JAKARTA-Kebebasan Pers di Indonesia dinilai memburuk dalam setahun terakhir.
Hal ini dipicu oleh rentetan peristiwa kekerasan terhadap jurnalis.
Diketahui, pada 2018, Indeks Kebebasan Pers (IKP) Indonesia hanya
menduduki peringkat 124 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers
Dunia Tahun 2018 versi Repoters Without Borders. Bahkan peringkat IKP
Indonesia lebih rendah dibanding Timor Leste yang menempati peringkat
93.
"Indeks Kebebasan Pers Indonesia (peringkat) 124, mungkin indeks kita
akan lebih jelek," kata Ketua AJI, Abdul Manan dalam Seminar Nasional
"HAM, Kemerdekaan Pers, Perlindungan dan Keselamatan Jurnalis di
Indonesia" di Erasmus Huis, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Abdul Manan mengatakan memburuknya Indeks Kebebasan Pers di Indonesia
dipicu berbagai kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi
belakangan ini. Misalnya, dalam kerusuhan yang terjadi di depan Gedung
Bawaslu pada 21-22 Mei 2019. Dari 15 laporan kekerasan terhadap
wartawan, sembilan kasus di antaranya dilakukan oleh polisi.
Belasan kasus kekerasan terhadap wartawan juga terjadi saat
demonstrasi mahasiswa pada 23 hingga 30 September 2019. Belum lagi tiga
kasus kekerasan terhadap wartawan di Makassar hingga pembatasan akses
internet di Papua.
"Dengan peristiwa-peristiwa itu kalau ada yang menyebut Indeks
Kebebasan Pers Indonesia akan lebih baik, saya kira itu sebuah
keajaiban," katanya.
Pernyataan Abdul Manan ini menanggapi pernyataan Ketua Komisi
Hubungan Antar-Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers, Agus Sudibyo. Agus
meyebutkan kekerasan terhadap pers masih menjadi persoalan di Indonesia.
Namun, lembaga-lembaga terkait di Indonesia, seperti Dewan Pers, AJI,
LBH Pers, Komite Keselamatan Jurnalis, PWI dan lainnya, telah berupaya
menangani berbagai kasus kekerasan tersebut secara berkualitas.
"Kekerasan terhadap wartawan masih menjadi persoalan yang sangat
serius di Indonesia, tetapi upaya kita untuk menangani kekerasan tidak
pernah kurang. Banyak kasus yang ditangani secara berkualitas. Dewan
Pers mengapresiasi Komite Keselamatan Jurnalis, AJI, dan lain-lain yang
selama ini bersama Dewan Pers menangani kekerasan-kekerasan terhadap
jurnalis," katanya.
Menurut Agus, lembaga-lembaga internasional yang mengukur Indeks
Kebebasan Pers hanya melihat jumlah kekerasan terhadap wartawan.
Upaya-upaya menangani kasus kekerasan yang terjadi, tidak pernah menjadi
bahan pertimbangan untuk pemeringkatan IKP.
"Seharusnya ini juga dipertimbangkan oleh lembaga-lembaga
internasional yang melakukan pemantauan terhadap kebebasan pers di
Indonesia atau lebih jauh lagi melakukan pemeringkatan Indeks
Kemerdekaan Pers dunia," katanya.
Agus menambahkan, upaya pers dan masyarakat sipil serta mahasiswa
dalam membendung RUU KUHP yang mengancam kebebasan pers juga tak menjadi
pertimbangan lembaga pemantau kebebasan pers di Indonesia. Di sisi
lain, dia menyatakan lembaga-lembaga tersebut juga tidak melihat
perbedaan luasan suatu negara serta sistem politik yang ada di negara
tersebut. Padahal, kata Agus, kekerasan terhadap wartawan salah satunya
disebabkan kritisisme pers terhadap pengusaha, pemerintah, dan elit
politik tertentu. Sikap kritis pers terhadap elite politik itu hanya
dapat terjadi di negara dengan iklim demokratis, seperti Indonesia.
Kasus kekerasan terhadap pers akan minim terjadi di negara dengan
tingkat demokratisasi yang masih rendah dan kebebasan pers yang kurang
melembaga.
