Berita-berita tentang pegawai negeri sipil (PNS) yang mangkir saat hari
kecepit, seakan menggiring kita pada pandangan umum bahwa etos kerja PNS
memang sudah sedemikian rendahnya. Hingga publik pun dengan nyamannya
menjustifikasi bahwa PNS adalah profesi yang penuh dengan kemalasan
Sanksi yang akan diterima akibat ketidakdisiplinan PNS tersebut,
ternyata hanya menjadi macan kertas belaka. Padahal sudah ada perangkat
hukum yang mengaturnya, sebagaimana telah dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan
Kode Etik PNS serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin PNS. Karena itulah PNS dalam bertindak tidak
serta-merta dapat melakukan tindakannya tersebut hanya berdasarkan
perintah dan loyalitas kepada pimpinan tetapi harus mempertimbangkan
seperangkat peraturan dan perundang-undangan yang mengikat mereka.
Padahal, PNS sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, di mana dalam
sikap, tindakan dan perilaku PNS diatur oleh seperangkat ketentuan
peraturan dan perundang-undangan. PNS diikat oleh sumpah/janji,
peraturan disiplin dan kode etik. Selama ini, PNS divonis sebagai organ
birokrasi yang paling tidak produktif, lamban, korup, dan inefisien.
Citra pelayanan publik digambarkan dengan prosedur yang memakan waktu
lama dan berbiaya mahal. Pelayanan yang mestinya menjadi fokus utama PNS
dalam fungsi abdinya sebagai pembantu masyarakat, nyaris tak pernah
bisa memberikan kepuasan.
Menyoal kinerja PNS hari ini, seakan menghadapi sebuah persoalan maha
besar yang dari tahun ke tahun tak pernah terselesaikan. Mulai dari
bagaimana melakukan rasionalisasi mengingat jumlahnya yang sudah
terlampau banyak, meningkatkan gaji untuk mencegah praktik korupsi,
maupun meningkatkan produktivitas yang selama ini boleh dikatakan masih
rendah, sampai dengan penghapusan pensiun.
Data dari Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara,
menunjukkan jumlah PNS di Indonesia telah mencapai 3,7 juta orang. Dari
jumlah tersebut, sebagaimana pernah dikaji secara mendalam mayoritas
berkinerja buruk. Bahkan, terkesan hanya mengambil gajinya tanpa
berkontribusi berarti terhadap pekerjaannya.
Hakikatnya, etos kerja mengajarkan untuk tidak memandang pekerjaan
sebagai sekadar jalan mencari penghasilan semata. Dengan bekerja, dapat
menjadi jalan untuk menemukan eksistensi, harga diri dan martabat kita
sebagai seorang manusia. Seperti diungkapkan Mochtar Lubis dalam bukunya
Manusia Indonesia yang diterbitkan sekitar seperempat abad lalu,
diungkapkan adanya karakteristik etos kerja tertentu yang dimiliki oleh
masyarakat Indonesia adalah munafik, tidak bertanggung jawab,
feodalistik, dan lemah wataknya. Selain itu, ada yang menyebut bahwa
masyarakat Indonesia memang memiliki budaya malas, budaya instan, dll.
Beberapa upaya memang bukan tidak pernah dilakukan pemerintah untuk
memperbaiki etos kerja abdi masyarakat ini. Melalui penambahan jam
kerja, diharapkan bisa menggenjot produktivitas PNS. Namun, meskipun
penambahan jam kerja bagi PNS dianggap sebagai salah satu solusi
meningkatkan etos kerja, yang terpenting sesungguhnya adalah hasil
kerja. Sebab, penambahan jam kerja tidak akan efektif jika hanya
menjadikan PNS bosan di kantor.
Pada kenyataannya waktu tersebut sering “dicuri” untuk main game,
menjelajahi Facebook atau Twitter, bahkan jalan-jalan ke pusat
perbelanjaan. Di samping itu, proyek lima hari kerja yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995, tidak mampu
meningkatkan efisiensi pelayanan kepada publik dan mengangkat kinerja
aparatur negara. Pemberlakuan lima hari kerja dengan melalui
pertimbangan efisiensi dan efektivitas kinerja terkesan tidak efektif,
Sebagai perbandingan, di Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam
telah menerapkan waktu kerja di atas 40 jam per pekan. Jam kerja pegawai
negeri di Malaysia mencapai 42 jam per pekan. Bahkan, negara Vietnam
telah menerapkan 50 jam kerja per pekan terhadap pegawai negerinya.
Sementara di Indonesia hanya 37,5 jam per pekan, itu pun kalau betul
dilaksanakan. Kenyataannya waktu itu sering “dicuri” untuk main game,
facebook-an, belanja ke mal atau membolos di waktu-waktu khusus seperti
sehabis cuti Lebaran. Sehingga, tidaklah mengherankan apabila kajian
yang dilakukan Kementerian PAN beberapa waktu lalu, menyebutkan
produktivitas PNS di Indonesia sangat rendah dan buruk.
Beberapa negara juga mengalami problem rendahnya etos kerja dan
produktivitas PNS. Ini menjadi alasan bagi dilakukannya reformasi
terhadap pola pembinaan sumber daya PNS. Penelitian Personel Policy
Study Group of the European Group of Public Administration (2008),
menemukan adanya problem efisiensi kerja di sepuluh negara Eropa yang
selama ini dianggap telah maju manajemen SDM-nya.
Paradigma baru yang perlu dikembangkan, seperti juga sudah dilakukan
di banyak daerah di wilayah Indonesia adalah efisiensi birokrasi.
Perampingan yang diarahkan pada peningkatan profesionalisme dan juga
produktivitas. Bukan rahasia lagi sekarang ini banyak PNS setengah
menganggur ataupun kurang memiliki kemampuan sesuai bidang tugasnya.
Adanya sebuah paradigma baru juga mengarahkan pada fungsi
kewirausahaan karena hakikatnya sebagai pelayan dan abdi masyarakat.
Bukan waktunya lagi memolitisasi atau berpikir secara politis. Birokrasi
harus sesegera mungkin melakukan reformasi kelembagaan dan revitalisasi
semangat dan kesadaran PNS dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
Terkait dengan perbaikan etos kerja PNS, banyak pihak menyarankan
gaji dan tunjangan kepada para PNS didasarkan pada kinerja atau
produktivitasnya, guna menciptakan sistem kerjanya. Jika tidak, maka
etos kerja mereka tetap tidak akan menciptakan iklim yang kondusif bagi
produktivitas PNS, karena rajin atau malas sama saja.
Selain itu, bisa saja PNS berpikir lebih suka melakukan pekerjaan di
luar tugasnya sebagai PNS, asal statusnya tetap PNS dan gajinya sebagai
PNS tetap diterima secara penuh. Kalau demikian, sungguh lebih nikmat
menjadi PNS malas. Walau malas dan bekerja sesukanya, gajinya tetap
penuh.
Sudah saatnya pemerintah membuat proyek-proyek percontohan bagaimana
sistem penggajian PNS yang didasarkan pada kinerja dan produktivitas
berjalan. Semoga tulisan ini dapat dijadikan bahan renungan para PNS
untuk berbuat lebih baik lagi dalam bekerja dan memberikan pelayanan
prima kepada masyarakat.
Sindu Adi Pradono SH
Pengamat Kebijakan Publik
Sindu Adi Pradono SH
Pengamat Kebijakan Publik







0 comments:
Post a Comment