![]() |
Oleh: Toar Palilingan
|
DALAM Pasal 18 ayat (4) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “Gubernur, Bupati dan
Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi,
Kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Pemilihan kepala daerah langsung merupakan media bagi rakyat untuk
menyatakan kedaulatannya. Hal ini sejalan dengan paham kedaulatan rakyat
yang menyiratkan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah
rakyat sehingga rakyat pula yang akan menentukan corak dan cara
pemerintahan diselenggarakan.
Mekanisme demokrasi di daerah diwujudkan melalui pelaksanaan
pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah merupakan sarana
manifestasi kedaulatan dan pengukuhan bahwa pemilih adalah masyarakat di
daerah. Tulisan ini hanya mengingatkan kembali akan tanggung jawab kita
semua dalam menghadapi pilkada serentak tahun 2020.
Pemilihan Kepala daerah memiliki 3 (tiga) fungsi penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pertama, memilih kepala daerah
sesuai kehendak masyarakat di daerah, sehingga diharapkan dapat memahami
dan mewujudkan kehendak masyarakat di daerah.
Kedua, melalui pemilihan kepala daerah diharapkan pilihan masyarakat
di daerah didasarkan pada visi, misi, program serta kualitas dan
integritas calon kepala daerah, yang sangat menentukan keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Ketiga, pemilihan kepala daerah
merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana evaluasi dan
kontrol publik secara politik terhadap seorang kepala daerah dan
kekuatan politik yang menopangnya (Janedjri M. Gaffar, 2012).
Kacung Marijan (2010) mengemukakan bahwa Pemilihan langsung kepala
daerah (pilkada langsung) merupakan kerangka kelembagaan baru dalam
rangka mewujudkan proses demokratisasi di daerah. Proses ini diharapkan
bisa mereduksi secara luas adanya pembajakan kekuasaan yang dilakukan
oleh partai politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD).
Selain itu, pilkada secara langsung juga diharapkan bisa menghasilkan
kepala daerah yang memiliki akuntabilitas lebih tinggi kepada rakyat.
Pilkada langsung merupakan terobosan politik yang signifikan dan
berimplikasi cukup luas terhadap daerah dan masyarakatnya untuk
mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal. Oleh karena itu, pilkada
langsung merupakan proses penguatan dan pendalaman demokrasi (deepening
democracy) serta upaya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
baik dan efektif.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah
bertujuan agar terselenggara perubahan kekuasaan pemerintah secara
teratur, damai sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah diwarnai dengan dinamika yang
sangat beragam dan dalam kondisi ini salah satu faktor yang sangat
berperan adalah media massa. Media massa dalam kehidupan politik di alam
modern memiliki posisi dan peranan yang sangat vital. Media menjadi
sarana informasi politik, bahkan menjadi faktor pendorong terjadinya
perubahan politik.
Hal tersebut dilihat dari banyaknya informasi yang diberitakan pada
berbagai media massa . Cara masyarakat untuk mengetahui peristiwa
politik yang menarik perhatian masyarakat adalah melalui media massa .
Media massa memiliki kekuatan untuk membentuk budaya dan wacana politik.
Sebagai salah satu pilar penting dalam demokrasi, strategi pemberitaan
media massa ikut menentukan proses kampanye sebagai kekuatan politik
untuk merebut hati rakyat.
Dalam jurnalisme dan kegiatan jurnalistik, dikenal adanya prinsip
independensi dan netralitas dan prinsip ini harus ditegakkan. Independen
artinya merdeka dalam menjalankan ideologi jurnalisme. Netral diartikan
berimbang, akurat, tidak memihak kecuali pada kepentingan publik.
Kenetralan peran media massa antara lain dengan menghindari adanya media
massa yang ditunggangi kepentingan politik atau kepentingan ekonomi
semata. Media massa harus tetap proporsional dalam menyajikan berita dan
sadar fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, kontrol dan
perekat sosial dalam membangun budaya demokrasi yang berkualitas.
Peran jurnalisme dalam media merupakan dampak dari kebutuhan manusia
akan informasi sehingga media massa dalam memberikan informasi haruslah
berjalan dalam koridor yang semestinya baik dalam eksistensi
kelembagaannya maupun pelaksanaaan fungsinya dalam masyarakat karena
media massa sangat menyentuh pada segala aspek kehidupan di masyarakat
termasuk pada proses demokrasi pemilihan kepala daerah.
Peran media massa menginformasikan berita dalam realitas saat ini
bagaikan dua buah mata pisau. Disatu sisi media merupakan media sosial
dimana berperan sebagai alat edukatif, interaksi sosial dan komunikasi.
Namun disisi lain juga merupakan lembaga ekonomi dengan kepentingan
korporasi didalamnya yang tak terlepas dari faktor untung rugi atas
usaha yang dilakukan.
