Pemerintah mengalokasikan dana
belasan triliun rupiah untuk bantuan sosial (bansos) khusus bagi
masyarakat miskin yang terancam akibat wabah Covid-19. Namun, pengamat
anti korupsi dan ekonom meminta pemerintah terbuka karena menganggap
dana bansos rawan untuk dikorupsi.
Presiden Joko Widodo merinci jumlah bansos yang akan disalurkan kepada masyarakat di seluruh Indonesia.
Untuk masyarakat yang tinggal di DKI Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) akan mendapatkan bantuan sebesar
Rp600 ribu per bulan selama tiga bulan dalam bentuk sembako.
Sedangkan masyarakat di luar Jabodetabek akan mendapat bantuan berupa uang tunai.
“Untuk masyarakat di DKI dialokasikan untuk 2,6 juta jiwa atau 1,2
juta KK (kartu keluarga) dengan besaran Rp600 ribu per bulan selama tiga
bulan. Anggaran yang dialokasikan adalah Rp2,2 triliun.
“Bantuan sembako untuk wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi
kepada 1,6 juta jiwa atau 576 ribu KK sebesar Rp600 ribu per bulan
selama tiga bulan. Dengan total anggaran Rp1 triliun.
“Untuk masyarakat di luar Jabodetabek akan diberikan bantuan sosial
tunai kepada 9 juta KK yang tidak menerima bansos PKH maupun bansos
sembako, sebesar Rp600 ribu per bulan selama tiga bulan dan total
anggaran disiapkan Rp16,2 triliun,” papar Joko Widodo.
Selain itu, pemerintah juga memutuskan untuk mengalihfungsikan dana
desa untuk bansos yang diberikan kepada sekitar 10 juta keluarga dengan
besaran Rp600 ribu per bulan selama tiga bulan. Total anggaran dana desa
yang disiapkan mencapai Rp21 triliun.
Distribusi bansos telah dilakukan di DKI Jakarta sejak Kamis (9/4)
dalam periode penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Berdasarkan data Kementerian Sosial, total sebanyak 22.756 kotak
makanan siap saji, dan 11.285 paket sembako telah didistribusikan di
Jakarta.
Siapa yang berhak dapat bansos?
Menteri Sosial Juliari P. Batubara mengatakan bansos sembako
ditargetkan untuk keluarga miskin yang terdampak akibat wabah virus
corona.
Di DKI Jakarta, mereka yang berhak mendapat bantuan ini adalah mereka
yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), penerima
Kartu Jakarta Pintar (KJP), guru kontrak kerja, guru honorer, dan
penghuni rumah susun, juga pekerja harian.
Untuk warga Bodetabek, data yang digunakan hanya mengacu pada DTKS milik Kemensos.
“DTKS milik Kemensos inilah (Bodetabek) satu-satunya data yang
kredibel saat ini. Kita sudah tidak punya waktu lagi,” kata Juliari
dikutip dari situs kemsos.go.id.
Sedangkan bantuan tunai bagi warga di luar Jabodetabek menggunakan
data DTKS yang tidak menerima bantuan sosial reguler (DTKS Non Bantuan
Sosial Nasional) baik Program Keluarga Harapan (PKH), dan Program
Sembako.
Namun, data yang digunakan oleh Kemensos dikritik peneliti Institute
for Development of Economic and Finance (Indef) Esther Sri Astuti.
“Tidak boleh hanya mengunakan data DTKS karena data Kemensos itu di-update terakhir kapan memang? Padahal kejadian wabah Covid-19 ini baru saja, akhir Februari sampai sekarang.
“Bagaimana bagi mereka yang tidak terdata karena baru saja dipecat,
dirumahkan, tidak ada penghasilan, apakah data mereka sudah diupdate
Kemensos? Saya rasa pemerintah harus gerilya ke kelurahan mendata RT/RW,
jadi terdeteksi dan update. Jangan gunakan data yang sudah ada karena tidak akan tepat sasaran,” kata Esther.
Warga sambut baik
Beberapa warga yang diwawancara BBC News Indonesia, seperti
dilaporkan oleh wartawan Kusuma Adji di Yogyakarta, menyambut baik
kebijakan bansos sembako pemerintah.
Mulyono, warga Kabupaten Bantul yang bekerja sebagai buruh serabutan,
mengungkapkan sudah tidak bekerja lagi semenjak wabah virus corona
melanda Indonesia.
