JAKARTA – Sejumlah kalangan menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo
(Jokowi) periode kedua mesti memprioritaskan upaya mengantisipasi
ledakan usia produktif saat terjadi bonus demografi yang sudah di depan
mata.
Oleh karena itu, pemerintah harus bergegas memperkuat kembali sektor
industri atau reindustrialisasi, terutama yang berorientasi padat
karya. Iklim berbisnis mesti dibenahi untuk mendorong investasi yang
menciptakan lebih banyak lapangan kerja.
Ekonom Indef, Eko Listyanto, mengemukakan masalah hari ini adalah
pertumbuhan ekonomi rendah yang membuat serapan lapangan kerja juga
rendah. Di sisi lain, Indonesia butuh strategi ekonomi yang tepat untuk
menyerap angkatan kerja yang saat ini masih duduk di bangku SD dan SMP.
“Maka harus ada upaya untuk menyelamatkan industri padat karya yang
pada hari ini kalah bersaing dengan luar negeri, terutama yang
menggunakan bahan baku dalam negeri. Dengan demikian, pertumbuhan dan
serapan tenaga kerja 5–10 tahun ke depan tidak terganggu,” jelas dia,
ketika dihubungi, Senin (21/10).
Sedangkan untuk mencetak pertumbuhan ekonomi tinggi, lanjut Eko,
tidak ada cara lain selain menciptakan industrialisasi berbasis sumber
daya manusia (SDM) berkualitas sehingga memiliki nilai tambah tinggi.
“Jadi industri massal untuk hari ini tetap harus selamat, namun juga
didorong untuk bertransformasi menuju industri tinggi,” jelas dia.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menargetkan pada satu abad Indonesia
merdeka, yaitu tahun 2045, Indonesia telah keluar dari jebakan negara
berpendapatan menengah (middle income trap) dan menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita 320 juta rupiah per tahun atau 27 juta rupiah per kapita per bulan.
Menurut Jokowi, potensi Indonesia untuk keluar dari middle income trap sangat
besar. Saat ini, Indonesia sedang berada di puncak bonus demografi,
jumlah penduduk usia produktif jauh lebih banyak dibandingkan usia
tidak produktif.
“Ini adalah tantangan besar dan sekaligus juga sebuah kesempatan
besar. Ini menjadi masalah besar jika kita tidak mampu menyediakan
kesempatan kerja,” tukas dia dalam pidato usai pelantikan Presiden dan
Wakil Presiden terpilih periode 2019–2024, Minggu (20/10).
Sebaliknya, lanjut Presiden, ini akan menjadi kesempatan besar jika
Indonesia mampu membangun SDM yang unggul, dengan didukung oleh
ekosistem politik dan ekonomi yang kondusif. Oleh karena itu, lima tahun
ke depan, pemerintahan Presiden Jokowi akan mengerjakan lima program
prioritas.
Program itu adalah pembangunan SDM, melanjutkan pembangunan
infrastruktur, memangkas kendala regulasi, penyederhanaan birokrasi
besar-besaran, dan transformasi ekonomi dari kebergantungan pada
sumber daya alam menjadi daya saing manufaktur dan jasa modern.
Sementara itu, Bank Dunia menyebutkan, Indonesia dengan Produk
Domestik Bruto (PDB) per kapita 3.932 dollar AS pada 2018 termasuk
negara lower middle-income. Total populasi Indonesia mencapai 264 juta jiwa, sekitar 25,9 juta di antaranya masih berada di bawah garis kemiskinan.
Menurut lembaga itu, Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi setidaknya
di atas 5–6 persen agar lolos dari jebakan negara berpendapatan
menengah. Dalam jangka yang lebih panjang, untuk mencapai status negara
pendapatan tinggi pada 2030, misalnya dengan pendapatan per kapita 12
ribu dollar AS, maka akan butuh pertumbuhan tahunan 9 persen.
Peka Tantangan
Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Leo
Herlambang, mengatakan kabinet mendatang harus diisi figur-figur hebat
di bidangnya yang peka terhadap tantangan ekonomi ke depan, seperti
ledakan usia produktif dan ancaman resesi.
“Untuk itu, Presiden Joko Widodo diharapkan memilih sosok menteri
yang paham bagaimana menggerakkan perekonomian untuk penyerapan tenaga
kerja, serta memiliki visi dan orientasi ekspor,” ujar dia.
Menurut Leo, menteri yang punya visi hilirisasi industri sangat
dibutuhkan karena hanya dengan upaya hilirisasi, seperti industri hasil
tambang, dapat menambah serapan ledakan usia produktif yang akan
segera terjadi.
Apabila gagal menyiapkan lapangan kerja, maka bonus demografi bisa
menjadi bencana demografi. Penduduk usia produktif gagal menjadi
produktif karena tidak mendapatkan kesempatan kerja.
“Menteri yang bersangkutan harus paham pentingnya mengerahkan
kebijakan dan anggaran pada sumber daya-sumber daya potensial yang ada,
agar nanti hilirisasi dapat dikembangkan untuk pasar ekspor,” tutur
dia.
0 comments:
Post a Comment