JAKARTA – Pemerintah mengakui salah satu penyebab masih sedikitnya
pelaku usaha terdampak Covid-19 yang mengajukan insentif Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 21, karena proses administrasi pengajuannya
masih rumit.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu,
di Jakarta, Jumat (24/7), mengatakan selain prosedur yang rumit,
sosialisasi juga belum optimal sehingga banyak yang belum mendapat
informasi.
“Pemerintah harus kerja lebih cepat lagi mengubah skema yang tadinya terlalu rumit menjadi sederhana,” kata Febrio.
Dengan penyederhanaan prosedur pengajuan, insentif pajak itu
diharapkan lebih banyak yang mengajukan sehingga menjadi stimulus bagi
dunia usaha, sekaligus sebagai bantalan bagi pekerja atau kelompok
pendapatan menengah.
Kementerian Keuangan, jelasnya, telah memperluas cakupan penerima
insentif PPh Pasal 21 ini dari 440 kelompok usaha menjadi 1.189 kelompok
usaha sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 86 tahun 2020.
Sementara itu, jumlah anggaran yang dialokasikan untuk insentif
usaha sebesar 120,61 triliun rupiah ditambah alokasi untuk insenitf PPh
21 sebesar 39,66 triliun rupiah. Insentif lainnya yakni pengembalian
pendahuluan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 5,8 triliun rupiah
yang partisipasinya cukup tinggi.
Kemudian, ada pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 14,4 triliun
rupiah, namun realisasinya masih rendah. “Itu (pengurangan angsuran PPh
Pasal 25-red) masih kecil, tapi ini akan dibuat lebih cepat dan lebih besar diskonnya,” jelas Febrio.
Saat ini, besaran diskon (potongan) mencapai 30 persen dan
rencananya akan dinaikkan agar lebih menarik bagi dunia usaha.
Pemberian insentif lainnya yakni penurunan tarif PPh Badan sebesar 20
triliun rupiah, pembebasan PPh Pasal 22 impor sebesar 14,75 triliun
rupiah dan stimulus lainnya 26 triliun rupiah.
Bisa Turun
Sementara itu, Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak
Direktorat Jenderal Pajak, Ihsan Priyawibawa, mengatakan pihaknya
menghadapi berbagai tantangan untuk mendongkrak pendapatan dalam negara
dari sektor perpajakan pada 2020–2021 karena dampak pandemi Covid-19.
“Baseline perpajakan tahun 2020 masih kemungkinan bisa turun lagi,” kata Ihsan.
Turunnya baseline itu karena salah satu kontribusi terbesar
yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Badan tarifnya diturunkan dari 25 persen
menjadi 22 persen sebagai insentif.
Tarif PPh Badan di Indonesia yang sebelumnya 25 persen memang masih
tinggi dibanding dengan rata-rata tarif PPh Badan di kawasan. Di Asia,
tarif PPh Badan 21,2 persen dan khusus Asia Tenggara tarifnya 22,35
persen. Di negara-negara anggota Organisation for Economic
Co-operation and Development (OECD), tarif PPh badan mencapai 23,5
persen.
Sebagai pembanding, tarif di dua negara tetangga yakni Thailand dan
Vietnam untuk PPh Badan sebesar 20 persen, lebih murah dibanding
Indonesia setelah ada pengurangan dalam bentuk insentif menjadi 22
persen.
Harga Komoditas
Lebih lanjut, Ihsan mengatakan baseline perpajakan juga
sangat dipengaruhi harga komoditas yang rendah sebagai salah satu
pendukung besar penerimaan. Demikian juga perubahan struktur ekonomi
dan perkembangan transaksi elektronik juga menjadi tantangan dalam
meningkatkan penerimaan negara.
Secara umum, dunia usaha jelasnya belum pulih sepenuhnya dari dari
dampak Covid-19 sehingga banyak pelaku usaha mengalami kerugian.
Dengan penerapan kebijakan kerja dari rumah (WFH) dan jaga jarak,
membuat beberapa aktivitas yang direncanakan awal tahun seperti
ekstensifikasi dan intensifikasi pajak belum bisa diimplementasikan.
Untuk realisasi penerimaan perpajakan pada semester I-2020 mencapai
624 triliun rupiah atau turun 9,42 persen jika dibandingkan periode
sama tahun lalu akibat dampak Covid-19. Realisasi tersebut baru mencapai
44 persen dari target sesuai Perpres 72 tahun 2020 sebesar 1.404,5
triliun rupiah.
0 comments:
Post a Comment