JAKARTA – Salah satu strategi untuk membangkitkan ekonomi Indonesia
setelah pandemi Covid-19 adalah dengan mengoptimalisasi industri
manufaktur dan pariwisata. Optimalisasi dua industri tersebut karena
terbukti berperan meningkatkan surplus neraca transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD).
Calon Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Doni Primanto Joewono, saat mengikuti uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test)
mengatakan industri manufaktur akan diarahkan kepada usaha yang
berorientasi ekspor dengan lebih banyak menggunakan kandungan lokal dan
berbasis sumber daya alam.
“Fokus industri manufaktur itu di antaranya bergerak di sektor
pertambangan, pertanian, perkebunan, dan perikanan,” kata Doni, yang
saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Kepala Departemen Sumber
Daya Manusia (SDM) BI.
Sedangkan untuk sektor pariwisata, Doni menyatakan akan mendorong
penguatan destinasi wisata utama seperti Bali dan Bintan. Sebab,
pariwisata merupakan sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Memasuki fase kenormalan baru (new normal) pemulihan ekonomi
untuk sektor pariwisata, dia mengusulkan perlu mendorong paket wisata
“Covid Friendly” dengan mempromosikan atraksi wisata minim interaksi
yakni wisata alam. “Objek wisata potensial di Bali dan Bintan untuk
menarik turis asing asal Singapura, Malaysia, dan Australia,” katanya.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian Pariwisata,
pendapatan devisa dari sektor pariwisata lima tahun terakhir terus
menunjukkan kenaikan. Pada 2015 pendapatan devisa tercatat sebesar 12,2
miliar dollar AS. Lalu meningkat menjadi 13,6 miliar dollar AS pada
2016 dan naik tipis menjadi 15 miliar dollar AS pada 2017. Pada 2018,
devisa dari sektor jasa tersebut mencapai 16,1 miliar dollar AS dan
terakhir pada 2019 melonjak tajam 24,2 persen menjadi 20 miliar dollar
AS.
Dengan mendorong industri manufaktur dan pariwisata maka daya saing
ekonomi nasional akan meningkat. “Daya saing ekonomi nasional yang
meningkat merupakan salah satu bagian dalam mewujudkan pertumbuhan dan
pemerataan untuk membangkitkan ekonomi setelah pandemi Covid-19.
Selain daya saing, dia juga memandang perlunya memperkuat basis
pembiayaan pembangunan dan memperkuat kemandirian ekonomi nasional.
Bank Sentral, katanya, akan berperan aktif dengan melakukan sinergi
kebijakan melalui pemusatan perhatian ke sektor prioritas itu.
Bahan Baku
Menanggapi pernyataan Doni, Ekonom Universitas Diponegoro (Undip),
Esther Sri Astuti, mengatakan hal itu tampaknya akan sulit mengingat
problem besar di industri manufaktur adalah terkait bahan baku yang
masih bergantung pada impor.
“Dari dulu sampai sekarang yang belum terpecahkan adalah bahan baku
industri manufaktur Indonesia sebagian besar masih impor, sehingga
kalaupun komoditi sektor manufaktur itu diekspor added value-nya atau nilai tambahnya kecil,” kata Esther kepada Koran Jakarta.
Sebab itu, kalau pemerintah ingin meningkatkan surplus di sektor
manufaktur maka strategi pengembangan industri manufaktur di Indonesia
harus mempertimbangkan global value chain-nya.Selama ini, menurutnya, industri yang bahan mentahnya ada di Indonesia, tetapi intermediate materialnya ada di negara lain, padahal kedua bahan baku itu untuk mengembangkan industri manufaktur.
“Untuk meningkatkan added value, harus masuknya investor yang membangun industri di intermediate material tadi harus didorong,” jelasnya.
Dia mengimbau agar pemerintah harus mengupayakan semua bahan baku berasal dari domestik.
“Jika ada salah satu material yang berasal dari impor luar negeri, maka pemerintah harus berusaha menarik investor masuk agar mau membangun industri yang memproduksi komoditi itu,” paparnya.
Sedangkan untuk pariwisata, dia mengatakan untuk saat ini sektor tersebut sangat terpukul akibat Covid-19, sehingga perlu dilakukan pembenahan ke depan agar wisatawan kembali datang, terutama memberi kepastian kepada wisatawan akan adanya fasilitas kesehatan di destinasi wisata yang mampu menangani Covid-19. n uyo/E-9







0 comments:
Post a Comment