![]() |
Para pemilik lahan sedang berjaga di akses jalan
masuk proyek tol Serang Panimbang di Kampung Gunung Mulih, Desa Bojong
Catang, Kecamatan Tunjungteja, Jumat (14/2/2020).*
|
SERANG, (KB).- Sebanyak 21 orang warga Kampung
Gunung Mulih, Desa Bojong Catang, Kecamatan Tunjungteja, Kabupaten
Serang, memblokade akses masuk proyek pembangunan tol Serang-Panimbang,
Jumat (14/2/2020).
Hal itu dilakukan karena lahan seluas 3 hektare yang merupakan sawah
produktif dan terlintasi proyek tol tersebut, masih belum tuntas
pembayarannya.
Pantauan Kabar Banten, di lokasi proyek tersebut tampak terpasang
tali yang membentang memotong jalan masuk proyek. Di antara tali
tersebut terpasang papan bertuliskan “Dilarang lewat mohon maap jalan
kami tutup. Karena dalam proses pengadilan terima kasih”.
Selain itu, di sekitar lokasi juga terpasang tenda tempat warga
menjaga lahannya tersebut. Sementara, sejumlah alat berat seperti truk,
beko hingga molen semen tampak ada tidak jauh dari lokasi pemblokadean.
Tidak ada aktivitas proyek di sekitar lokasi yang diblokade tersebut.
Salah seorang pemilik lahan Ahmad Komara mengatakan, masyarakat sudah
melakukan pemblokadean, sejak tiga hari terakhir dan berjaga selama 24
jam penuh. Namun untuk tenda baru dibangun hari ini.
Pemblokadean dilakukan karena tanah tersebut masih dalam proses hukum
di pengadilan serta belum ada putusan inkrah. Pihaknya akan tetap
bertahan dengan keputusan yang telah mereka ambil dan tidak akan
mengikuti aturan berlaku.
“Karena ini hak kami untuk dipertahankan. Kalau sudah dibayar dan
administrasi beres silakan kami tidak ada niatan apapun, bukan kami
menghalangi proyek ini atau tidak mendukung. Kami sangat mendukung tapi
dengan catatan hak kami jangan ada yang dirugikan,” ujarnya kepada Kabar
Banten di lokasi.
Komara menjelaskan, pada awalnya harga tanah tersebut hanya dihargai
Rp 75.000 per meter, namun masyarakat menolak. Kemudian harga tanah
diputuskan lewat pengadilan dengan harga Rp 250.000 per meter. Akan
tetapi, sampai saat ini belum ada titik terang, sebab pihak tol
melakukan banding atas harga tersebut ke pengadilan tinggi.
“Tapi sampai saat ini belum ada titik terang dari pengadilan karena
mereka (pihak tol) banding, kami menunggu dan kami menerima (harga Rp
250.000). Dokumen (kepemilikan tanah) lengkap semua,” ucapnya.
Ia mengatakan, lahan yang masih bermasalah ini luasnya sekitar 3
hektare dan dimiliki oleh 21 orang. Namun demikian, lahan tersebut
lokasinya berbeda-beda titiknya. Lahan tersebut biasa digunakan
masyarakat untuk kegiatan bertani.
“Bertani bagi kami sudah bagian untuk menghidupi anak istri kita dari
hidup di lahan ini. Karena profesi saya petani saya akan belikan lahan
lagi, tapi karena harganya Rp 75.000 kami enggak akan dapat, masyarakat
sudah tahu (ada pembebasan) harganya sudah naik apalagi di lokasi ini
tidak ada (harga Rp 75.000). Mungkin yang sumber airnya jelek bisa
dapat,” katanya.
Komara menuturkan, lahan tersebut merupakan lahan produktif dengan
saluran irigasi yang baik. Bahkan ketika irigasi tidak berjalan, masih
ada pompanisasi yang dilakukan dari aliran Sungai Ciujung menggunakan
pipa 12 inch.
“Jadi tetap kalau kemarau bisa bertani. Kalau perhektare bisa 6-7
ton, setahun tiga kali tanam. Lahan saya enggak luas cuma 1.200 meter,”
ucapnya.
Tak koordinasi
Warga lainnya Abdurahman mengatakan, untuk dirinya yang menjadi
masalah bukan terkait harga. Namun tidak adanya koordinasi harga yang
disesalkan masyarakat.
“Harganya Rp 75.000 per meter. Makanya kita minta naik. Malah pas
orang tanya harga malah dikasih amplop yang nominal harga seluruhnya
tertera disana. Terus enggak tertera per meter berapa. Kalau enggak suka
ke pengadilan katanya. Seolah dibodohi,” ujarnya.
Ia mengatakan, warga inginnya ada keterbukaan melalui musyawarah
seperti di daerah Panimbang. Untuk harga masyarakat tidak muluk, yang
penting ketika menjual sawah mereka bisa kembali mendapatkan sawah.
“Ini boro-boro, harga sawah di gusuran mahal makanya banyak yang
menjerit, masa jual sawah di sini domisili di Pandeglang. Di sini naik
begitu dengar gusuran,” tuturnya.
Dirinya menerima dengan harga yang diputuskan pengadilan Rp 250.000
per meter. Walaupun sebenarnya harga itu mengenyampingkan hasil panen.
“Tapi kami nilai wajar, itu diglobalkan. Putusannya keluar 16 Oktober 2019. Lahan saya sedikit cuma 1.116 meter,” ucapnya.
Temmy mengatakan, untuk lahan terdampak lainnya saat ini sudah
dibayarkan. Sedangkan lahan milik 21 orang ini masih ada gugatan
terhadap hasil apraisal.
“Kita sih mempersilakan kalau mau menggugat. Kita proses di pengadilan, nanti pengadilan yang memutuskan,” katanya.
Disinggung terganggu tidaknya dengan aktivitas pemblokadean tersebut,
ia mengatakan hal itu berkaitan dengan BUJT karena mengenai konstruksi
tol. Namun menurut dia, jika warga ingin tuntas mereka tinggal mencabut
gugatannya ke pengadilan.
”Nanti kita mengeluarkan surat ke pengadilan untuk kembalikan uang ke
warga. Kalau belum cabut gugatan sampai selesai pengadilan, mungkin
sampai MA, karena ini perdata umum bukan berdasarkan undang undang, bisa
bertahun- tahun. Saya khawatirkan nilai uang tidak berubah kasihan sama
warga, kita tempuh jalur hukum biar sama-sama enak,” tuturnya. (DN)*
0 comments:
Post a Comment