekiranya semua aset yang dimilikinya terjual dengan harga
mahal, uang penjualan yang diperolehnya pun belum cukup untuk melunasi
hutangnya.
Lalu apa yang pengusaha itu lakukan? Ia langsung merenung dan
berniat, bahwa dirinya harus segera berupaya semaksimal mungkin untuk
bangkit dan menyelesaikan hutang-hutangnya agar Allah ridha kepadanya.
Sembari terus berusaha melakukan ikhtiar (usaha, kerja keras)
pengusaha itu pun berupaya serius meyakinkan hati setiap hari bahwa
Allah pasti akan membantunya melunasi hutang-hutangnya.
Dengan tekad bulat, ia terus bersungguh-sungguh. Bahkan siang dan malam-pun ia hiasi dengan selalu dzikrullah (mengingat Allah).
Malang tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak. Akibat kecintaan
terhadap dzikrullah pun memberikan hasil. Suatu saat ia mendapat ilham
bahwa untuk bisa survive (sukses dalam bisnis) ia harus memiliki
kemampuan untuk bisa membina hubungan baik dengan sesama. Siapapun,
kapanpun dan di manapun.
Ia tahu, pemahaman seperti ini hampir setiap orang mengetahuinya, namun tidak banyak yang mampu melakukannya.
Ternyata benar, kemampuan menjalin hubungan baik itu berhasil
menjadikan segala bentuk usaha bisnisnya mencapai keuntungan maksimal.
“Dan kemampuan membina hubungan baik ini tidak akan dimiliki kecuali
oleh orang-orang yang selalu mengingat-Nya,” ucapnya mengenang.
Atas dasar pengalaman empiris tersebut, akhirnya pengusaha itu
berpesan kepada generasi muda yang hadir dalam forum di mana ia hadir
sebagai nara sumbernya, agar senantiasa berusaha mencintai dzikir kepada
Allah. Karena hanya dengan dzikir manusia bisa mengendalikan emosi dan
egonya, sehingga ia akan mampu menjadi insan yang berakhlakul karimah.
“Jangan ragu untuk menjual diri kita (dalam konteks kebenaran
tentunya), dengan berhias melalui akhlak yang mulia, tutur kata dan
perilaku yang sopan lagi santun, membangun mental bekerja yang tangguh,
pemberani, dan tidak mudah putus asa, serta membangun kredibilitas di
hadapan siapapun, kapanpun dan dimanapun, termasuk di hadapan keluarga.
Sejak itu, seiring kecintaan pada dzikrullah, usahanya kembali
merangkak nai, Sejak itu, sekecil apapun aktivitas yang dilakukannya, ia
selalu iringi dengan dzikir. Bahkan di setiap pagi hari, usai
mendirikan sholat subuh, ia selalu berdzikir kepada-Nya dengan sepenuh
hati mengakui kekurangannya, kebodohannya, dan kelemahannya di hadapan
Allah SWT yang Maha Mulia Lagi Maha Bijaksana.
Obat Hati
Keutamaan dzikir memang telah dijanjikan sendiri oleh Allah SWT. Nabi
bahkan menyebutnya sebagai obat. Allah bahkan menyebutkan sendiri, jika
menyebut Allah (dzikir) dapat membawa ketenangan dan menyembuhkan jiwa :
“Menyebut-nyebut Allah adalah suatu penyembuhan dan menyebut-nyebut
tentang manusia adalah penyakit (artinya penyakitakhlak).” (HR.
Al-Baihaqi)
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram.” [QS: Ar Ra’d (13):28]
إِنَّ الَّذِينَ عِندَ رَبِّكَ لاَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُونَهُ وَلَهُ يَسْجُدُونَ
“Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri
dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan
petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS.al-
A’raf ( 7): 205).
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Aku akan bersama
hamba-Ku selama ia mengingat-Ku dan kedua bibirnya bergerak karena Aku.”
(HR. al-Baihaqi).
Tidak ada jalan pintas untuk mendapat rahmat-Nya (sukses dan bahagia
dunia akhirat) kecuali dengan membiasakan diri berdzikir kepada-Nya.
Sesungguhnya, kehadiran Allah pada kita, tergantung sikap dan
persepsi kita semua kepada Nya. Jika kita senantiasa memuji dan
mengingat Nya, IA akan senantiasa berada di dekat kita. Baik dalam suka
maupun duka. Sebaliknya, kita melupakanNya, otomatis kehadiran Nya jauh
di hati dan sanubari kita. Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan;
“Jika hamba-Ku mengingat-Ku dalam hatinya, Aku pun mengingatnya dalam
hati-Ku. jika ia mengingat-Ku dalam suatu kelompok, Aku pun
mengingatnya di hadapan sekelompok malaikat yang mengiringi mereka. Jika
ia mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta. Jika ia
mendekati-Ku sehasta, Aku akan mendekatinya sedepa. Jika ia berjalan
menuju ke arah-Ku, Aku pun berlari-lari kecil menuju ke arahnya.” (HR.
Muttafaqun Alaih).
Kalau kita hiasi diri kita dengan kecintaan berdzikir dan selalu
mengingat-Nya di manapun dan kampanpun. Dengan demikian, hal ini menjadi
obat dan menjadikan hidup kita lebih tenang dan bahagia. Wallahu
a’lam.*/Imam Nawawi
0 comments:
Post a Comment