Bagi umat muslim, Ramadhan dimaknai sebagai bulan keberuntungan,
bulan penuh ampunan, bulan limpah keberkahan, bahkan dimaknai sebagai
bulan obral pahala. Bagaimana tidak, tidurnya orang yang berpuasa saja
dianggap berpahala, apa lagi sebaliknya. Tidak heran, sambutan
kedatangan Ramadhan bagi sebagian orang sangat didambakan.
Mestinya Ramadhan bukan sekedar rutinitas tahunan, menahan lapar dan
dahaga hanya menjadi kebiasaan, terlebih Ramadhan tidak dapat mengubah
apa-apa selain sekedar memindahkan waktu makan dan minum saja. Padahal,
umat muslim mengenal Ramadhan adalah bulan Pendidikan.
Setidaknya, jangan sampai puasa kita sia-sia, sebagaimana yang nabi
sabdakan, “betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan
dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ibn Majah No. 1690).
Lantas bagaimana sikap kita agar terhindar dari yang Nabi gariskan? Atau setidaknya puasa yang kita lakukan tidak menjadi hampa.
Sejatinya, Ramadhan bukan sekedar ibadah yang berurusan dengan Tuhan saja (habl Minallah), namun ia menyimpan hubungan kemanusiaan (habl Min al-Nas). Artinya, menjalankan puasa di satu sisi membuktikan kepatuhan diri di depan Tuhan, sementara di sisi lain, terselip hubungan kemanusiaan yang harus dijalankan.
Sejatinya, Ramadhan bukan sekedar ibadah yang berurusan dengan Tuhan saja (habl Minallah), namun ia menyimpan hubungan kemanusiaan (habl Min al-Nas). Artinya, menjalankan puasa di satu sisi membuktikan kepatuhan diri di depan Tuhan, sementara di sisi lain, terselip hubungan kemanusiaan yang harus dijalankan.
Pembuktian hubungan antara Tuhan dengan manusia, dan manusia dengan
lainnya dalam Ramadhan, Allah menciptakan di bulan ini dua ibadah
sekaligus yang mesti dilakukan umat muslim, yaitu menjalankan puasa
sekaligus juga menunaikan zakat, ini hanya terjadi sekali dalam setahun.
Dengan demikian, Perkara puasa menegaskan hubungan dirinya dengan Tuhannya, sementara zakat yang menghubungkan diri dengan sesama.
Akan tetapi dalam pandangan tasauf, puasa sendiri memiliki dua dimensi, hal ini dikemukakan ahli tasauf Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani. Menurutnya, puasa memiliki dua kategori, yaitu Lahiriah dan Bathiniah. (Sir al-Asrar, 112).
Dengan demikian, Perkara puasa menegaskan hubungan dirinya dengan Tuhannya, sementara zakat yang menghubungkan diri dengan sesama.
Akan tetapi dalam pandangan tasauf, puasa sendiri memiliki dua dimensi, hal ini dikemukakan ahli tasauf Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani. Menurutnya, puasa memiliki dua kategori, yaitu Lahiriah dan Bathiniah. (Sir al-Asrar, 112).
Segi lahiriah, puasa merupakan upaya pencegahan diri dari makan,
minum dan berhubungan suami-istri. Sementara bathiniahnya, puasa tidak
sekedar menahan yang tampak, melainkan ia mampu menahan agar terhindar
dari perbuatan dosa seperti perbuatan kikir, sombong, makar, dan maksiat
yang membawa jurang antara dirinya dengan Tuhan.
Puasa batiniah, atau Syaikh sendiri menyebut puasa hakikat, tidak
hanya menghantarkan dirinya dekat kepada Allah, tetapi harus mampu
menebarkan kasih sayang sesama manusia sebagai manifestasi tidak berbuat
kikir, sombong dan semacamnya. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa
dalam berpuasa sendiri sebetulnya menyimpan hubungan kemanusiaan,
sehingga tujuan utama berpuasa bentuknya adalah kesalehan sosial.
Implementasi kesalehan sosial mewujud dalam penyadaran memiliki rasa
kemanusiaan. Umpamanya di saat mewabahnya COVID-19 ini, di saat banyak
orang kehilangan pekerjaan, sebagian pekerja harus dirumahkan,
penghasilan semakin berkurang, bahkan dalam pemberitaan sampai ada warga
yang menahan lapar lantaran tidak berpenghasilan, justru membangkitkan
dirinya untuk peduli berbagi.
Banyak hal sederhana yang dapat dilakukan, seperti memberikan takjil
dan nasi bungkus kepada orang yang membutuhkan, atau memberikan secercah
harapan dengan bantuan.
Wujud kesalehan sosial lain umpamanya diwujudkan menjaga keharmonisan antar sesama, atau bahkan antar umat beragama. Karenanya, dalam momentum Ramadhan umat muslim dihadapkan pada dua jalan jihad, yaitu menahan hawa nafsu dan menebar kebaikan.
Dengan demikian, jika seseorang hanya sekedar menahan lapar dan dahaga sementara sifat kikir dan sombong masih melekat, atau tidak menimbulkan kebaikan antar sesama, bisa jadi ia tergolong muslim yang melakukan puasa namun tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja yang menghinggapi tenggorokannya, sebagaimana hadits menggambarkan di atas.
Wujud kesalehan sosial lain umpamanya diwujudkan menjaga keharmonisan antar sesama, atau bahkan antar umat beragama. Karenanya, dalam momentum Ramadhan umat muslim dihadapkan pada dua jalan jihad, yaitu menahan hawa nafsu dan menebar kebaikan.
Dengan demikian, jika seseorang hanya sekedar menahan lapar dan dahaga sementara sifat kikir dan sombong masih melekat, atau tidak menimbulkan kebaikan antar sesama, bisa jadi ia tergolong muslim yang melakukan puasa namun tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja yang menghinggapi tenggorokannya, sebagaimana hadits menggambarkan di atas.
Oleh: Salim Rosyadi, Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
(***)







0 comments:
Post a Comment