"Kalau perbedaan sistem ini tidak dipertimbangkan dan lembaga
internasional hanya melihat problem bukan bagaimana kita mengatasi
problem, maka dengan sistem seperti itu bisa jadi Indeks Kemerdekaan
Pers Singapura lebih tinggi dari Indonesia. padahal di sana tidak ada
kebebasan pers dan di situ tidak ada alasan terjadinya kekerasan
terhadap wartawan," paparnya.
Kekerasan terhadap JurnalisSejumlah jurnalis
diketahui mengalami kekerasan saat meliput peristiwa kerusuhan dalam
demonstrasi di depan Bawaslu pada 21-22 Mei 2019 maupun saat meliput
kericuhan demonstrasi mahasiwa di depan Gedung DPR pada 23 hingga 30
September 2019. Bahkan, terdapat jurnalis yang mengalami kekerasan saat
meliput dua peristiwa tersebut.
Salah satunya, Putra (27), jurnalis sebuah media daring. Kepada Beritasatu.com,
Putra menuturkan peristiwa yang dialaminya. Selepas meliput kericuhan
di sekitar depan Gedung Bawaslu dan Sarinah pada Rabu (22/5/2019) dini
hari, Putra bersama dua rekan kantornya memilih untuk membeli makan di
sekitar Jalan Gereja Theresia, Menteng. Lokasi tersebut dipilih karena
banyak pedagang makanan dan relatif aman karena cukup jauh dari pusat
kericuhan di Sarinah, yakni sekitar 100 meter.
Putra dan kawan-kawan pun memarkir motor mereka masing-masing tepat
di depan sebuah kafe di jalan tersebut. Namun, baru saja sate padang
yang dipesan Putra dan kawan-kawan tiba, sekelompok pria yang diduga
aparat keamanan berpakaian preman menyisir dan mencari para demonstran
yang dipukul mundur ke daerah itu. Kericuhan antara aparat dan
demonstran pun pecah di sekitar lokasi Putra dan kawan-kawannya makan.
Lantaran situasi yang tidak kondusif, Putra bersama dua rekannya
memilih mengakhiri istirahat mereka dan bergegas menjauh dari lokasi
tanpa membawa motor. Setelah situasi mulai kondusif, Putra dan kawannya
kembali ke lokasi tersebut untuk mengambil motor mereka. Nahas, saat
tiba di lokasi, motor Honda Beat yang dipinjam Putra dari adiknya itu
telah rusak parah. Lampu utama pecah, sepatbor, hingga sayap motornya
patah.
"Sampai di sana kondisi motor sudah rusak parah bagian depannya.
Parahnya lag, helm saya juga hilang. Padahal motor saya sebelumnya
baik-baik saja," katanya.
Tak cukup sampai di situ. Putra juga mengalami kekerasan saat
ditugasi kantornya meliput aksi demonstrasi para pelajar di sekitar
gedung DPR pada 25 September 2019. Putra mengaku saat itu sedang mencoba
masuk gedung DPR untuk memarkir motor yang dikendarainya.
Saat tiba di sekitar Stasiun Palmerah, kericuhan antara pelajar dan
aparat Kepolisian pun pecah. Putra pun bergegas mencoba masuk gedung DPR
melalui pintu masuk pejalan kaki yang berada persis di samping pos
polisi. Namun, petugas pengamanan dalam (pamdal) menolak permintaan
Putra karena situasi yang sudah rusuh. Putra pun memutuskan memarkir
motornya di pintu masuk pejalan kaki dan langsung berlari menjauh dari
lokasi.
"Daripada membahayakan nyawa, saya parkir motor persis depan pintu
masuk. Tadinya ingin parkir di dalam area gedung, tetapi dilarang
pamdal," tuturnya.
Saat itu, bentrokan antara pelajar dan aparat semakin memanas. Putra
yang sudah berada di tempat yang cukup aman, melihat para pelajar
membakar motor-motor yang terparkir di sekitar lokasi, termasuk motor
Honda Supra miliknya.
"Situasinya pecah banget. Tiba-tiba para pelajar itu langsung membakar motor saya dan tiga motor lainnya yang parkir juga di depan pintu itu," ungkapnya.
KulturKomisioner Komnas HAM, Choirul Anam
mengatakan jurnalis merupakan pembela HAM. Untuk itu, kerja-kerja
jurnalis harus dilindungi dari serangan dalam bentuk apa pun. Komnas HAM
berkordinasi dengan Kepolisian untuk membuat kesepakatan bersama
tentang mekanisme perlindungan pembela HAM, termasuk jurnalis.
