Dengan adanya dua agenda politik
besar, yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak dan pendaftaran
untuk menjadi calon presiden dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun
2019, menjadikan tahun 2018 menjadi tahun politik bagi bangsa ini. Pada
tahun ini dipastikan akan terjadi proses konsolidasi politik secara
massif oleh elite politik negeri ini untuk menghadapi Pilkada serentak
di 171 daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten) dan dimulainya
tahapan Pilpres 2019.
Di tahun politik ini masyarakat
akan menyoroti berbagai manuver dan konstelasi politik para elite demi
meraih kekuasaan, baik di daerah maupun uji penjajakan figur yang pantas
diusung menjadi presiden. Salah satu manuver yang kini sedang gencar
dilakukan adalah pencitraan. Pencitraan dianggap sebagai puncak tahapan
pemilu yang sangat penting bagi elite politik, di samping elektabilitas.
Bahkan, tahun 2018 disebut juga sebagai tahun pencitraan.
Strategi
pencitraan dibuat sedemikian rupa agar citra elit politik/kandidat yang
terekam dan melekat di benak publik (dalam hal ini pemilih) adalah
sesuatu yang positif, sehingga mereka terdorong untuk mendukung dan
memberikan suara kepada kandidat tersebut dalam pemilu.Dalam pemasaran politik dipercayai bahwa keinginan untuk memilih
kandidat secara signifikan dipengaruhi oleh sikap terhadap kandidat dan
norma subjektif interpersonal. Pemilih tidak terlalu memperhatikan
atribut kandidat, seperti visi/misi/program kandidat. Pemilih lebih
menekankan pada perasaan simpati, senang, dan bangga terhadap seorang
kandidat ketika memilih. Jadi, proses pengambilan keputusan pemilih
tidak selamanya dipengaruhi oleh pengetahuan pemilih tentang
program-program maupun informasi-informasi yang membangun brand politik, tetapi proses itu bisa jadi dipengaruhi kuat oleh impression (keterkesanan) dan nonrational evaluation criteria (kriteria yang tidak rasional yang dipakai pemilih dalam mengevaluasi para kandidat).
Bahaya di Balik Politik Pencitraan
Di
balik bagusnya penampilan dan manisnya janji-janji politik yang
disampaikan seorang kandidat dalam kampanye dan iklan-iklan politiknya,
ada bahaya besar yang mengintai rakyat Indonesia, khususnya umat Islam.
Politik pencitraan ternyata tidak hanya sebatas untuk mendulang suara
sebanyak-banyaknya agar seorang kandidat bisa terpilih dalam pemilu
nanti, tapi ada bahaya terselubung yang harus segera disadari oleh umat
ini.
Dengan politik pencitraan maka hak-hak umat akan
kembali tidak ditunaikan oleh penguasa. Akibatnya, kesejahteraan yang
dijanjikan bagi rakyat tidak akan pernah tercapai. Mengapa? Karena
politik pencitraan hanya menawarkan janji-janji politik yang manis tapi
minus dari pelaksanaannya. Sudah banyak bukti yang menunjukkan
kebohongan penguasa sekarang yang tidak memenuhi janjinya ketika
kampanye. Umat terperosok kembali ke dalam lubang yang sama.
Selain itu, bahaya lain dari politik pencitraan adalah
keberadaannya yang semakin mengokohkan sistem demokrasi. Dengan politik
pencitraan umat akan memilih calon penguasa yang akan menerapkan sistem
demokrasi dimana penguasa akan menjalankan aturan-aturan yang dibuat
berdasarkan kesepakatan atau suara terbanyak atau pesanan asing di DPR.
Sistem
demokrasi yang berasaskan sekulerisme, yaitu pemisahan agama dari
kehidupan, menyebabkan aturan agama (Islam) tidak boleh digunakan untuk
mengatur urusan masyarakat dan negara. Akibatnya, umat tidak diatur
dengan aturan Islam, melainkan diatur dengan aturan buatan manusia yang
sudah terbukti telah banyak menimbulkan kerusakan di tengah masyarakat.Yang tidak kalah berbahayanya, politik
pencitraan akan menghilangkan keberadaan Islam Politik di tengah-tengah
umat. Islam cukup ditempatkan sebagai agama yang mengatur masalah
ibadah dan akhlak saja, tidak boleh ditempatkan dalam ranah politik dan
mengatur urusan masyarakat dan negara. Jargon "Islam Ritual Yes, Islam
Politik No" cukup menggambarkan bahwa tidak ada ruang bagi Islam Politik
di negeri ini.
Berbagai upaya dilakukan untuk
memburu Islam Politik dengan cara mengkriminalisasi ajaran Islam,
memberikan stigma radikalisme dan stigma negatif lainnya kepada mereka
yang memperjuangkan Islam Kaffah, mempersekusi para ulama yang ikhlas
memperjuangkan kebenaran Islam, membubarkan ormas yang memperjuangkan
penerapan syariah Islam melalui Perppu Ormas yang akhirnya disahkan
menjadi UU Ormas, dan cara-cara lainnya, termasuk dengan politik
pencitraan menjelang Pilkada 2018, Pileg dan Pilpres 2019.
Dengan politik pencitraan, umat yang masih memiliki ghirah yang
tinggi semenjak Aksi Bela Islam akan diarahkan untuk memilih calon
pemimpin yang tampak Islami. Jangan heran apabila kita melihat kandidat
calon pemimpin sekarang mendadak berpenampilan Islami atau seolah-olah
mendukung aturan Islam, seperti menolak keberadaan LGBT, padahal
sebelumnya mendukung keberadaan kaum Nabi Luth ini. Mereka melihat
potensi umat Islam ini sebagai ceruk pasar yang menguntungkan. Sehingga,
berbagai strategi pun mereka lakukan untuk bisa meraih suara umat.
Setelah terpilih, mereka akan kembali menerapkan sistem demokrasi yang
tidak memberi tempat bagi Islam Politik. Umat kembali ditipu.
Islam adalah agama yang unik dan khas. Aqidah Islam mampu membentuk
setiap pemeluknya menjadi pribadi-pribadi yang khas pula. Kepribadian
khas ini terbentuk dari pola pikir dan pola sikap yang Islami. Seseorang
dikatakan berkepribadian Islami jika ia memiliki pola pikir dan pola
sikap yang Islami. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa berpikir
dengan dasar pola pikir Islam, dan berperilaku dalam memenuhi kebutuhan
jasmani dan nalurinya sesuai dengan aturan Islam. Kepribadian Islam
inilah yang dibentuk oleh Rasulullah saw. terhadap para sahabat sehingga
lahir pemimpin-pemimpin yang amanah dan berakhlak mulia.
Tidak
kalah pentingnya, aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkannya harus berasal dari aturan Allah SWT semata. Tiadalah ia
menggunakan hawa nafsunya untuk mengeluarkan hukum yang digunakan untuk
mengatur rakyat yang berada di bawahnya. Ia hanya menjadikan Alquran dan
Hadits Rasulullah sebagai sumber hukumnya dalam mengurus urusan
rakyatnya.
Dengan demikian, umat tidak akan salah dalam memilih
pemimpin. Umat pun tidak akan kecewa dan merasa tertipu. Karena sosok
yang dipilihnya bukan hasil dari politik pencitraan. Tetapi murni dari
dorongan aqidah Islam yang melahirkan sosok pemimpin yang melayani dan
melindungi rakyat. Pemimpin yang akan memenuhi hak-hak umat sebagaimana
yang ditetapkan oleh Islam. Wallahu a'lam.
Oleh : Thirza Yasmin Mumtaaz
0 comments:
Post a Comment