JAKARTA – Realokasi anggaran ke sektor-sektor yang tidak produktif
seperti sektor properti dan konsumsi dinilai berpotensi memicu pelemahan
kurs rupiah secara eksponensial karena akan memengaruhi fundamental
perekonomian dalam jangka menengah panjang.
Sebab itu, upaya Bank Indonesia (BI) mendorong nilai tukar rupiah
mengarah ke level fundamental harus diimbangi dengan kebijakan fiskal
yang tepat, termasuk dalam merealokasi anggaran yang semula untuk
membiayai sektor-sektor produktif seperti infrastruktur dan dana desa,
kini dialihkan untuk konsumtif.
Ekonom dari Universitas Atma Jaya, Jakarta, Yohanes Berchman Suhartoko, kepada Koran Jakarta, Senin (1/6), mengatakan ada empat faktor fundamental yang menentukan pergerakan nilai tukar.
Pertama, pengelolaan inflasi. Jika lebih rendah dari negara lain
maka secara otomatis daya beli mata uang negara tersebut akan menguat.
Dengan rendahnya inflasi Indonesia, jelas Suhartoko, rupiah berpotensi
menguat secara fundamental terhadap dollar AS, apalagi saat negara
tersebut sedang dilanda persoalan domestik yang cukup berat yakni
distabilitas politik sehingga meningkatkan pengeluaran negara tersebut.
“Namun, harus diingat melemahnya inflasi karena permintaan yang
melemah. Jika akhirnya penawaran barang juga melemah lebih besar
daripada permintaannya bahkan akan menimbulkan stagflasi diikuti
depresiasi nilai tukar,” kata Suhartoko.
Faktor kedua, paparnya, yaitu neraca transaksi berjalan yang
membaik karena defisitnya menurun menunjukkan menurunnya aliran modal
keluar, sehingga dalam pasar valas akan mendorong apresiasi mata uang
domestik atau rupiah. Namun, turunnya defisit neraca transaksi berjalan
bukan sesuatu yang fundamental karena disebabkan melemahnya ekspor dan
impor akibat melemahnya perekonomian.
Demikian juga dengan aliran modal masuk atau capital inflow yang
ditunjukkan oleh terserapnya surat berharga oleh investor asing.
Kendati demikian, besarnya aliran dana masuk ke Indonesia karena
tingginya yield yang ditawarkan dibanding dengan surat utang negara lain.
Terakhir, sentimen pasar dapat menyebabkan pelemahan rupiah salah
satu pendorongnya adalah naiknya risiko politik dan keuangan suatu
negara.
“Jika informasi dan fakta mengenai pengelolaan keuangan negara
diterima dan dipercaya oleh kalangan investor global maka tentu dapat
menyebabkan tekanan terhadap rupiah,” katanya.
Dalam jangka pendek, tambahnya, rupiah masih berpotensi menguat.
Namun demikian, karena bukan didorong faktor fundamental, maka dalam
jangka menengah panjang bisa melemah jika fundamental tidak kunjung
membaik.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, saat menyampaikan kondisi perekonomian
terkini, akhir pekan lalu, mengatakan rupiah akan terapresiasi menuju
level fundamentalnya karena posisi kurs rupiah yang saat ini di level
14.700 per dollar AS dinilai masih undervalue atau nilainya lebih rendah dari yang seharusnya.
“Kami meyakini nilai tukar akan terus mengalami penguatan menuju tingkat fundamental,” kata Perry.







0 comments:
Post a Comment