![]() |
Mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR saat unjuk rasa Jakarta, Mei 1998. |
Tragedi Trisakti terus memicu gerakan mahasiswa
yang besar pada Mei 1998. Gelombang mahasiswa menuntut berakhirnya
rezim Orde Baru akhirnya tak terbendung ke Gedung DPR/MPR di Senayan,
Jakarta Pusat. Mahasiswa dari berbagai penjuru negeri ini mendatangi
Gedung DPR/MPR untuk menuntut Presiden Soeharto mundur.
Wilson
Obrigados saat itu masih berada di balik jeruji Lembaga Pemasyarakatan
Cipinang. Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu hanya bisa
menyaksikan rekan-rekannya berbondong menduduki Gedung DPR/MPR.
Wilson tak menduga bahwa gerakan mahasiswa itu merupakan titik awal tumbangnya rezim Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun.
Wilson, alumnus jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI itu menilai
gerakan mahasiswa tak berperan sendiri menjatuhkan Soeharto. Krisis
moneter yang menjerat Indonesia dan memaksa Soeharto meminta bantuan
lembaga keuangan dunia Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1997 juga
turut berpengaruh. Wilson dan sejumlah aktivis pro demokrasi saat itu
menilai bantuan IMF merupakan bentuk kekalahan Indonesia dalam mengatasi
krisis ekonomi.
Pemerintahan Soeharto melemah setelah
menandatangani perjanjian bantuan dana dari IMF. Menurut Wilson, faktor
itulah yang membuat Soeharto tidak banyak berani mengambil langkah
represif untuk meredam gerakan massa. Puncaknya terjadi ketika mahasiswa
menduduki Gedung MPR/DPR, Wilson meyakini itulah waktu yang tepat untuk
Soeharto mundur. “Tanpa mahasiswa, kalau hanya krisis ekonomi saja,
tidak cukup membuat Soeharto mundur,” ujarnya. Soeharto mundur tiga hari
kemudian.
Cerita Wilson menjadi memori setelah 20 tahun
reformasi. Kini gerakan mahasiswa seolah sepi. Wilson berpendapat telah
terjadi pergeseran cara mahasiswa dalam merespons isu-isu aktual di
tengah masyarakat pasca-reformasi.
Perubahan sistem pendidikan
disinyalir mempersempit ruang bagi mahasiswa menciptakan ruang diskusi
bagi siswa untuk mengawal agenda reformasi. “Adanya batasan waktu kuliah
dan bayaran yang makin mahal memengaruhi mahasiswa untuk lebih
pragmatis,” ujarnya.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Alghiffari Aqsa, setali tiga uang. Ia menilai terjadi pelemahan
terhadap kekuatan koalisi masyarakat sipil dan gerakan mahasiswa setelah
20 tahun reformasi. Penyebabnya, oligarki politik yang membuat sejumlah
aktivis yang turut menjatuhkan Orde Baru masuk ke dalam pemerintahan.
Baik koalisi maupun gerakan mahasiswa pun menjadi terpecah-pecah.
“Akibatnya gerakan kurang masif, bahkan dianggap remeh oleh pemerintah,”
ujarnya.
Alghiffari menilai makin terkikisnya ruang demokrasi di
lingkungan kampus terjadi setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Keinginan untuk memperjuangkan
kebebasan akademik dengan adanya otonomi kampus pun menjadi bergeser.
“Faktanya kebebasan di kampus justru hanya omong kosong belaka,” ujar
dia.
Belum lagi, Alghiffari menambahkan, intervensi pemerintah dalam
kehidupan di kampus kian nyata dengan menanamkan pengaruhnya dalam
pemilihan pimpinan tertinggi di kampus. Ini terkait dengan keberadaan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Tata Cara Pemilihan Rektor
yang mengatur jatah 35 persen suara menteri dan 65 persen suara senat
untuk pemilihan rektor. “Maka untuk menjadi rektor harus taat pada
pemerintah karena ada persentase yang besar,” katanya.
Pengaturan
itu pun berdampak pada persoalan lain. Kata Alghiffari, kampus kini
menghadapi isu soal sejumlah pimpinan yang terafiliasi pada partai
politik atau organisasi massa, baik yang berada di kubu maupun oposisi
pemerintahan. “Kampus pun menjadi tempat pertarungan politik praktis di
level elite,” ucapnya. Hasilnya, menurut dia, sempitnya ruang diskusi
dan demokrasi berdampak pada makin tumpulnya gerakan mahasiswa
pasca-reformasi.
Ia pun menilai organisasi mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil
perlu berkonsolidasi kembali setelah 20 tahun reformasi. Sebab, kata
Alghiffari, gerakan mahasiswa
diperlukan untuk mengawal dan mengontrol agenda pemerintahan, termasuk
mengawal pelaksanaan agenda reformasi. “Kalau lemah, agenda pemerintahan
tidak ada kontrol,” ujar dia.
Senada Alghiffari, Wilson pun
berpendapat lingkungan kampus perlu mewaspadai kian sempitnya ruang
demokrasi di lingkungan kampus. Sebab, menurut dia, kampus rentan
menjadi tempat kaderisasi organisasi ekstremis dan partai politik.
“Memang tidak besar, tetapi terorganisir,” ujarnya. Gerakan ekstremisme
dan menyempitnya ruang demokrasi mahasiswa, kata dia, pun menjadi
tantangan baru bagi organisasi kampus setelah 20 tahun reformasi.
0 comments:
Post a Comment