JAKARTA-Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Pancasila, Muhammad
Rullyandi berpendapat pelaksanaan Pilkada serentak di tengah pandemi
Covid-19 bisa dilakukan. Tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan
ketat.
Ini menanggapi pernyataan mantan Dirjen Otda Kemendagri,
Djohermansyah Djohan yang menyebut pelaksanaan Pilkada serentak tahun
2020 di masa pandemi, telah menabrak tiga asas pemilu.
"Korea Selatan, adalah negara yang berhasil menggelar pemilihan di
tengah pandemi. Jika mencontoh Korea, Indonesia pun bisa," katanya dalam
keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (30/6).
Menurutnya, pandangan Djohermansyah yang juga Guru Besar IPDN dinilai absurd dan lebih berdasarkan subyektivitas pribadi.
Bencana wabah pandemi non alam seperti Covid-19 dapat diantisipasi
dengan protokol kesehatan yang ketat. Tentunya, protokol kesehatan itu
harus tersosialisasi dengan baik serta terimplementasi dengan baik pula.
"Saya pikir pendapat itu, sah-sah saja, tetapi bersifat subyektif.
Perlu dipahami, keputusan persetujuan bersama Pemerintah, DPR, dan KPU
untuk menyelenggarakan pilkada 9 desember 2020 secara menyeluruh adalah
langkah yang konstitusional dan proporsional dengan mempertimbangkan
keamanan protokol kesehatan Covid-19," ujarnya.
Rullyandi mengungkapkan, Djohermansyah memang pernah menjadi Dirjen
Otda, tetapi dalam masa keadaan normal. Sehingga tidak memiliki
pengalaman yang cukup menghadapi kondisi saat ini untuk menyelenggarakan
pilkada serentak di 270 daerah.
Pelaksanaan pilkada serentak dengan protokol kesehatan itu sendiri,
kata dia, untuk menyelematkan keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
"Situasi yang tidak normal saat ini dan ditengah ketidakpastian kapan
berakhirnya pandemi Covid-19 membuat pemerintah, DPR dan KPU memutuskan
menyelamatkan keberlangsungan demokrasi dengan komitmen yang tinggi,"
terangnya.
Terkait kritikan Djohermansyah itu, dia berpendapat, perlu diuji
rasio konstitusionalitasnya. Keseluruhan pandangan mantan Dirjen Otda
itu harus dihubungkan dengan gagasan negara hukum yang demokratis.
Jika pilkada itu gagal, justru berpotensi melahirkan suatu problem
konstitusional yang berdampak luas dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Problem konstitusional tersebut, kata dia, disebabkan karena tidak
sejalannya dengan kaedah prinsip negara hukum yang memenuhi aspek
jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil dengan pemenuhan hak
konstitusional memilih dan dipilih sebagai amanah konstitusi untuk
menghindari potensi ketidakpastian kekosongan jabatan yang
berkepanjangan.
Dia menjelaskan, keputusan melanjutkan tahapan pilkada serentak sudah
sesuai dengan pedoman garis besar rambu-rambu konstitusional yang telah
memberikan amanah bagi penyelenggaraan negara termasuk di dalamnya
proses pengisian jabatan kepala daerah dalam rezim demokrasi lokal.
Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi telah mempertimbangkan berbagai
alasan subjektif dan alasan objektif.
"Pilkada di saat pandemi ini sebagai ukuran keseriusan pemerintah dan
kesiapan penyelenggara pemilu, baik itu KPU dan Bawaslu menegakkan
prinsip-prinsip nilai demokrasi meskipun situasi saat ini negara kita
belum pernah terjadi keadaan pandemi sejak tahun 1945 Indonesia
merdeka," katanya.
Oleh karena itu, tambah Rullyandi, jika pandemi itu kemudian
menghambat keberlangsungan demokrasi di Indonesia, ini justru akan jadi
problem.
Seperti diketahui, Djohermansyah Djohan, mantan Dirjen Otda
Kemendagri mengkritik keputusan menggelar pilkada serentak di tengah
pandemi. Katanya, pilkada pada 9 Desember 2020 menabrak tiga asas
pelaksanaan Pilkada.
Pertama, pilkada tidak boleh dilaksanakan jika sedang ada bencana.
Kedua, pilkada sejatinya menjadi pesta demokrasi yang aman dan tenang.
Ketiga, ada mekanisme pengangkatan pejabat sementara untuk menggantikan
kepala daerah yang masa jabatannya telah habis.
0 comments:
Post a Comment