JAKARTA – Kebakaran hutan yang masih terus terjadi
membuktikan pemerintah gagal melindungi hutan seperti diamanatkan UU
No.41/1999 tentang Kehutanan. Pemerintah tak mampu mengantisipasi
ancaman kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang akhirnya menimbulkan
polusi udara masif.
Anggota Komisi V DPR RI Bambang Haryo Soekartono, dalam rilisnyanya,
Senin (19/8/2019), mengatakan, ada lebih dari 4.258 titik panas (hotspot) yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama Sumatera dan Kalimantan selama Januari-Juli tahun ini. Dari jumlah itu, 2.087 hotspot berada di kawasan konsesi dan lahan gambut. Data itu ia kutip dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) tahun 2019.
“Akibat karhutla, masyarakat terpapar polusi asap sehingga kesehatan
mereka terganggu dan menjadi tidak produktif. Kerugian lain, rusaknya
ekosistem flora dan fauna hutan tropis Indonesia yang khas. Kerugian
karhutla sangat besar, baik dari ekonomi, pariwisata, kesehatan, hingga
pendidikan. Dampaknya juga dirasakan warga DKI Jakarta karena polusi di
Ibu Kota diduga berasal dari karhutla, terutama di Sumatera dan
Kalimantan,” ungkap Bambang.
Dia tidak sependapat jika dikatakan polusi udara di DKI diakibatkan
oleh sektor transportasi dan industri. Pasalnya, kasus polusi asap
seperti ini pernah dialami Ibu Kota pada musim kemarau tahun 2015 saat
DKI dipimpin Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.
Polusi asap ketika itu hilang sendiri karena karhutla padam saat tiba
musim hujan. Bambang mengingatkan agar pemerintah pusat dan DKI lebih
cermat membuat kebijakan dalam merespons polusi di Ibu Kota. Salah satu
kebijakan yang dianggapnya kurang tepat, yakni pembatasan usia kendaraan
bermotor di DKI.
“Jangan tergesa-gesa membuat kebijakan. Tolong dianalisis dulu, sebab
musim hujan nanti karhutla akan padam sendiri dan polusi asap di DKI
otomatis berkurang. Pembatasan usia kendaraan bermotor akan menimbulkan
ekonomi biaya tinggi dan menaikkan impor. Sebab kebijakan ini akan
mendorong masyarakat membeli mobil baru, yang produsennya masih
didominasi asing,” ungkap legislator dapil Jatim I ini.
Lebih lanjut ia menguraikan, polusi juga bisa diakibatkan masifnya
penggunaan batu bara untuk pembangkit tenaga listrik dalam proyek
listrik 35.000 Megawatt. Kebijakan pemerintah ini dinilai tidak
konsisten dengan upaya mengurangi polusi, termasuk rencana pengembangan
mobil listrik.
“Percuma kembangkan mobil listrik, tetapi polusi dari pembangkit batu
bara justru makin besar,” tegasnya. Bambang lalu mendorong masyarakat
melakukan class action terhadap pemerintah karena tidak mampu menjaga lingkungan hidup.
0 comments:
Post a Comment