JAKARTA-PT Peputra Supra Jaya (PSJ) melayangkan surat kepada Dinas Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau Rabu (22/1), meminta
penghentian aktivitas penebangan pohon kelapa sawit milik petani dan
perusahaan di Desa Gondai Kabupaten Pelalawan. Surat itu juga
ditembuskan ke Gubernur Riau Syamsuar serta sejumlah stakeholder
terkait.
"Kami minta DLHK untuk segera menghentikan penebangan pohon kelapa
sawit tersebut," kata Kuasa Hukum PT PSJ, Nurul Huda kepada merdeka.com,
Rabu (22/1).
Dia menilai DLHK Riau melanggar pasal 7 ayat 2 huruf F dan pasal 55
Undang-undang nomor 30 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Di pasal 7 ayat 2 huruf F itu disebut bahwa Pemerintah wajib
memanggil masyarakat terkait persoalan Putusan Tata Usaha Negara. Lalu
di pasal 55 itu dikatakan, setiap keputusan TUN wajib mempertimbangkan
aspek hukum, sosiologis dan aspek filosofis," terang Nurul.
Nurul menyebutkan, pelaksanaan eksekusi pidana itu berbagai macam.
Kalau pelaksanaan eksekusinya Jaksa Penuntut Umum terhadap suatu putusan
pengadilan, itu bisa serta merta dilaksanakan.
"Namun jika pelaksanaan putusan Pengadilan diserahkan kepada
eksekutif (DLHK), mestinya DLHK mendengarkan dulu pendapat masyarakat.
Bisa saja DLHK mengundang masyarakat untuk membicarakan terkait apa yang
bakal dieksekusi," imbuhnya.
Pihaknya mengaku akan melakukan langkah hukum jika permintaannya
untuk menghentikan eksekusi diabaikan. "Maka kami akan gugat ke PTUN,
Pengadilan Negeri dan laporan pidana. Sebab itu, sederet pelanggaran
yang mereka lakukan sudah berbau perdata dan pidana," terangnya.
Untuk permasalahan perdata, PT PSJ akan menuntut ganti rugi sebesar
Rp12,4 triliun. "Kebetulan kami sudah minta Asosiasi Petani Kelapa Sawit
Indonesia (Apkasindo) menghitung kerugian tegakan pohon kelapa sawit
itu," imbuhnya.
Sementara itu, Kepala Seksi Penegakan Hukum DLHK Provinsi Riau, Agus
menyebutkan, pihaknya akan segera menyelesaikan penumbangan pohon sawit
perusahaan dan milik petani.
Agus memimpin kegiatan eksekusi itu mengatakan bahwa ada 3.323
hektare kebun kelapa sawit di sana, bersama Jaksa Penuntut Umum (JPU)
Kejaksaan Negeri Pelalawan. Menurut Agus, eksekusi itu berdasarkan
putusan Mahkamah Agung nomor 1087 K/PID.SUS.LH/2018.
Dalam putusan itu, kata Agus, perkebunan sawit yang berdiri belasan
tahun itu menyalahi regulasi karena masuk dalam kawasan konsesi tanaman
industri. Dalam putusan juga disebutkan hamparan sawit itu akan
diserahkan ke PT NWR.
"Saya ingin luruskan, ini bukan eksekusi, tapi pemulihan dan
penertiban kawasan hutan. Lahan ini masuk dalam kawasan konsesi PT NWR.
Itulah makanya kita tertibkan, kita pulihkan menjadi kawasan Hutan
Tanaman Industri (HTI), lantaran kawasan ini memang Kawasan Hutan
Produksi," kata Agus.
Menurut Agus, setelah sawit ditumbangkan, lahan itu ditanami bibit akasia. Ratusan bibit akasia juga lengkap dengan pupuk kimia.
Bahkan meski masyarakat menolak, Agus bersikukuh penertiban kawasan
hutan tetap akan dilakukan. Walaupun, saat ini ada upaya peninjauan
kembali (PK) di tingkat Mahkamah Agung yang dilakukan pengacara
masyarakat, Asep Ruhiat dan pengacara PT PSJ, Nurul Huda.
"Meski ada penolakan, putusan MA tetap kita laksanakan. Upaya PK juga tidak menghalangi penertiban ini," ujarnya.
0 comments:
Post a Comment