Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris
politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani (politika –
yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya polites (warga
negara) dan polis (negara kota). Secara etimologi kata “politik” masih
berhubungan dengan policy (kebijakan). Sehingga Politik adalah proses
pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain
berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[1]
Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi
yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Di dalam bahasa Arab, Politik dikenal dengan istilah siyasah. Oleh
sebab itu, di dalam buku-buku para ulamasalafush shalih dikenal istilah
siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa
– yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama
‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan
mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu
(mengurusi/mengatur perkara). Jadi, asalnya makna siyasah (politik)
tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata
tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku
pengurusan urusan-urusan manusiatersebut dinamai politikus(siyasiyun).
Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amrimengurusi (yasûsu)
rakyatnya, mengaturnya, dan menjaganya. Dengan demikian, politik
merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan
(taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).[2]
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam
sabdanya : “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para
nabi(tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain
datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak
para khalifah”.[3] Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna
awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik
berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan
kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh
kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan
penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari
keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta
memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan)
seperti ditegaskan dalam banyak haditsterkenal. Ini adalah perintah
Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi
Muhammad SAW bersabda : “Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya
bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun
pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari
golongan mereka.” (HR. Al Hakim)
Politik Adalah Fitrah
Masyarakat kita masih banyak yang berpendapat bahwa politik itu kotor
dan harus dijauhi. Sehingga anggapan seperti itu membuat masyarakat
kita sangat apatis, apriori (benci), dan alergi dengan politik dan
segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Hal itu mungkin terjadi
karena hasil pantauan masyarakat dilapangan dan lewat media terhadap
politik selama ini selalu menunjukkan gejala yang buruk. Orang-orang
yang terlibat di dalamnya dapat bergeser orientasi politiknya menjadi
politik imperialis, berkhianat, koruptor dan semena-mena. Apalagi,
setelah panggung politik dunia dirasuki politik Machiavelli yang
menghalalkan segala cara, semakin menjadi-jadilah kebencian masyarakat
terhadap politik.
Lantas pertanyaannya, apakah politik itu selalu buruk? Itulah yang
harus dimengerti oleh masyarakat secara benar, Karena Persepsi yang
keliru terhadap politik tentu akan melahirkan sikap-sikap yang keliru
pula. Padahal, politik itu keharusan yang tak bisa dihindari. Karena
secara praktis, politik merupakan aktivitas yang mulia dan bermanfaat
karena berhubungan dengan peng-organisasian urusan masyarakat/publik
dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Tak ada orang yang bisa menghindari politik karena setiap orang pasti
hidup di suatu negara, sedangkan negara adalah organisasi politik
tertinggi. politik merupakan bagian dari kehidupan manusia dan tidak ada
seorang pun yang bisa lepas dari politik. Begitu kita lahir, kita sudah
bergabung dengan organisasi tertinggi yakni negara. Tidak ada
seorangpun yang hidup tanpa terikat oleh politik. Orang yang ingin
mempengaruhi kebijakan negara haruslah merebut kekuasaan politik. Orang
yang menyatakan tidak mau terlibat dalam politik dan membiarkan
kekuasaan politik diambil orang, maka dia terikat pada
kebijakan-kebijakan pemenang kontes politik, betapa pun tak sukanya dia
pada kebijakan itu. Karena itu, dapat dikatakan bahwa politik itu adalah
fitrah atau sesuatu yang tak bisa dihindari.
Pandangan Islam Mengenai Politik
Islam adalah agama universal, meliputi semua unsur kehidupan, dan
politik, Negara dan tanah airi adalah bagian dari islam. tidak ada yang
namanya pemisahan antara agama dan politik. karena politik bagian dari
risalah Islam yang sempuran.[4] Seperti ungkapan bahwa tidak ada
kebaikan pada agama yang tidak ada politiknya dan tidak ada kebaikan
dalam politik yang tidak ada agamanya.
Di dalam Islam pun, politik mendapat kedudukan dan tempat yang
hukumnya bisa menjadi wajib. Para ulama kita terdahulu telah memaparkan
nilai dan keutamaan politik. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan
bahwa Dunia merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna
kecuali dengan dunia. memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan
efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah
saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa
al-sulthan tawamaan).
lengkapnya Imam Al- Ghazali mengatakan: “Memperjuangkan kebaikan
ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara
kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang penguasa kekuasaan politik
adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip)
agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan
sia-sia”.[5] Dari pandangan Al-Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa
berpolitik itu wajib karena berpolitik merupakan prasyarat dari beragama
dengan baik dan nyaman. Begitulah islam memandang pollitik
Karena paraktiknya politik itu banyak diwarnai oleh perilaku jahat,
kotor, bohong, dan korup, timbullah kesan umum bahwa politik (pada
situasi tertentu) adalah kotor dan harus dihindari. Mujaddid Islam,
Muhammad Abduh, pun pernah marah kepada politik dan politisi karena
berdasarkan pengalaman dan pengamatannya waktu itu beliau melihat di
dalam politik itu banyak yang melanggar akhlak, banyak korupsi,
kebohongan, dan kecurangan-kecurangan.
