JAKARTA – Indonesia berpeluang mengambil kesempatan dari perang
dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, dengan sebesar-besarnya
merebut porsi relokasi industri manufaktur dari Negeri Tirai Bambu
tersebut. Tak terbayangkan sebelumnya, sektor manufaktur Tiongkok yang
sebelumnya tampak begitu kuat, kini merosot karena kenaikan tarif impor
AS.
Untuk itu, Indonesia perlu menjalankan proses deregulasi dan
menciptakan iklim investasi yang kondusif secepat-cepatnya, karena
relokasi manufaktur ini adalah harapan untuk selamat dari resesi global.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia,
Mohammad Faisal, mengatakan kemampuan APBN untuk mengungkit ekonomi
dalam negeri sangat lemah.
Dalam RAPBN 2020, belanja kementerian dan lembaga memang direncanakan
naik 3,47 persen. Namun realisasi 2018, belanja produktif pemerintah
itu justru terkontraksi dibandingkan tahun sebelumnya. “Artinya, harapan
investasi ada pada relokasi industri dari Tiongkok. Kita tidak bisa
membuat momentum sendiri untuk investasi, maka manufaktur Tiongkok yang
tiba-tiba drop ini adalah satu-satunya momentum emas kita untuk
tingkatkan investasi di manufaktur. Ini faktor luck yang jangan sampai
lepas,” ungkap Faisal, ketika dihubungi, Senin (19/8).
Meskipun terlambat dari Vietnam dan Thailand, menurut dia, Indonesia
masih memiliki kesempatan untuk menampung relokasi dari Tiongkok sebab
program itu masih berlanjut. Dan, begitu investasi manufaktur masuk
Indonesia akan susah untuk pindah lagi. Dalam tiga tahun terakhir,
investasi di manufaktur justru terkontraksi.
Padahal, penanaman modal di manufaktur yang berpotensi menciptakan
lebih banyak lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan
pada gilirannya meningkatkan konsumsi rumah tangga yang selama ini
menjadi tumpuan dari pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Faisal
berpendapat untuk menarik investasi tidak cukup dengan paket deregulasi.
Faktor terpenting lain, penciptaan iklim yang kondusif bagi investasi
seperti kepastian hukum, kebijakan antarkementerian yang sinkron,
penjaminan pasar dalam negeri dan kemudahan ekspor, serta kepastian
bahan baku.
“Kalau antarkementerian tidak sinkron, sulit untuk membuat
perencanaan bisnis. Misalnya, sasaran substitusi impor, berarti pasar
domestik harus terjaga, jangan tiba-tiba buka keran impor,” jelas
Faisal. Begitu juga untuk ekspor, imbuh dia, bagaimana menciptakan
logistik murah. “Iklim investasi ini penting sekali, terbukti deregulasi
saja tidak meningkatkan investasi kita di manufaktur.”
Harus Waspada
Dalam pidato kenegaraan, Jumat (16/8), Presiden Joko Widodo
mengingatkan Indonesia harus menyadari tantangan yang muncul dari perang
dagang antara AS-Tiongkok. “Kita juga menghadapi tantangan perang
dagang. Depresiasi nilai mata uang beberapa negara seperti yuan Tiongkok
dan peso Argentina, membuat kita harus waspada,” ujar Presiden.
Peneliti Indef, Muhammad Zulfikar Rakhmat, menjelaskan penurunan kurs
rupiah akibat devaluasi yuan menimbulkan kelemahan pada perekonomian
Indonesia dalam jangka panjang. Sebab, tiga perempat total impor RI
adalah bahan baku dan penolong. “Depresiasi rupiah menyebabkan harga
barang impor naik. Akibatnya, harga barang jadi di Indonesia akan naik,
menyebabkan tingkat inflasi meningkat,” tutur dia, seperti dikutip South
China Morning Post (SCMP), Senin.
Di sisi lain, ekspor Indonesia semakin sulit bersaing dengan produk
Tiongkok dan negara pengekspor lainnya, sehingga kinerja ekspor merosot.
Alhasil, defisit perdagangan Indonesia dengan Tiongkok meningkat.
“Selain peningkatan impor dan defisit perdagangan, rencana pemerintah
untuk menopang pertumbuhan melalui pengetatan impor demi produksi dalam
negeri juga terganggu,” kata Zulfikar.
Menurut dia, Indonesia tidak memiliki banyak amunisi untuk
berpartisipasi dalam perang dagang. Pilihannya, tetap fokus di dalam
negeri, dan mencari substitusi impor, sambil perlahan membangun basis
manufaktur yang berorientasi ekspor.
“Langkah penting ketika perang dagang berubah menjadi perang mata
uang adalah meningkatkan investasi asing langsung. Ini membantu
mengimbangi defisit transaksi berjalan yang semakin tinggi akibat
defisit perdagangan,” tukas Zulfikar.
0 comments:
Post a Comment