Hati diibaratkan raja, sedang aggota badan adalah prajuritnya. Bila
rajanya baik, maka akan baik pula urusan para prajuritnya. Bila buruk,
maka demikian pula urusan para prajuritnya. Oleh sebab itu, dalam Islam
amalan hati memiliki kedudukan yang agung. Bisa dikatakan, pahala dari
amalan hati lebih besar daripada amalan badan. Sebagaimana dosa hati
lebih besar daripada dosa badan. Oleh karena itu kita dapati; dosa kufur
dan kemunafikan lebih besar daripada dosa zina, riba, minum khamr, judi
dst.
Hati adalah standar kebaikan amalan
badan. Ia ibarat pemimpin bagi badan. Baiknya hati akan berpengaruh pada
baiknya amalan badan. Dan buruknya hati akan berpengaruh pada buruknya
amalan badan. Rasulullah shallahu’alaihi wasallam bersabda:
أَلَا
وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ
وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah,
sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia
baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak.
Ketahuilah (segumpal daging) itu ialah hati..” (HR. Muslim).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan:
الأعمال الظاهرة لاتكون صالحة مقبولة إلا بواسط أعمال القلب، فإن القلب ملك واﻷعضاء جنوده، فإذا خبث الملك خبثت جنوده
“Amalan
badan tidak akan diterima tanpa perantara amalan hati. Karena hati
adalah raja, sedangkan anggota badan ibarat prajuritnya. Bila Sang Raja
buruk, maka akan buruk pula seluruh prajuritnya. ” (Majmu’ Al Fatawa,
11/208).
Begitu pula kita mengenal bahwa agama
ini memiliki tiga tingkatan: Islam, kemudian di atasnya ada Iman,
kemudian di atasnya lagi ihsan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis
Jibril berikut:
Dari Umar bin Khotob radhiyallahu’anhu. Beliau berkata,
بَيْنَمَا
نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ
شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ
يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى
فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ
الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ
الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ،
فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ
اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ
وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ
وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ:
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ
فَإِنَّهُ يَرَاكَ…
“Suatu hari ketika kami
duduk di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba
datang seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan
berambut sangat hitam (bersih). Tidak ada bekas-bekas perjalanan jauh
(orang asing. pent), dan tak seorang pun di antara kami yang
mengenalnya. Kemudian dia duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Lalu menempelkan kedua lututnya kepada lutut Beliau dan
meletakkan kedua telapak tangannya di paha Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sambil berkata, “Wahai Muhammad, beritahukanlah kepadaku
tentang Islam?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab, “Islam adalah kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah, kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan
pergi haji jika kamu mampu,“ kemudian dia berkata, “Engkau benar.“
Kami
semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia
bertanya lagi, “Beritahukanlah kepadaku tentang Iman?“
Beliau
bersabda, “Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan kamu beriman kepada
qadar yang baik maupun yang buruk.”
Dia berkata, “Engkau benar.”
Kemudian dia berkata lagi, “Beritahukanlah kepadaku tentang ihsan.”
Beliau
menjawab, “Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu
melihat-Nya. Jika kamu tidak merasa begitu, (ketahuilah) bahwa Dia
melihatmu…” (HR. Muslim)
Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad –hafizhohullah– (ahli hadits dari kota Madinah) menerangkan saat membahas hadis di atas,
فالدرجات
ثلاث: أولها: درجة الإسلام، ثم تليها درجة الإيمان، ثم تليها درجة
الإحسان.وكل درجة أكمل من الدرجة التي قبلها، وكل درجة داخلة في التي
قبلها، فكل مؤمن مسلم، وكل محسن مؤمن ومسلم؛ لأن درجة الإحسان هي درجة
كمال، وأقل منها درجة الإيمان، وأقل منهما درجة الإسلام
”
Tingkatan agama ini ada tiga: pertama Islam, kemudian kedua iman, lalu
ihsan. Setiap tingkatan lebih sempurna dari tingkatan sebelumnya. Dan
setiap tingkatan masuk dalam cakupan tingkatan sebelumnya. Maka setiap
mukmin adalah muslim. Setiap muhsin adalah mukmin dan juga muslim.
Karena tingkatan ihsan adalah tingkatan paling sempurna. Kemudian di
bawah nya ada iman, di bawahnya lagi ada islam
Dua tingkatan diantaranya; yaitu iman dan ihsan, adalah berkaitan
dengan amalan hati. Yang mana dua hal ini berada di atas derajat Islam
yang pengertiannya adalah amalan badan. Karena Islam bila disebutkan
bersamaan dengan Iman, maka masing-masing memiliki pengertian berbeda.
Yaitu Islam adalah amalan badan, sedang Iman adalah amalan hati.
Kemudian
bukti selanjutnya bahwa amalan hati lebih besar nilainya daripada
amalan badan adalah, pokok-pokok atau pondasi agama ini ada pada amalan
hati. Seperti cinta kepada Allah dan RasulNya, tawakkal, rojaa‘ (rasa
harap), khosyah (rasa takut disertai ilmu), ikhlas, sabar, syukur.
(Lihat: Majmu’ Al Fatawa: 5/10)
Dalam hadits Qudsi disebutkan, dimana Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam meriwayatkan dari Robb-nya, Allah ta’ala berfirman,
أنا أغني الشركاء عن الشرك, فمن عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته و شركه
“Aku
paling tidak butuh pada sekutu. Barangsiapa mengerjakan suatu amalan
dalam keadaan menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia
bersam dengan sekutunya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadis
di atas sebagai dalil bahwa amalan hati lebih besar kedudukannya
daripada amalan badan. Karena amalan badan tidak akan berguna bila
seorang berlaku syirik, sebanyak apapun amalannya. Baik syirik kecil
apalagi syirik besar.