Muhammad Abduh pernah mengungkapkan doa taawwudz dalam kegiatan
politik ,”Aku berlindung kepada Allah dari masalah politik, dari orang
yang menekuni politik dan terlibat urusan politik serta dari orang yang
mengatur politik dan dari orang yang diatur politik”. Tetapi dengan
mengacu pada filosofi Imam Al-Ghazali menjadi jelas bahwa berpolitik itu
bagian dari kewajiban syari’at karena tugas-tugas syari’at hanya bisa
direalisasikan di dalam dan melalui kekuasaan politik atau penguasa
(organisasi negara).
Dalam kaitan inilah ada kaidah ushul fiqh yang menyebutkan “Ma la
yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (Jika ada satu kewajiban yang
tidak bisa dilaksanakan kalau tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu
yang lain wajib juga diadakan/ dipenuhi). Dengan kata lain, “jika
kewajiban mensyiarkan nilai kebaikan Islam tak bisa efektif kalau tidak
berpolitik, maka berpolitik itu menjadi wajib pula hukumnya.” Inilah
yang menjadi dasar, mengapa sejak awal turunnya Islam, muslimin itu
sudah berpolitik, ikut dalam kegiatan bernegara, bahkan mendirikan
Negara, dan Rasulullah, SAW, Khulafaur Rasyidin serta para pemimpin
islam terdahulu telah membuktikanya.
Memilih Pemimpin Yang Terbaik
Dalam konteks keindonesiaan sekarang ini kaum muslimin tidak boleh
apatis terhadap pemilihan pemimpin yaitu presiden dan calon presiden.
Kita tidak boleh bersikap golput atau “tidak akan memilih ” pasangan cabup/cawabub yang mana pun hanya dengan alasan tidak ada pasangan
yang ideal. Kita tetap harus memilih karena siapa pun yang terpilih akan
menentukan arah kebijakan negara yang juga mengikat kita.
Tak ada yang boleh mengatakan
bahwa secara mutlak pasangan yang satu lebih baik dari pasangan yang
lain. Semua tergantung penilaian kita masing-masing. Kata sekelompok
orang pasangan ini lebih baik karena ini dan itu, sedangkan pasangan
lain lebih jelek karena ini dan itu. Bahkan pemberitaan media digempur
dengan blac campaign dan berita-berita yang penuh kebohongan dan sarat
Pencitraan.
Jadi kedua pasangan ada kelebihan dan kekurangannya serta ada
pendukung dan penolaknya masing-masing. Menghadapi alternatif seperti
itu kita harus tetap memilih dengan kesadaran penuh bahwa takkan pernah
ada alternatif yang ideal untuk dipilih. Bahkan, mungkin saja, semua
alternatif yang tersedia semuanya sangat tidak ideal. Jika demikian
halnya, maka ada kaidah akhaff al-dhararain, yaitu memilih yang paling
sedikit jeleknya di antara alternatif-alternatif yang sama-sama jelek.
Dalam hal prinsip dan sistem pemerintahan, misalnya, tidak ada yang
betul-betul baik dari antara sistem-sistem yang tersedia. Baik teokrasi,
demokrasi, monarki, aristokrasi, oligarki, maupun tirani semuanya
samasama tidak ideal dan mengandung segi-segi kelemahan. Tetapi,
sebagian terbesar negara-negara di dunia memilih prinsip dan sistem
demokrasi, bukan karena sistem itu bagus melainkan karena ia mengandung
kelemahan yang paling sedikit jika dibanding dengan sistem yang lain.
Maka itu, pilihlah yang terbaik dari yang ada, meskipun tidak ideal.
karena itu kita harus berkontribusi untuk negeri ini dengan memilih
pemimpin dengan bijaksana. Memilih pemimpin yang bisa mengatur urusan
negara dengan baik, memakmurkan dan mensejahterakan rakyat, pemimpin
yang jujur, tegas dalam bersikap dan mempunyai kewibaan serta pemimpin
yang bisa menampung aspirasi umat islam dan didukung oleh mayoritas umat
islam. Negara Indonesia adalah salah satu negara terbesar berpenduduk
muslim di dunia, 85 % penduduk di negeri kita adalah beragama islam dan
sebagai muslim. Oleh sebab itu layaknya kita mengharapkan pemimpin yang
memperjuangkan aspirasi umat islam dan melenyapkan segala kerusakan dan
kezaliman yang bisa merugikan rakyat, negeri dan agama. Utsman bin
Affan Ra pernah berkata, Kezaliman yang tidak dapat dilenyapkan Alquran
akan Allah Swt lenyapkan melalui tangan penguasa. Itulah aura pemimpin
yang diharapkan.
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-IV, Jakarta : Balai Pustaka, 2008.
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam
[3] HR. Bukharidan Muslim
[4] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Tarbiyah Politik Hasan Al-banna : Referensi
Gerakan Dakwah di Kancah politik, Jakarta : Arah Press, 2007.
[5] Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid II, Jakarta : Gema Insani Press, 2002. hlm 913
Oleh : Faisal Reza, SHI
Ketua Mahkamah Syar’iyah Meuredu (A. Mahfudin, S.Ag.,MH)
(Staf. Panmud Gugatan MS Meureudu)
Ketua Mahkamah Syar’iyah Meuredu (A. Mahfudin, S.Ag.,MH)
(Staf. Panmud Gugatan MS Meureudu)
0 comments:
Post a Comment