"Kerja jurnalis, esensinya mereka mempunyai fungsi untuk penyambung
informasi ke masyarakat yang tak bisa dibatasi. Jika ada sesuatu yang
ditutupi dan diatur-atur, bagaimana mereka bekerja untuk kebutuhan
informasi masyarakat," tegas Choirul Anam.
Sementara itu, Puri Kencana Putri dari Komite Keselamatan Jurnalis
menyatakan kerja-kerja jurnalis erat kaitannya dengan HAM dan demokrasi.
Untuk itu, perlu dibangun kultur dan iklim pers yang sehat dengan
memberikan perlindungan terhadap kerja-kerja jurnalis. Namun, kekerasan
demi kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi. Dicontohkan Puri, kasus
kerusuhan di depan Gedung Bawaslu pada Mei lalu mengancam keamanan para
pekerja media. Selain itu, terdapat praktik persekusi di lapangan
terhadap kelompok pekerja media. Bahkan, terdapat sejumlah pihak yang
menempuh jalur hukum atas pemberitaan media. Menurutnya, berbagai
peristiwa tersebut menjadi pembelajaran penting perlindungan terhadap
keselamatan jurnalis harus dilihat dari beragam aspek.
"Angka (kekerasan terhadap pers) memang menurun. Dari di atas 50
(kasus) menjadi di bawah 50, tetapi juga harus dilihat bentuk-bentuk
serangan," katanya.
Puri meminta perusahaan media untuk memperhatikan keselamatan pekerja
media, terutama mereka yang ditugaskan di wilayah tertentu. Apalagi,
kata Puri, setelah melalui tahun politik pada 2019, tren pemberitaan di
masa mendatang diprediksi mengarah pada industri yang berkaitan dengan
sumber daya alam.
"Mungkin lima tahun ke depan kita menghadapi tren industri ekstraktif
di dunia. Pemberitaan harus juga masuk di sana untuk mengabarkan
praktik-praktik terbaik ataupun sebaliknya. Tren ini harus juga dilihat
oleh perusahaan media untuk memastikan para pekerja media yang
diturunkan ke spot-spot tertentu memiliki sejumlah hak yang harus
dilindungi," katanya.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Owen Jenkins mengaku terkesan
dengan media-media di Indonesia yang dinamis dan idealis. Ranah media di
Indonesia, katanya, seperti halnya demokrasi, telah membuat kemajuan
besar sejak reformasi. Meski beragam dan bebas, Freedom House menilai
pers Indonesia tidak sepenuhnya bebas. Masih banyak laporan tentang
kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis, dan konsentrasi kepemilikan
media. Reporters Without Borders menempatkan Indonesia pada peringkat
124 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Sedunia. Owen juga
mengutip catatan AJI bahwa terdapat sekitar 40-50 kasus kekerasan
terhadap jurnalis setiap tahunnya.
"Bahkan beberapa daerah di Indonesia masih sulit untuk diakses oleh jurnalis," katanya.
Owen mendorong Indonesia untuk bergabung dengan Inggris, dan banyak
negara lainnya untuk merancang dan mengembangkan Rencana Aksi Nasional
untuk Keselamatan Jurnalis. Rencana aksi nasional Indonesia akan
memberikan serangkain rekomendasi yang komprehensif bagi jurnalis,
pemerintah dan masyarakat sipil terhadap langkah-langkah yang mendukung
sebuah lingkungan yang bebas dan aman bagi jurnalis dan para praktisi
media.
Untuk itu, dibutuhkan komitmen semua pihak untuk bekerja sama melalui
dialog untuk mengembangkan pemahaman yang sama tentang masalah yang
dihadapi. Rencana aksi nasional yang dihasilkan kemudian akan menjadi
rencana yang komprehensif untuk seluruh masyarakat. Rencana aksi
nasional ini memungkinkan Indonesia untuk mengambil peran aktif dalam
mencegah serangan dan intimidasi terhadap jurnalis. Hal ini juga
mendorong tindakan cepat dalam menanggapi serangan dengan membangun
mekanisme darurat nasional.
"Peran vital media dalam menyediakan informasi yang benar dan akurat
kepada masyarakat harus dilindungi. Setiap serangan terhadap kebebasan
pers adalah serangan terhadap kebebasan kita semua," tegasnya.
0 comments:
Post a Comment