JAKARTA – Arswendo Atmowiloto telah berpulang dalam
usia 70 tahun. Arswendo dikenal sebagai sastrawan produktif dengan
kelincahan ide-ide liar. Dia merupakan sastrawan yang menulis dalam
bentuk cerpen, novel, naskah drama, dan skenario film
Penyair kondang Prof Sapardi Djoko Damono pernah bercerita, Arswendo
mampu membuat cerpen dalam setengah jam. Itu pun masih jaman mesin
ketik. “Wendo itu luar biasa. Pernah satu media pesan cerpen ke dia,
tapi dia lupa. Terus dia bilang, suruh menunggu setengah jam saja.
Benar, cerpennya jadi,” kata Sapardi.
Dalam hal produktivitas, diakui Sapardi, memang luar biasa. Selain
itu, ia juga menyebutkan soal ide-idenya yang liar dan menarik. Ia
memberikan contoh dalam novel terkenal Arswendo, yang bertajuk ‘Senopati
Pamungkas’. Menurut Sapardi, dalam novel itu mengambil sisi cerita
silat dan mengempatkan tokoh-tokoh yang di luar sejarah.
Novel Senopati Pamungkas itu sendiri sebelumnya pernah dimuat di
majalah HAI pada 1984. Dua tahun kemudian, kisah silat itu dijadikan
buku. Settingnya jaman akhir Singasari di era Raja Kertanegara, dan
kemudian berlanjut ke awal Majapahit.
Sekilas ceritanya disebutkan, Baginda Raja Sri Kertanegara membawa
Keraton Singasari ke puncak kejayaan yang tiada taranya pada awal
sejarah keemasan. Pasukan Tartar yang berhasil menaklukkan dunia
dipecundangi.
Umbul-umbul berlambang singa berkibar ke seberang lautan. Idenya
mendirikan Ksatria Pingitan, semacam asrama yang mendidik para prajurit
sejak usia dini, menghasilkan banyak ksatria. Di antaranya Upasara
Wulung, yang sepanjang usianya dihabiskan di situ.
Upasara Wulung terlibat dalam intrik Keraton, perebutan kekuasaan,
pengkhianatan, keculasan, terseret arus jago-jago kelas utama: mulai
dari Tartar di negeri Cina, Puun Banten, puncak gunung, dengan segala
ilmu yang aneh. Juga lintasan asmara yang menggeletarkan.
Ilmu segala ilmu itu adalah Tepukan Satu Tangan, di mana satu tangan
lebih terdengar daripada dua tangan. Di banyak negara diberi nama
berbeda, tetapi intinya sama. Pasrah diri secara total.
Dia diangkat sebagai senopati oleh Raden Wijaya, yang mendirikan
Majapahit dengan satu tekad: “Seorang brahmana yang suci bisa bersemadi,
tetapi seorang ksatria mempunyai tugas bertempur, membela tanah
kelahiran.”
Belakangan, novel itu dicetak ulang dengan ukuran fisik lebih besar dan lebih tebal.
0 comments:
Post a Comment