JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendesak DPR
RI untuk segera melakukan revisi terbatas Undang-Undang Nomor 10 tahun
2016 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada). Ketua KPU, Arief
Budiman, mengatakan kebutuhan revisi UU berkaitan dengan pelarangan eks
napi korupsi untuk ikut Pilkada serta pelaksanaan rekapitulasi
elektronik pada Pilkada 2020.
“Sebetulnya, kalau KPU dua hal yang kami dorong, pertama soal
pencalonan tadi, KPU berpendapat perlu mengatur tentang aturan terpidana
korupsi, yang kedua tentang e-rekap,” ujar Arief usai diskusi media di
Gedung KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Kamis (22/8).
Kendati demikian, Arief menuturkan berdasarkan diskusi dengan
pakar-pakar hukum soal pandangan mengenai e-rekap, dasar hukumnya sudah
cukup kuat. Seperti diketahui, proses rekapitulasi secara elektronik
telah diatur dalam UU Pilkada pasal 111, sehingga KPU tinggal melakukan
pengaturan lebih lanjut secara teknis.
“Dan ini kesimpulan kami, dasar hukum yang ada sebenarnya sudah cukup
untuk kemudian ditindaklanjuti diatur dengan PKPU,” tandasnya.
Namun, Arief mengakui harus tetap berkomunikasi dengan Komisi II DPR
RI dan tetap mengusahakan dilakukannya revisi UU. Meskipun dirinya
mengetahui ada berbagai cara untuk melakukan perubahan UU, salah satunya
dengan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi (MK).“Kalau UU
sebenarnya kebutuhan yang mendesak, kan Pilkadanya mau sekarang (tahapan
Pilkada 2020), masa tahun depan,” tukasnya.
Menurut Arief, UU lebih kuat dasar hukumnya dibandingkan PKPU. Hal
ini untuk meminimalisir kejadian saat Pemilu 2019 di mana PKPU soal
pelarangan napi korupsi tidak kuat landasan hukumnya, sehingga aturan
tersebut dibatalkan. Untuk itu, KPU akan menyampaikan dorongan untuk
revisi UU Pilkada pada rapat berikutnya.
“Bisa saja nanti kan pada saat kita mau membahas PKPU ada satu tahap
namanya rapat konsultasi dengan Pemerintah dan DPR, itu pasti kita
sampaikan disana,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan bahwa ada dua hal yang
harus diperhatikan oleh KPU jika penyelenggara Pemilu tersebut ingin
melaksanakan sistem e-rekap pada saat penghitungan suara.
“Pertama adalah pilihan teknologi yang akan digunakan, mau yang seperti apa. Kedua adalah daya jangkau e- rekap,” ujarnya.
Implikasi Hukum
Menurut Titi, KPU harus segera memperhatikan hal tersebut karena
memiliki implikasi terhadap hukum. Di samping itu, dia mengatakan bahwa
KPU harus segera mendorong DPR RI untuk merevisi UU Pilkada, bahkan UU
Pemilu untuk menerapkan teknologi e-rekap dalam proses penghitungan
suara.
"Karena menerapkan teknologi artinya apa, kita ubah mekanisme yang
tadinya manual menjadi elektronik, dan itu membawa implikasi hukum,”
tegasnya.
Titi mencontohkan, pada Pemilu 2019, KPU bisa berdalih terhadap
sistem Situng yang sempat bermasalah dengan alasan hanya merupakan media
informasi. Sementara, KPU tidak bisa berdalih jika dikemudian hari
e-rekap mengalami masalah, sehingga dasar hukumnya harus kuat serta
persiapannya harus matang.
“Tidak cukup dengan peraturan KPU, karena sejauh mana peraturan KPU
bisa mengikat ketaatan dari pihak pihak yang terdampak, paling dekat
Bawaslu dan parpol. Dia akan lebih kokoh kalau dia ada di UU Pilkada,”
pungkasnya.
0 comments:
Post a Comment