Keberadaan relawan politik telah menjadi entitas baru dalam praktik
politik kekinian. Setidaknya, mulai muncul sejak rekrutmen jabatan
politik, baik di level daerah maupun level nasional melalui sistem
pemilihan langsung (one man one vote).
Sebenarnya, eksistensi relawan politik dapat menjadi mitra strategis
bagi partai politik yang secara konstitusional sebagai satu-satunya
pintu masuk untuk menjadi calon presiden/wakil presiden serta calon
kepala daerah/wakil kepala daerah (khusus calon kepala daerah diatur
juga ketentuan calon perseorangan), termasuk calon anggota DPR serta
DPRD kabupaten/kota.
Namun, dalam kasus tertentu, justru
terjadi rivalitas relawan politik dengan partai politik. Bahkan, tak
sedikit yang menyebut relawan politik merupakan bentuk kritik terhadap
keberadaan partai politik.
Sejumlah catatan kritis
terhadap posisi relawan politik patut digarisbawahi terkait dengan
perilaku aktivis relawan politik yang tak ubahnya sebagai "relawan yang
politisi". Relawan politik juga telah menjadi sumber rekrutmen baru
dalam pos-pos jabatan publik. Sejumlah fakta mengonfirmasi fenomena
tersebut.
Di sisi lain, relawan politik selain
memobilisasi massa, juga tak bisa dielakkan dengan melakukan mobilisasi
finansial untuk keperluan logistik politik. Sebuah konsekuensi dari
kerja politik, biaya politik menjadi keniscayaan. Di titik inilah,
pengaturan terhadap relawan politik memiliki konteksnya.
Langkah ini semata-mata ditujukan untuk menciptakan praktik politik yang
beradab yang mensyaratkan adanya transparansi, akuntabilitas, serta
pertanggungjawaban di hadapan publik. Pengaturan sama sekali tidak
menyentuh pada aspek "kebebasan berekspresi" yang memang dijamin oleh
konstitusi. Pengaturan ini juga bukan dimaksudkan untuk mengerdilkan
partisipasi masyarakat.
Eksistensi relawan politik hingga
kini belum terwadahi secara hukum. Persisnya, relawan politik lebih
tepat sebagai organisasi tanpa bentuk (OTB), tidak jelas jenis
kelaminnya. Relawan politik tentu bukanlah entitas yang berbentuk partai
politik, kendati aktivitasnya sama seperti partai politik, khususnya
dalam hal memobilisasi massa, termasuk pendanaan sebagai konsekuensi
turunan dari mobilisasi massa.
Relawan politik juga tidak
berbentuk perkumpulan atau ormas yang berbadan hukum atau yang tidak
berbadan hukum sebagaimana ketentuan yang diatur dalam UU No 17 Tahun
2013 tentang Organisasi Massa (Ormas). Seperti dalam ketentuan di Pasal 9
ayat (1) UU No 17 Tahun 2013 disebutkan, ormas dapat berbentuk badan
hukum atau tidak berbadan hukum.
Ormas yang berbadan
hukum itu bentuknya bisa perkumpulan atau yayasan (Pasal 11 Ayat 1). Di
ketentuan lainnya, yakni di Pasal 12 Ayat (1) disebutkan soal
persyaratan pendirian perkumpulan, di antaranya, akte pendirian, sumber
pendanaan, NPWP atas nama perkumpulan, dan lain-lain.
Padahal, perkumpulan masyarakat yang bentuknya komunitas semestinya
diikat oleh suatu aturan yang dituangkan secara tertulis yang menjadi
hak konstitusional warga (constitutional citizens) dan hak asasi
konstitusional manusia (constitutional human rights). Seperti, yang
dikenalkan Jimly Asshiddiqie (2015) dengan sebutan konstitusi sosial.
Dalam konteks organisasi nonpemerintah, diatur dengan Anggaran Dasar
(By-Laws).
Hingga saat ini, tidak ada norma yang mengatur
keberadaan relawan politik ini. Karena memang secara normatif, peserta
pemilu, pilkada, atau pilpres tidak mengenal istilah relawan atau
relawan politik.
Dalam sejumlah regulasi paket politik
yang tersedia, seperti UU Pilkada, UU Pemilu Legislatif, UU Pemilu
Presiden, termasuk UU Partai Politik, pengaturan soal sumbangan
pendanaan hanya mengatur kepada partai politik (pengusung), serta
pasangan calon (pilkada dan pilpres) saja. Seperti dalam Pasal 74 ayat
(2) dan (4) UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada), norma yang muncul hanya terkait dengan pendanaan calon
perseorangan, termasuk besaran sumbangan bagi calon perseorangan.
Setali tiga uang, di Pasal 129 Ayat (1) UU No 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum disebutkan kegiatan kampanye pemilu anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota didanai oleh partai politik peserta
pemilu masing-masing. Hal senada juga terjadi di UU No 43 Tahun 2008
tentang Pemilu Presiden.
Adapun di Pasal 34 UU No 2 Tahun
2011 tentang Partai Politik disebutkan ketentuan sumber keuangan partai
politik. Di Pasal 39 Ayat (1), (2), dan (3) UU No 2 Tahun 2011 juga
diatur soal laporan keuangan partai politik seperti laporan keuangan
partai politik serta adanya keharusan audit oleh akuntan independen.
Pesan penting dari pengaturan tersebut, politik meniscayakan adanya
transparansi dan akuntabilitas. Pendanaan politik yang transparan dan
akuntabel akan menghasilkan kebijakan yang transpran dan akuntabel pula.
Kebijakan publik tak lagi disusun di ruang remang-remang dan gelap.
Apalagi, diboncengi kepentingan tangan-tangan yang tidak tampak
(invisible hand).
Meski demikian, aturan dan regulasi
tersebut tidak berarti praktik politik, khususnya dalam pendanaan partai
politik maupun kontestasi politik, menjadi terang dan jelas. Tidak
sedikit kritik tetap muncul, seperti soal usulan pembatasan belanja
politik oleh partai politik maupun kandidat dalam kompetisi politik.
Dalam konteks inilah, mengatur relawan politik memiliki relevansi,
khususnya terkait dengan pendanaan atau sumbangan. Toh, dalam
praktiknya, perilaku relawan politik tak ubahnya seperti partai politik
dalam urusan mobilisasi massa yang juga secara linier mobilisasi
pendanaan atau sumbangan politik. Pemasangan atribut dan alat peraga
kampanye yang dilakukan oleh relawan politik tentu bukanlah hal yang
cuma-cuma.
Oleh karenanya, pengaturan sumber pendanaan
dan akuntabilitas pendanaan bagi relawan politik sudah semestinya
dipikirkan oleh pembuat UU (law maker), yakni DPR dan pemerintah untuk
dimasukkan dalam perubahan paket UU Politik yang telah masuk agenda
Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Jangan sampai, UU
gagap menangkap perkembangan zaman yang cepat. Langkah ini semata-mata
diikhtiarkan untuk mewujudkan politik yang beradab serta bentuk cerminan
demokrasi konstitusional.
R Ferdian Andi R
Peneliti Hukum Konstitusi di Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN) Indonesia








0 comments:
Post a Comment