Hal yang kemudian tampak adalah media massa menggunakan norma "kalah
menang" dalam kontestasi politik, sebagai bagian dari disiplin
peliputan media atas proses pelaksanaan Pemilihan. Tidak jarang media
terjebak untuk mengadu dua atau lebih kandidat tanpa peduli
pemberitaan yang disuguhkan telah sesuai dengan norma dan etika
jurnalistik. Ketika pemberitaan mereka kemudian mendapat protes ataupun
harus berhadapan dengan hukum, mereka kemudian menggunakan undang-undang
Pers sebagai payung untuk melindungi mereka padahal sebagian dari media
tersebut baik dalam kelembagaan maupun dalam materi pemberitaannya
sangat jauh dari etika dan prinsip-prinsip jurnalistik.
Dalam praktek jurnalisme politik khususnya pelaksanaan pemilihan
kepala daerah jarang ditemukan berita dan opini yang mendalam atau
bersifat analitis, yang melibatkan semua sudut pandang dalam
masyarakat. Realitas pemberitaan media lebih tampak sebagai sebuah
sajian spekulasi-spekulasi, korelasi-korelasi instrumental, bukan
korelasi substansial. Karena akses penguasaan informasi dan pengendalian
jurnalis yang hanya lebih terpusat pada lingkaran elit di masyarakat,
media utama (mainstereem) “ kadang” memainkan peran sebagai alat
propaganda kelompok-kelompok kepentingan dominan dalam masyarakat
seperti partai politik atau politisi yang berkuasa.
Jelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah tahun 2020, peran media
massa menjadi sangat urgen namun demikian, keberadaan media massa
haruslah tetap berada dalam jalur etika dan prinsip jurnalistik. Oleh
karena itu media dan jurnalis harus mampu menjadi kekuatan kontrol atas
proses politik yang berlangsung dan menghindari terjebak menjadi
corong kepentingan kekuatan elit politik dan mengabaikan fungsi media
pendidikan pemilih.
Kebebasan pers diperlukan untuk demokrasi, keadilan dan kebenaran,
memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena
itulah dalam Pasal 4 UU No 40/1999 tentang Pers dinyatakan bahwa
kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; terhadap pers
nasional tidak dikenakan penyensoran; pembredelan atau pelarangan
penyiaran; untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak
mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi; dan hak
tolak sebagai bentuk pertanggungjawaban pemberitaan.
Sistem demokrasi jelas menjamin kemerdekaan pers. Namun, demokrasi
memerlukan sebuah prasyarat yaitu ketertiban. Tanpa sebuah ketertiban,
niscaya demokrasi bakal tak ada. Karena itu, kemerdekaan pers juga
membutuhkan model pengaturan. Dalam hal ini, sesuai UU No 40/1999
tentang Pers, adalah pengaturan berupa self regulation oleh kalangan
komunitas pers.
Pesatnya pertumbuhan media pasca reformasi ini menimbulkan tantangan
baru sekaligus berbagai persoalan bagi dunia pers Indonesia. Faktanya
tidak semua media patuh dan memenuhi standard perusahaan pers
sebagaimana ditetapkan oleh Dewan Pers. Demikian pula dalam praktik
menjalankan pekerjaan jurnalistiknya, tingkat pelanggaran media dalam
menerapkan Kode Etik Jurnalistik relatif tinggi.
Bahkan ada media-media yang khusus berdiri untuk menghasilkan
informasi propaganda, hoax atau berita palsu. Hal ini antara lain
tercatat dalam kasus-kasus pengaduan yang disampaikan ke Dewan pers yang
rata-rata mencapai angka 500 kasus per tahun. Bahkan sebagian besar
pengaduan menunjukkan adanya praktik media yang dikenal sebagai
“abal-abal” ini melakukan pemerasan terhadap pejabat Pemerintah Daerah.
(data dari Jurnal Dewan Pers edisi 14- Juni 2017).
Dalam situasi menjamurnya “media abal-abal”, serbuan informasi
propaganda, hoax dan produsen berita tendensius akan semakin marak
sebelum pelaksanaan pemilihan kepala daerah 2020 , sehingga media massa
perlu menghindari kegiatan jurnalisme yang beresiko berhadapan dengan
hukum baik undang-undang nomor 11 tahun 2008 dengan perubahannya
undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang ITE maupun KUHP.
Verifikasi Perusahaan Pers menjadi instrumen untuk memperkuat dan
mereposisi media-media arus utama agar menghasilkan berita-berita yang
berkualitas, terverifikasi dan bertanggungjawab serta memberikan dampak
yang baik bagi masyarakat meski di sisi lain tetap diperlukan kebijakan
Pemerintah terkait penanganan persoalan media abal-abal dan maraknya
berita hoax termasuk dalam penerapan sanksinya.(*)
0 comments:
Post a Comment