Seperti seorang sedekah
karena riya’ (dan riya ini letaknya di hati), maka akan sia-sialah
pahala. Sebesar apapun nominal sedekah yang ia keluarkan. Atau membaca
Al Qur’an supaya dipuji suaranya oleh orang-orang (sum’ah). Ini juga
akan sia-sia pahalanya. Meski sebagus apapun lantunan suaranya.
Para
ulama juga menjelaskan, bahwa besar kecilnya pahala, berkaitan erat
dengan keadaan niat dalam hati seseorang. Ini juga bukti bahwa amalan
hati memiliki kedudukan yang tinggi. Bisa jadi amalan kecil menjadi
besar nilai pahalanya disebabkan oleh niat. Bisa jadi pula amalan besar
menjdi kecil pahalanya disebabkan oleh niat. Sebagaimana dijelaskan oleh
Abdullah bin Mubaarak:
رب عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية
“Boleh
jadi amalan kecil, namun pahalanya menjadi besar karena faktor niat
(keikhlasan). Dan bisa jadi amalan besar menjadi kecil nilai pahalanya
disebabkan oleh niat.”
Demikian pula dosa. Dosa
kecil akan menjadi besar, bila dilakukan disertai rasa menyepelekan.
Dan dosa besar akan lenyap bila pelakunya merasa bersalah, menyesal,
beristighfar dan bertaubat kepada Allah. Semua ini kaitannya dengan
hati. Oleh karena itu para ulama mengatakan:
لاصغيرة مع الاستمرار ولا كبيرة مع الاستغفار
“Tidak ada dosa kecil bila dilakukan secara terus-menerus. Dan tidak ada dosa besar bila ditutupi dengan istighfar. ”
Amalan Badan Masuk dalam Cakupan Iman
Meski
sudah kami paparkan, bahwa amalan hati memiliki kedudukan lebih tinggi
dari amalan badan, namun bukan berarti kemudian kita anggap remeh
pengaruh daripada amalan badan. Karena baiknya amalan badan seseorang
adalah bukti bersihnya hati dan sempurnanya iman.
Dalam
akidah Ahlussunah wal Jama’ah, amalan badan masuk dalam cakupan iman.
Karena pengertian iman menurut akidah Ahlussunah wal Jama’ah, iman
adalah keyakinan dalam hati, yang diikrarkan melalui lisan, lalu
diamalkan oleh anggota badan. Iman betambah dan berkurang, bertambah
karena amal ketaatan, berkurang karena perbuatan-perbuatan maksiat.
Banyak dalil yang menunjukkan bahwa amalan badan masuk dalam cakupan iman. Diantaranya firman Allah ta’ala,
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ
رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah
iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”
(QS. Al Anfal: 2).
Lalu Allah ‘azza wa jalla menjelaskan dalam ayat selanjutnya, melanjutkan tentang siapa orang-orang yang beriman itu,
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“(yaitu)
orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari
rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Al Anfal: 3).
أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan
memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan
serta rezeki (nikmat) yang mulia” (QS. Al- Anfal: 4).
Dalam ayat yang lain Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
“Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. ” (QS. Al- Baqarah: 143).
Dalam
sebuah hadis, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dijelaskan bahwa ayat
ini turun berkenaan beberapa orang sahabat Nabi, yang terbunuh sebelum
terjadi perpindahan kiblat (dari Baitul Maqdis ke Ka’bah), bagaimanakah
nasib sholat mereka? Apakah diterima? Lalu Allah mewahyukan ayat ini
kepada RasulNya.
Jadi pengertian Iman dalam
ayat di atas adalah sholat. Dimana sholat adalah bagian dari amalan
badan. Namun dalam ayat ini, Allah menyebutnya pula sebagai Iman. Ini
menunjukkan bahwa amalan badan juga masuk dalam cakupan iman. Imam
Bukhori dalam kitab shohihnya menuliskan sebuah bab:
باب: الصلاة من الإيمان
“Bab: Sholat bagian dari Iman”
Lalu Al-Hulaimi rahimahullah menerangkan,
أجمع
المفسرون على أنه أراد صلاتكم إلى بيت المقدس، فثبت أن الصلاة إيمان، وإذا
ثبت ذلك، فكل طاعة إيمان إذ لم أعلم فارقاً في هذه التسمية بين الصلاة
وسائر العبادات
“Para ahli tafsir sepakat
(tentang makna ayat di atas) bahwa yang dimaksudkan oleh Allah ” Sholat
kalian” pada ayat di atas adalah sholat kalian saat menghadap Baitul
Maqdis. Maka terbuktilah bahwa sholat itu termasuk dalam iman. Bila
demikian keadaannya, demikian pula dengan seluruh amalan ketaatan;
seluruhnya masuk dalam pengertian iman. Karena tidak diketahui adanya
perbedaan antara sholat dengan amalan ibadah lainnya.” (Al-jami’ Li
Syu’abil Iman 1/121, dikutip dari dorar.net)
Demikian
yang bisa kami sampaikan. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat untuk
penulis dan pembaca sekalian. Alahu a’lam bis showab.
🌸🍀
Penulis: Ahmad Anshori
0 comments:
Post a Comment