“Proyek-proyek sekarang jadi macet, tidak jalan. Saya menganggur,
memberi makan anak istri pakai apa? Saya senang dengan bantuan itu,
lumayan membantu kehidupan sehari-hari walaupun tetap saja kurang,”
katanya.
Pemberian bantuan bahan makanan pokok itu juga mendapat sambutan
gembira dari Surodjo, seorang tukang parkir di sebuah restoran di Kota
Yogyakarta. Selama masa tanggap darurat Covid-19 ini pengeluarannya
berkurang dari rata-rata Rp100.000 menjadi Rp30.000 per hari.
“Bantuan itu bisa mengurangi beban pengeluaran, sangat membantu dan bagus sekali,” ujar warga Tejokusuman itu.
Kepala Dinas Sosial Provinsi DIY, Untung Sukaryadi mengatakan bantuan
ini dapat segera disalurkan karena anggarannya telah disetujui Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DIY.
“Anggarannya sudah disetujui DPRD Provinsi DIY hari ini, selanjutnya
yang membelanjakan adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Provinsi DIY yang mengemban Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19,”
ujarnya, Kamis (9/4).
Wakil Ketua DPRD Provinsi DIY, Huda Tri Yudiana mengatakan pihak
legislatif sudah menyetujui program ini dengan biaya sebesar Rp95
milyar.
Huda juga meminta agar pemerintah membeli bahan paket bantuan makanan
pokok itu dari para petani dan pelaku usaha kecil dan menengah.
“Dana ini besar sekali, dengan membeli dari petani dan pelaku UKM di
Yogyakarta maka akan membantu perekonomian para petani dan UMKM yang
terdampak dari pandemi,” tambahnya.
Pukat UGM: Dana bansos rawan dikorupsi
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat
UGM), Hanifah Febriani, mengungkapkan pemberian dana bansos di situasi
bencana rentan membuka celah korupsi.
“Di situasi bencana, pengawasan dan keterbukaan itu jadi lemah dan
kurang karena yang diutamakan kecepatan dan keterjangkauan yang luas.
Yang utama itu masalah selesai, dan audit itu terakhir,” kata Hanifah.
Hanifah melanjutkan, secara umum modus korupsi yang muncul dalam
penyaluran dana bansos, yaitu mengurangi jatah penerima atau bahkan ada
yang tidak menerima bansos sama sekali.
“Pelaku membuat daftar penerima bantuan fiktif. Jadi sebenarnya
penerima bantuan itu tidak ada tapi dana tetap dikeluarkan,” kata
Hanifah.
Untuk itu, Hanifah menyarankan dua hal yang harus dilakukan
pemerintah dalam menyalurkan dana bansos sembako di saat wabah virus
corona.
Pertama adalah menyiapkan basis data yang terverifikasi dan membentuk
sistem anti korupsi yang melibatkan masyarakat dalam melakukan
pengawasan.
“Dibentuk sistem sehingga masyarakat itu terlibat. Tahu dananya
mengalir kemana, dan bisa melaporkan jika ditemukan kecurangan,” kata
Hanifah.
Kedua, lanjutnya, pemerintah harus melibatkan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam melakukan pengawasan, sesuai dengan semangat KPK
saat ini yang fokus pada pencegahan.
“KPK melalui divisi pencegahan terlibat mengawal pelaksanaan dana
bansos ini, menutup celah-celah potensi kecurangan dalam sistem
antikorupsi yang terbuka,” katanya.
Jejak korupsi bansos
Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa waktu lalu menyebut bahwa masih
banyak dana bansos yang tidak tepat sasaran akibat dari belum ada data
pasti keluarga yang benar-benar miskin.
Ada beberapa kasus penyelewengan dana bansos yang melibatkan pejabat, antara lain:
1. Mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho dihukum 6 tahun
penjara dan denda Rp200 juta karena terbukti melakukan tindak pidana
korupsi dana hibah dan bansos.
2. Mantan Sekda Kabupaten Tasikmalaya, Abdul Kodir divonis 1 tahun 4 bulan pidana terkait korupsi dana bansos.
3. Mantan kepala dinas pendapatan Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, divonis tiga tahun pejara karena korupsi dana bansos.
4. Mantan Ketua DPRD Bengkalis, Riau, Heru Wahyudi, divonis 18 tahun karena korupsi dana bansos.
Sumber : BBC Indonesia
0 comments:
Post a Comment