in lam tuhsin dzannaka bihi li-ajli washfihi fa-hassin dzannaka bihi li-ajli mu’amalatihi ma’aka.
Fa-hal ‘awwadaka illa husnan? Wa-hal asda ilaika illa minanan?
Fa-hal ‘awwadaka illa husnan? Wa-hal asda ilaika illa minanan?
Jika engkau tak mampu berbaik sangka kepada Tuhan karena sifat yang intrinsik ada pada-Nya,
maka berbaik sangkalah kepada-Nya karena perlakukan baik-Nya terhadapmu.
Bukankah Dia terus-terusan berbuat baik kepadamu? Bukankah Dia memberimu nikmat yang berlimpah?
Pengertian Umum
Sikap yang sehat terhadap hidup adalah berbaik sangka; berbaik sangka pada kehidupan kita, kepada orang-orang disekitar kita, pada lingkungan kita, dan terlebih lagi berbaik sangka pada sumber kehidupan itu sendiri, yaitu Tuhan.
Sikap yang sehat terhadap hidup adalah berbaik sangka; berbaik sangka pada kehidupan kita, kepada orang-orang disekitar kita, pada lingkungan kita, dan terlebih lagi berbaik sangka pada sumber kehidupan itu sendiri, yaitu Tuhan.
Dalam masa-masa sulit kadang kita memiliki
prasangka buruk kepada kehidupan kita sendiri, kepada Tuhan. Prasangka
buruk tak akan mengubah situasi sulit yang sedang kita hadapi. Tetapi
prasangka baik sekurang-kurangnya memberikan tenaga psikologis yang
positif pada diri kita. Prasangka positif membuat kita terus berjalan,
terus mencoba, tanpa patah semangat.
Dalam sebuah hadis Qudsi yang terkenal, Tuhan berfirman:
“Aku (Tuhan) mengikuti prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Ana ‘inda dzanni ‘abdi bi.”
“Aku (Tuhan) mengikuti prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Ana ‘inda dzanni ‘abdi bi.”
Jika
seorang hamba memiiki prasangka baik kepada kehidupannya, dia akan
memiliki sikap positif. Sebaliknya, jika dia memiliki prasangka negatif
terhadap kehidupannya, dia akan hanya menciptakan kesulitan bagi dirinya
sendiri. Mengapa?
Sebab, dari sikap negatif itu dia akan membiarkan dirinya terjebak dalam pesimisme, dalam perasaan patah harapan.
Jika
kita tak bisa berbaik sangka kepada Tuhan karena sifat-sifat-Nya
sebagai Tuhan Yang Maha Baik dan Dermawan, sekurang-kurangnya kita
berbaik sangka kepada-Nya karena kebaikan-kebaikan yang telah Dia
limpahkan-Nya kepada kita setiap hari, tiap saat. Sekurang-kurangnya
kita bersyukur bahwa Dia masih terus melimpahi kita dengan
kebaika-kebaikan dalam hidup ini, baik besar atau kecil.
Berprasangka
baik kepada Tuhan bisa kita lakukan dengan rasa syukur kepada
nikmat-nikmat kecil yang terus berhamburan dalam hidup kita setiap hari.
Nikmat kecil itu bisa berupa momen-momen berbahagia bersama teman dan
sahabat yang baik hati, bersama anak dan isteri. Nikmat itu bisa berupa
kemampuan kita menikmati makan siang yang menyenangkan bersama kawan
yang lama tak pernah kita jumpai.
Nikmat-nikmat kecil selalu
bermunculan dalam hidup kita, tiap hari, bahkan tiap jam. Kita
seringkali menganggap itu semua sebagai hal yang alamiah, seolah-olah
bukan hal yang istimewa. Ketidakmampuan kita untuk mensyukuri
nikmat-nikmat kecil itu membuat kita kehilangan momen yang
membahagiakan. Mengapa?Sebab mensyukuri nikmat adalah sumber kebahagiaan. Mensyukuri nikmat
membuat kita terus memiliki prasangka baik pada kehidupan kita, kepada
Tuhan, walau dalam masa-masa yang sulit sekalipun.Pengertian khusus
Ada dua maqam manusia dalam hal kemampauan berprsangka baik dan bersyukur ini. Ada orang-orang umum (‘awam) dan orang-orang khusus (khawas). Orang-orang umum biasanya bersyukur dan berprasangka baik kepada Tuhan karena nikmat-nikmat yang dilimpahkan oleh Tuhan kepadanya. Sementara orang-orang khusus mensyukuri dan berprasangka baik kepada Tuhan karena mereka melihat sifat-sifat “jamal” atau keindahan Tuhan dalam momen apapun.
Ada dua maqam manusia dalam hal kemampauan berprsangka baik dan bersyukur ini. Ada orang-orang umum (‘awam) dan orang-orang khusus (khawas). Orang-orang umum biasanya bersyukur dan berprasangka baik kepada Tuhan karena nikmat-nikmat yang dilimpahkan oleh Tuhan kepadanya. Sementara orang-orang khusus mensyukuri dan berprasangka baik kepada Tuhan karena mereka melihat sifat-sifat “jamal” atau keindahan Tuhan dalam momen apapun.
Baik
dalam situasi menderita atau bahagia, mereka hanya melihat aspek
“jamal” atau keindahan Tuhan. Mereka ini, baik dalam masa sulit atau
mudah, memiliki sikap yang sama: bahagia. Karena mereka tahu bahwa
segala sesuatu, baik yang menyulitkan atau menggemberikan dalam hidup
mereka, bersumber dari sumber yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha Baik dan
Indah.
Pelajaran yang bisa kita petik dari sini ialah: pentingnya
kita menjaga sikap yang stabil dalam hidup. Baik dalam situasi yang
sulit maupun gampang, seseorang selayaknya berusaha untuk bersikap sama:
tenang, berprasangka baik, tidak membiarkan dirinya tenggelam dan
dikuasai oleh kedukaan.
Seorang yang menjalani laku mistik atau
tasawuf adalah orang yang melakukan kontrol atas perasaan kesedihan dan
kegembiraan, dan tak membiarkan dirinya diombang-ambingkan oleh perasaan
itu. Kemampuan untuk melakukan kontrol diri itu adalah salah satu
sumber ketenangan batin dan kebahagiaan rohani.
0 comments:
Post a Comment