Kekecewaan terhadap kinerja pemimpin daerah muncul dengan berbagai
bentuk ekspresi. Masyarakat kecewa karena janji kampanye yang telanjur
dipercaya ternyata tidak ditunaikan pemimpin pilihannya. Ketiadaan
jaminan hukum membuat masyarakat selalu dalam posisi merugi.
Padahal,
dalam kampanye, calon pemimpin selalu berbicara dengan meyakinkan.
Seolah-olah ia menjamin bahwa setiap janjinya akan ditunaikan. Kelihaian
retorika membuatnya tampak layak dipercaya sehingga calon pemilih kerap
terperdaya.Kampanye yang baik idealnya didasari niat baik dan kejujuran. Gagasan
kandidat pemimpin dikomunikasikan kepada calon pemilih untuk ditimbang
kebaikan dan keburukannya. Berdasarkan informasi yang diterimanya, calon
pemilih kemudian menentukan pilihan paling rasionalnya. Bahasa menjadi
perantara yang memungkinkan calon pemimpin dan pemilihnya bernegosiasi
secara terbuka.
Namun pemikir kritis seperti Fairclough (1995)
berpendapat, bahasa merupakan piranti sosial yang cenderung tidak
transparan. Di sana tersimpan prasangka, diskriminasi, dan
ketidakadilan. Ketika digunakan (apalagi dalam kampanye) bahasa jadi
alat untuk memunculkan kebaikan sekaligus menyembunyikan niat jahat.
Bahasa
kampanye juga memiliki kecenderungan manipulatif yang sama. Di dalamnya
ada berbagai rekayasa. Janji dikemas sedemikian rupa sehingga tampak
begitu mudah terlaksana. Cita-cita dituturkan dengan indahnya sehingga
tampak mudah untuk meraihnya. Adapun rakyat disanjung demikian baiknya
seolah-olah menjadi raja dalam arti yang sesungguhnya.
Karena
bahasa kampanye selalu penuh muslihat, negosiasi antara calon pemimpin
dengan masyarakatnya menjadi tidak sehat. Masyarakat dieksploitasi aspek
kognitif dan afektifnya agar percaya dengan janji kampanye. Namun
mereka (kita?) tak mendapatkan jaminan apa pun bahwa janji yang
didengarnya akan dipenuhi.
Kampanye adalah ruang yang analog
dengan negosiasi bisnis. Dalam proses negosiasi, masing-masing pihak
membangun kesepakatan. Para pihak bersedia menyerahkan sesuatu untuk
dipertukarkan dengan sesuatu yang lain. Kesepakatan itu berjalan jika
didasari rasa saling percaya. Adapun kepercayaan, antara lain,
ditumbuhkan dengan adanya jaminan negara untuk menghukum pihak yang
melanggarnya.
Sistem hukum kita mengatur kerugian material yang diderita akibat kebohongan bisnis. Pasal 378 mengatur hal itu dengan asas affirmanti incumbit probate
(siapa yang mendalilkan sesuatu wajib untuk membuktikannya). Sayangnya,
asas hukum itu tidak terjadi dalam "negosiasi" dan "transaksi" politik
dalam pemilihan umum. Betapa pun palsu janjinya, politisi tidak dapat
dijerat dengan hukum pidana. Bahkan politisi itu bisa mencalonkan diri
kembali untuk menawarkan kebohongan lain dalam kampanye.
Mekanisme
hukum terhadap kebohongan kampanye kini sangat diperlukan karena dua
alasan. Pertama, kebohongan dalam kampanye membawa kerugian sosial yang
besar, baik baik individu maupun masyarakat secara kolektif. Kedua,
pengawasan dan sanksi politik yang selama ini diandalkan telah mengalami
disfungsi. Lembaga legislatif tidak bisa diandalkan karena dirinya
sendiri berada dalam lingkar kebohongan.
Jika mekanisme hukum itu
bisa dilembagakan, warga negara sebagai subjek hukum dapat menuntut
politisi yang ingkar janji. Dengan bukti yang memadai dan disahkan
pengadilan, warga negara bisa memperoleh hak yang dijanjikan kepadanya.
Jika hak itu tetap diingkari, pengadilan dapat menggunakan hak memaksa.
