Jika ditelisik lebih dalam, maka akan didapati bahwa
dalam konteks memahami suatu teks, manusia terbagi menjadi dua;
tekstualis dan kontekstualis; saklek dan luwes. Memahami teks terlalu
saklek dalam artian tidak bisa ditawar-tawar lagi, pokoknya yang
disebutkan (perintahkan) teks harus dilakukan atau tidak harus dilakukan
tanpa adanya sebuah langkah dan pengkajian lebih mendalam, misalnya
dari segi kemanusiaan dan pertimbangan lainnya. Singkat kata,
kelapang-dadaan dan keterbukaan menjadi barang langka dalam orang yang
memahami teks secara saklek ini.
Dengan demikian, jika suatu perbuatan tidak ditemukan dalilnya (dalam
teks), maka tidak boleh (haram) dilakukan. Jadi, nasioanalisme, bagi
kelompok ini tidak ada dalilnya dalam agama (tertentu); Nabi juga tidak
pernah memperingati Hari Kesetiakawanan Nasional sehingga HKN tidak
perlu, dan lain-lainya.
Berbeda dengan cara memahami teks yang menggunakan cara berfikir
kontekstualis; ia lebih luwes dan mendalam. Suatu hukum tidak dilihat
secara hitam-putih, melainkan dikaji lebih mendalam melalui berbagai
cara. Misalnya dalam hal hukum, suatu hukum dikaji melalui berbagai
langkah seperti qiyas, ijma’, ihtisan, dan lain-lainnya. Sehingga
melalui metode tersebut akan ditemukan sesuatu meskipun tidak disebutkan
dalam teks, tetapi boleh dikerjakan.
Kita semua mengetahui bahwa kesetiakawanan merupakan pranata sosial
yang memiliki fungsi sebagai penyangga bangunan harmoni sosial,
kerukunan sosial, dan kesatuan sosial. Maka, memperingati Hari
Kesetiakawanan Nasional yang dihelat pada tanggal 20 Desember, tidak
dilarang dalam agama, justru merupakan spirit nilai-nilai agama yang
harus dibumikan.
Adakah Nilai-nilai Kesetiakawanan dalam Kitab Suci?
Nah, pada kesempatan ini, sebagai pemantaban, penulis hendak
mengkaji dan menggali nilai-nilai kesetiakawanan dalam kitab suci
Alquran. Langkah ini juga sebagai bahan renungan dan pengetahuan kepada
masyarakat bahwa pemerintah Indonesia tidak sekuler dan sejenisnya,
sebagaimana dituduhkan oleh kelompok tertentu.
Diantara nilai-nilai kesetiakawanan adalah: Pertama, adil. Adil atau
berlaku adil menjadi prinsip sekaligus nilai kesetiakawanan. Karena
kesetiakawanan meniscayakan hubungan antar sesama. Hubungan tersebut
harus didasari pada sikap adil; tidak egois dan lainnya.
Dalam Alquran, memberikan sebuah pedoman bagi Muslim bahwa sekalipun
kita membenci orang maupun kelompok tertentu, jangan sampai menjadikan
kita berlaku tidak adil terhadap orang atau kelompok tersebut.
Dalam penggalan surat Al-Maidah ayat 2 disebutkan: ... Dan janganlah
sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya
(kepada mereka)....”. Dalam ayat berikutnya, Allah berfirman: “... Dan
janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah....”(Qs. Al-Maidah ayat 8).
Quraish Shihab dalam Al Misbah menjelaskan riwayat bahwa larangan ini
turun berkenaan dengan rencana merampas unta yang di bawa rombongan
Yamamah di bawah pimpinan Syuraih bin Dhuba’i Al-Hutham yang menuju
Baitullah dengan dalih bahwa unta yang ditunggangi mereka itu dahulunya
milik umat Islam yang dirampas mereka. Maka turunlah ayat ini, yang
memberikan larangan bahwa umat Islam dilarang berbuat kezaliman yang
sama.
Kedua, gotong-royong. Pesan Al-Maidah ayat 2 adalah, bahwa janganlah
umat Islam yang membenci suatu kelompok mendorong untuk memusuhi mereka
(suatu kelompok). Justru umat Islam harus gotong-royong dan
tolong-menolong dalam hal kebaikan. Ajaklah mereka bersinergi. Inilah
pesan langit. Betapa Alquran benar-benar membangun persatuan dengan
menerapkan nilai-nilai gotong-royong dan tolong menolong sebagai bagian
dari kesetiakawanan (sosial).
Ketiga, kesamaan (kesetaraan). Kesetiakawaan tidak akan terbina mana
kala nilai kesamaan tidak dijunjung tinggi. Itulah sebabnya, nilai
kesamaan sebagai dimensi keadilan, sekali lagi, harus dipegang teguh.
Dalam Qs. An-Nisa ayat 58, Allah berfirman: “Sungguh, Allah
menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu
menetapkan dengan adil...”.
Adil dalam ayat ini adalah tidak pilih kasih. Suatu hukum ditetapkan
tidak berdasarkan kepentingan guna mengakomodasi keuntungan kelompok
tertentu. Adil dalam konteks ini adalah tegaknya kebenaran dan
hilangnya kezaliman dan terciptanya kesamaan. Jika sudah demikian,
maka butir Pancasila Kemanusiaan yang adil dan beradab akan terwujud dan
kesetiakawanan akan menjadi semakin kokoh.
Keempat, musyawarah. Diantara nilai kesetiakawanan yang tidak boleh
ditinggalkan adalah menyelesaikan persoalan yang ada dengan
mengedepankan musyawarah. Menjaga bangsa ini bisa dilakukan dengan
berbagai cara, salah satunya adalah dengan memperkokoh sikap setia
kawan. Sikap ini kemudian dikembangkan dalam menyelesaikan persoalan
yang ada. Hal ini sesuai dengan (QS Asy Syura : 38).
Penulis: Peneliti di Rumah Kader GRTW Institute Serang
0 comments:
Post a Comment