![]() |
Defisit Perdagangan - Pangan Bakal Dijadikan Senjata Perang Dagang
|
JAKARTA – Persoalan pangan Indonesia semestinya tidak hanya dilihat
dari kepentingan menjaga inflasi demi melindungi masyarakat konsumen,
namun pada akhirnya mengorbankan nasib petani sebagai rakyat dan
produsen pangan. Apabila hanya untuk mempertahankan inflasi tetap
rendah, maka harga pangan akan dijaga di level murah dengan cara apa
pun, seperti membuka lebar-lebar keran impor.
Implikasinya, petani makin terpinggirkan karena kalah bersaing dengan
pangan impor. Selain itu, keamanan nasional bakal terganggu karena
menggantungkan pangan sebagai kebutuhan pokok 260 juta penduduk
Indonesia pada negara lain.
Guru Besar Ekonomi Pertanian UGM, Masyhuri, mengemukakan Presiden
Joko Widodo (Jokowi) yang didukung mayoritas rakyat Indonesia, termasuk
sebagian besar petani, dalam lima tahun ke depan mesti mengubah
pengelolaan pangan yang condong impor menjadi fokus pada kepentingan
petani nasional. Sebab, impor hanya akan menguntungkan petani negara
eksportir, dan sebaliknya mematikan petani sendiri.
“Bayangkan, jika multiplier effect impor pangan berkisar 13 miliar–15
miliar dollar AS setahun, mengalir ke dalam negeri untuk kesejahteraan
petani, pasti dampaknya akan dahsyat,” tukas dia, ketika dihubungi,
Kamis (11/7).
Menurut dia, dimensi persoalan pangan itu sangat kompleks.
Masing-masing kepentingan terkait memiliki kepentingan. Makanya, tidak
bisa kalau tidak dikendalikan oleh lembaga kuat yang langsung di bawah
Presiden. “Kita bertanya- tanya, kenapa DPR juga diam saja padahal
amanat UU Pangan paling lambat kan akhir 2015 sudah ada Badan Pangan,”
papar Masyhuri.
Dia menilai DPR punya tanggung jawab besar untuk menganggap serius
persoalan Badan Pagan. Sebab, yang dipertaruhkan adalah kedaulatan
bangsa di masa depan. Problem pangan dan juga energi, tidak bisa
diserahkan pada pasar atau satu kepentingan tertentu seperti inflasi.
Oleh karena itu, sebelum berakhirnya masa tugas, DPR periode saat ini
diminta segera mengajukan hak bertanya kepada Presiden karena sampai
hingga kini belum membentuk Badan Pangan sebagaimana amanat UU No 18
Tahun 2012 tentang Pangan.
Dalam amanat UU tersebut, seharusnya pemerintah sudah membentuk Badan
Pangan, yakni sebuah lembaga dengan otoritas langsung di bawah Presiden
untuk menangani seluruh urusan terkait pangan baik produksi, pengadaan,
penyimpanan, dan perdagangan pangan. Sebelumnya dikabarkan,
pemerintahan Presiden Jokowi ke depan diharapkan berani melakukan upaya
luar biasa untuk mengatasi persoalan defisit neraca perdagangan
Indonesia.
Selain impor minyak dan gas (migas), sumber defisit perdagangan
lainnya adalah impor pangan. Oleh karena itu, untuk mengendalikan impor
pangan tersebut pemerintah diminta segera membentuk Badan Pangan seperti
yang diamanatkan UU Pangan.
“Masa depan bangsa ini salah satunya terletak di pertanian termasuk
perkebunan. Untuk itu, Badan Pangan Nasional haruslah segera dibentuk
agar ada big data pangan yang digunakan sebagai patokan mencapai
kedaulatan pangan. Soal defisit perdagangan pangan, mestinya bisa segera
berkurang dari komoditas holtikultura dan perkebunan,” kata Dewan
Pembina Inagri (Institute Agroekologi Indonesia), Ahmad Yakub, Rabu
(10/7).
Urusan Mendasar
Pengamat pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Zainal Abidin,
mengatakan semakin lama penundaan pembentukan Badan Pangan, negara dan
rakyat akan semakin mengalami kerugian karena pangan adalah masalah
dasar yang menentukan hidup-mati orang banyak.
“Dampaknya luas sekali, karena persoalan pangan menentukan
hidup-matinya suatu negara. Betapa mendasarnya urusan ini sehingga tidak
ada negara besar di dunia yang meninggalkan sektor pertanian, karena
menyangkut hajat hidup orang banyak,” tutur dia.
Bahkan, menurut Zainal, pangan besar kemungkinan akan menjadi senjata
perang dagang. “Apakah kalau petani terus diberi harga pangan murah,
produksi akan berlanjut? Kalau harga sangat murah orang tidak mau lagi
menanam,” ujarnya.
0 comments:
Post a Comment