Kerugian besar
Para
politisi lazimnya terlatih menggunakan bahasa politik secara efektif.
Kata dipilih, disusun menjadi wacana yang bermakna untuk menggerakkan
masyarakat agar berpikir dan bertindak sesuai yang dikehendakinya.
Bahasa direkayasa agar memiliki efek perlokusi tinggi. Melalui
kata-katanya, politisi menciptakan "dunia baru" dalam pikiran publik.
Dalam dunia baru itulah aturan-aturan ditata agar selalu
menguntungkannya.
Untuk menciptakan "dunia baru", politisi
lazimnya merekayasa hubungan semiotik bahasa. Kata-kata sebagai simbol
dipelintir, direkayasa, dan direkonstruksi agar memiliki makna baru
sesuai kepentingannya. Dengan cara demikian, kata-kata bisa dimainkan
dalam retorika sambil dikhianati amanatnya.
Petahana akan
menggunakan rekayasa semiotik itu untuk membangun kesadaran palsu dalam
pikiran publik bahwa pemerintahannya berhasil dan berprestasi. Retorika
"kedulatan pangan", misalnya, bisa tetap dimainkan meski impor jutaan
ton beras telah diputuskan. "Kemandirian petani" tetap diamini meski
sawah seantero negeri terancam habis alih fungsi tiada henti.
Bagi
oposisi, kata-kata juga direkayasa dengan tak kalah canggihnya.
Retorika mereka dibangun dalam tiga tahap wacana. Pertama, menciptakan
kesan bahwa pemerintahan yang ada buruk atau gagal. Kedua, menawarkan
cara baru yang lebih baik dan rasional. Ketiga, meyakinkan publik bahwa
cara baru itu hanya bisa dilakukan oleh pihaknya.
Kondisi demikian
akhirnya menempatkan publik dalam kerugian besar. Sebab, kandidat mana
pun yang dipilihnya ternyata menyimpan kebohongannya masing-masing.
Sementara itu, publik tak memiliki jaminan bahwa janji-janji yang telah
telanjur ia percayai akan ditepati. Kekosongan hukum, dengan demikian,
membuat warga negara dipaksa menyerahkan sesuatu yang berharga tanpa
jaminan akan mendapat imbalannya.
Ketimpangan pengetahuan
Demokrasi elektoral menempatkan setiap warga negara memiliki hak suara (one man one vote).
Demokrasi jenis ini dilaksanakan dengan asumsi telah terjadi distribusi
pengetahuan yang memadai kepada tiap warga negara. Karena telah
memiliki pengetahuan memadai, setiap warga negara memiliki hak dan
tanggung jawab terhadap pilihan politiknya.
Realitas aktual bangsa
kita tidak menunjukkan kondisi demikian. Ketimpangan distribusi
pengetahuan terjadi di hampir semua kategori masyarakat. Pengetahuan
menumpuk di masyarakat terdidik perkotaan, berpenghasilan menengah ke
atas, dan bekerja di sektor formal. Adapun di kalangan masyarakat
pedesaan, berpenghasilan rendah, dan bekerja di sektor informal,
pengetahuan masih sangat kurang.
Bagi masyarakat kelompok pertama,
kampanye yang didesain dengan kebohongan relatif tidak akan berdampak
besar. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, mereka bisa merumuskan sikap
secara kritis. Mereka bisa melawan (karena melanggar standar moralnya),
membiarkan (karena apatis), atau bahkan mendukung (karena ada
keuntungan yang bisa diperolehnya) sesuai dengan pertimbangan rasional
masing-masing.
Tapi bagi masyarakat kelompok kedua, yang
pengetahuan belum menjadi bagian integral praktik sosialnya, kebenaran
dan kebohongan bisa sangat sulit dibedakan. Oleh karena itu, mereka
sangat rentan diperdaya politisi yang menginginkan dukungan mudah dan
murah.
Aturan hukum bahasa kampanye hadir untuk membela hak warga
negara kelompok yang kedua. Seperti warga negara lain, mereka harus
mendapat jaminan bahwa yang telah dinjanjikan kepada mereka harus
dipenuhi. Aturan hukum demikian akan menempatkan mereka sebagai warga
negara yang selain dijamin kebebasan memilihnya, juga dihargai pilihan
politiknya.
0 comments:
Post a Comment