![]() |
Tuhan sebagai penyusun kitab suci Alquran Yang Maha Cermat tentu
sudah memperhitungkan setiap pilihan kata yang diungkapkan. Termasuk isi
dan sistematika yang disajikan dalam Alquran tersebut. Sebagai umat
yang beriman kepada Alquran berdasarkan ilmunya akan meyakini tanpa ragu
dan curiga bahwa Alquran adalah kitab yang disusun Tuhan dengan
orisinil (bukan plagiator).
Sebaliknya, bagi yang tidak mengenal konstelasi keilmuan Alquran, ia
pasti akan mencibir Alquran sebagai kitab kuno yang berhiaskan mitos dan
dongeng-dongeng hayali yang tak ada signifikansinya dengan kehidupan
konkret.
Sebagai contoh adalah kaum orientalis yang meragukan bahasa Tuhan
dalam Alquran tentang kalimat-kalimat perumpamaan yang dibuatnya. Kaum
orentalis itu dengan nada menghina menghujat Tuhan bagai anak kecil yang
gemar membuat perumpamaan dengan binatang-binatang yang sesungguhnya
tidak pantas diungkapkan Tuhan.
Mereka beralasan perumpamaan binatang yang dibuat Tuhan itu sama
sekali tidak ada gunanya karena semata merupakan binatang mitos yang
menjadi fokus dongeng-dongeng yang sudah ketinggalan zaman (out of
date).
Tuhan sendiri dalam Alquran dengan lantang dan lugas menyatakan tidak
akan pernah malu membuat perumpamaan dengan binatang walau dengan
binatang sekecil nyamuk sekalipun. Kelantangan Tuhan ini merefleksikan
inuguinitas keberaniannya bahwa nyamuk yang dijadikan perumpamaannya itu
adalah benar mengandung daya signifikansinya dengan realitas kehidupan.
Kuntowidjoyo dalam bukunya Paradigma Islam: Interpretasi untuk aksi
mengungkapkan bahwa untuk memahami bahasa Tuhan perlu dicermati mana
bahasa yang konkret dan bahasa yang menjadi postulat. Dengan begitu,
kita akan memahami dengan mudah bahasa Tuhan yang tidak selalu hampa
dengan strategi kebudayaannya sendiri dalam membaca realitas yang
dihadapinya.
Dalam hal ini, maka ungkapan Tuhan tentang kalimat nyamuk jelas
menunjukkan strategi kebudayaan Tuhan yang amat cerdas dalam merespon
kaum kafir yang masih dangkal pengetahuannya tentang hakekat/keunikan
nyamuk. Para ahli biologi menemukan keunikan nyamuk dari sisi sensor
pendengarannya amat tajam meliputi 15.000.000 sensor elektrik.
Kedangkalan kaum kafir itu terlihat dari kritik tegas Tuhan yang
terungkap dalam ayat berikutnya yang menyatakan bahwa sebagian dari
orang kafir dengan kata perumpamaan itu ada yang kebudayaan prilakunya
sesat dan ada pula yang kebudayaannya tercerahkan (Q.S . 2 : 26).
Sebagaimana halnya keunikan nyamuk tentu dengan binatang-binatang
lain pun yang disebut Tuhan dalam firman-Nya seperti semut, lebah, lalat
dan laba-laba memiki keunikan yang tidak jauh berbeda. Termasuk
keunikan burung gagak yang menjadi judul tulisan ini.
Burung gagak diutus Tuhan pada saat situasi kebudayaan masyarakat
yang masih terdiri dari beberapa unsur keturunan Nabi Adam yang belum
mengenal kebudayaan dengan amat sempurna. Bahkan dijumpai salah satu
keturunan yang bernama Qabil berperilaku dengki, rakus dan kasar
terhadap adik kandungnya yang bernama Habil.
Konon diceritakan bahwa ibadah kurbannya Qabil tidak diterima Tuhan
karena benda yang dikurbankan berupa gandum yang sudah busuk dan cacat
persyaratan. Berbeda dengan Habil, ia berkurban dengan seekor ternak
kambing yang sehat/tidak cacat. Karena karakter Qabil yang tidak
diterima kurbannya oleh Tuhan, ia kemudian tidak diizinkan nikah dengan
Iklima adik kandungnya yang paling cantik.
Iklim justru dinikahkan dengan Habil yang dinilai berkarakter tulus
dan ikhlas dalam berkurban. Qabil pun cemburu lalu tumbuh niat jahatnya
untuk membunuh Habil, adik kandungnya sendiiri.
Setelah Habil itu benar-benar dibunuh, Qabil sama sekali tidak
mempunyai pengetahuan/kebudayaan bagaimana cara menguburnya. Dalam
situasi kebingungan budaya inilah Tuhan mengutus burung gagak ke bumi
untuk menggali tanah dengan kukunya yang tajam. Qabil menyaksikannya dan
merasa mendapatkan ilmu menggali tanah sehingga ia meniru cara burung
gagak untuk mengubur mayat Habil (QS. 5 : 31).
Strategi budaya Tuhan mengutus burung gagak ini, secara simbolik
terkandung strategi cerdas Tuhan dalam memberikan pelajaran umat manusia
yang masih berbudaya dangkal, rakus, dan kejam. Padahal manusia telah
dipilih Tuhan dengan diberinya anugerah akal tetapi tidak
mempergunakannya dengan baik.
Manusia yang berkarakter di bawah sadar ini memang pantas diberi
pelajaran oleh sang burung gagak yang notabenenya bukan makhluk sempurna
seperti manusia dengan atribut akalnya. Dengan pelajaran seperti ini
manusia sesungguhnya sedang direkognisi kesadarannya dan diberi hukuman
oleh sang binatang agar kembali ke jalan budaya yang benar dan berakal
yang waras.
Di era modern dengan gaya hidup dan berbudaya tinggi ini ternyata
tidak sedikit dijumpai orang yang cerdas tapi berperilaku tidak waras.
Padahal mereka lulusan perguruan tinggi dalam dan luar negeri. Akan
tetapi, sebagian dari mereka masih saja yang berkarakter dan berotak di
bawah sadar. Mereka sering larut dalam debat dan konflik yang
berkepanjangan. Bahkan dengan otak di bawah sadarnya itu, mereka berani
saling hujat.
Emha Ainun Najib dalam tulisannya menyayangkan banyak kaum cerdas
yang gemar membinatangkan bangsanya sendiri seperti dengan kalimat
mencacingkan orang. Padahal cacing tidak pernah bersalah yang salah
adalah manusia-manusia cerdas yang telah mencacingkan SDM dan tata
kelola kehidupan umat/bangsanya sendiri.
Oleh karena itu, dalam situasi krisis kemanusiaan ini, tampaknya
Tuhan perlu mengutus kembali burung gagak super cerdas dan berbudaya
tinggi untuk mendidik ulang umat manusia yang otaknya telah mengalami
erosi.
Pencerahan ulang oleh sang burung gagak ini secara simbolik
terkandung sindiran yang amat memalukan sehingga umat manusia yang telah
mengalami erosi dan distorsi tadi dapat bangkit kembali dengan otak
cerdas memperbaiki martabat kesejahteraan lingkungannya. Hadirnya virus
corona sebagai bencana pandemi, tampaknya menjadi ta’bir kekuasaan Tuhan
yang dijelmakan dalam cara burung gagak memberikan pendidikan. Wallahu
A’lam. (Penulis, Rektor UIN SMH Banten)*







0 comments:
Post a Comment