Oleh: S. Satya Dharma
SETELAH 75 Tahun merdeka, wajah
ibu pertiwi ternyata masih saja murung saudara. Dandanannya Belang
belonteng. Beselemak peak. Terlalu banyak bedak dab gincu kamu flase.
Bibirnya dower kebanyakan dicumbu para koruptor. Pipinya molorot
keseringan dikecup para penjilat. Sedangkan jalannya terlantih-lantih
sebab pahanya terlalu sering tertindih bajingan.
Maka, kalau saja kita masih sudi bercermin, akan tampaklah wajag Ibu
Pertiwi itu sebagai neraga besar bernama Indonesia Raya yang dirundung
duka nestapa berkepanjangan. Dengan krisis silih berganti melandanya.
Deraan krisis yang sedikit saja para pemimpin negeri salah mengambil
tindakan, akan menyeret Ibu Pertiwi ke jurang Kehancuran.
Persoalan - persoalan baru silih berganti datang bak tamu tak di undang.
Belum selesai satu krisis diurai, sudah kriris baru. Ekonomi negeri ini
pun lintang pukang. Bahkan kini dollar, yang menjadi acuan rupiah,
nilainya melambung itnggi dan tak terkejar.
Saat ini Ibu Pertiwi terpuruk di bawah kaki langit kekayaan sumber daya
alam yang dimilikinya. Bak tikus yang sekarat di lumbung padi.
Keterpurukan yang semakin menguat ketidak pastian msa depan. Sedangkan
keinginan untuk bangkit,move on, masih sebatas harapan yang tak pernah
kunjung mampu diwujudkan.
Maka,bila kita bercermin, Ibu Pertiwi bernama INDONESIA itu bukan lagi
sebagai mozaik indah rangkaian zamrud khatulistiwa yang dulu pernah kita
bangga-banggakan di mata dunia. Bukan lagi untaian ratna mutu manikam
yang menyilaukan mata bangsa asing.
Mengapa bisa demikian..? Mengapa di negeri ini yang katanya tanah dan
airnya ditaburi rahmat Tuhan ini, jutaan penduduknya hidupnya kelereran ?
Digusur -gusur ? Ditendang-tendang ? Pastilah ada yang salah dalam
perilaku kita selama ini.
Salah satu wujud kesalahan itu adalah kita lalai terhadap kewajiban
untuk Bersyukur atas rahmat dan kenikmatan yang diberikan Tuhan Kepada
kita. Hanya sedikit orang di antara kita yang pandai Bersyukur dan lebih
banyak orang yang mengkufuri nimatnya.
Padahal di dalam Al-Qur'an Allah Swt. telah berfirman :
'' Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (
kepada Allah ), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri.''
( QS. Luqman [31] : 12 )
Simaklah, Apakah bukan kufur nikmat namanya jika kekayaan negeri
ini dikelola hanya oleh segelintir orang dengan penuh nafsu serakah,
curangm dan zhalim ? Padahal, salah satu wujud rasa syukur itu adalah
keharusan untuk mengelola kekayaan negeri ini dnegan adil, jujur dan
amanah. Bukan dengan menindas, dzalim dan curang demi memperkaya diri
dan kelompok sendiri.
Lihat pula bagaimana anak-anak Ibu Pertiwi di berbagai belahan negeri
ini, sampai hari ini, terus menerus menyaksikan dengan jati perih para
pemimpin bangsa yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat yang
dipimpinnya.
Padahal, seharusnya semua kekayaan negeri ini diperuntukkan sebesar -besarnya bagi kemakmuran rakyat. Akan tetapi rakyat justru tidak tahu kemana larinya aset-aset negeri yang melimpah ruah itu.
Kondisi ini membuat amanah untuk mengelola negera seolah-olah berubah
menjadi kesempatan untuk menjarah negara. Amanah kekuasaan yang
diberikan itu, ternyata hanya melahirkan segelintir orang yang hidup
bermewah-mewahan, sedangkan sebahagian besar lainya hidup dalam
kemelaratan dan serba kekurangan.
Seharusnya rasa syukur kepada Tuhan itu diwujudkan dengan hidup bersatu
dan saling mengasihi sesama anak bangsa sebagaimana ajaran semua agama.
Tetapi kenyataan tidak demikian. Tak jarang kesenjangan ekonomi itu
bahkan memicu konflik sosial yang beujung pembunuhan dan pembantaian
sesama anak-anak Ibu Pertiwi.
Seharusnya kita hidup damai dan tentram sebagaimana ajaran setiap agama.
Seharusnya kita memperkokoh NKRI sebagai wujud syukur kita terhadap
rahmat dan nikmat Tuhan yang maha esa. Namun kenyataannya, sebahagian
anak-anak Ibu Pertiwi lebih suka merobohkan integrasi bangsa dengan
macam-macam alasan dan niatnya.
Seharusnya kita hidup mencintai bangasa dan negara ini sebagai wujud
keimanan dan kecintaan kita kepada Tuhan. Akan tetapi tidak sedikit
anak-anak Ibu Pertiwi yang rela menghancurkan negerinya sendiri demi
segepok materi yang didaptkannya dari negara asing yang memperalatnya.
Seharusnya kebebasan yang dikembangkan adalah kebebasan yang mengajak
dan memacu perlombaan berbuat baik. Kebebasan berekspresi mewujud
sebagai cerminan bangsa yang beradab. Kebebasan pers diperuntukkan bagi
memperbaiki moral dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Akan tetapi kebebesan itu sering disalah artikan hanya untuk kebebasan
itu sendiri. Hanya sebagai hak untuk berlaku bebas tanpa megindahkan
norma-norma yang ada. Kebebasan yang menjadi ephoria yang kebablasan.
Maka, terkait dengan kondisi seperti ini, seteklah 75 tahun Ibu Pertiwi
dinyataan merdeka, ada Firman Allah Swt. yang patut kita renungkan,
saudara.
'' Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri; maka kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu ( supaya
menaati Allah ) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri
tersebut, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (
ketentuan kami ), kemudian kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya.'' ( QS Al Isra' [17] : 16 )
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete