JAKARTA – Kebergantungan Indonesia terhadap produk impor, baik barang konsumsi, bahan baku industri termasuk farmasi dan alat kesehatan (alkes), serta barang modal dinilai karena ekonomi lebih banyak dikendalikan oleh pedagang.
Hal itu disampaikan Pakar Ekonomi dari Universitas Brawijaya, Munawar Ismail, menanggapi masih tingginya produk impor untuk alat kesehatan saat pandemi Covid-19 karena produk dalam negeri tidak tersedia.
“Memang menyedihkan impor alkes kita, ada kasus impor masker dari Tiongkok, tapi setelah dibuka ternyata produknya made in Indonesia. Ini menunjukkan ekonomi kita lebih dikuasai oleh pedagang, sampai-sampai kita membeli produk yang diekspor ke negara lain,” kata Munawar, Senin (24/8).
Hal itu terjadi karena konsep nasionalisme ekonomi yang dulu sempat dicanangkan, mulai dilupakan. Nasionalisme ekonomi itu harus dibangkitkan kembali dengan menyediakan wadah bagi kreasi produk bertalenta di dalam negeri.
Di sisi lain, pejabat, jelasnya, harus memberi teladan kepada masyarakat memakai produk lokal. “Jangan malu memakai dan membeli produk dalam negeri, agar kita tidak dipermainkan pedagang,” kata Munawar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada periode Januari hingga Mei 2020, impor pakaian alat pelindung diri (APD) mencapai 43,48 juta dollar AS atau setara dengan 609,72 miliar rupiah dengan asumsi kurs 14.000 per dollar AS. Sementara, impor masker nilainya mencapai 77,77 juta dollar AS atau sekitar 1,09 triliun rupiah dan bahan baku APD pakaian pelindung tercatat 266,77 juta dollar AS atau sekitar 3,74 triliun rupiah.
Tekan Impor
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro, mengatakan pandemi Covid-19 menjadi pelajaran yang baik bagi Indonesia untuk menyadari perlunya segera menekan impor alat kesehatan (alkes) karena selama ini hampir semuanya diimpor.
Dalam peringatan Hari Ulang Tahun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ke-42 di Jakarta, Senin (24/8), dia mengatakan pada awal Maret saat wabah Covid-19 mulai merebak di Tanah Air, banyak alkes impor masuk mulai dari alat tes cepat, tes usap, reagen, hingga ventilator.
“Di awal, ada banyak alat rapid test masuk. Sebagian mungkin ada unsur bisnisnya, sebagian mungkin ada niat baik. Tapi semuanya impor, dan kemudian kita bergantung dari suplai impor. Begitu pula PCR. Ventilator demikian juga, saat ada isu Indonesia kurang ventilator, kita terpaksa impor. Ujungnya impor,” kata Bambang.
Kondisi tersebut, jelasnya, menunjukkan bahwa industri alat kesehatan dan bahan baku obat di Indonesia tidak didesain untuk kemandirian di bidang kesehatan guna menjamin masyarakat Indonesia yang sehat.
“Seiring dengan adanya kemampuan reverse engineering, kebergantungan impor yang tadinya hampir 100 persen bisa kita kurangi. Rapid test juga sudah ada versi lanjutannya,” kata Bambang.
Menurut dia, pandemi Covid-19 hanya bisa diatasi dengan penemuan vaksin dan obat. Namun, proses pencarian itu tidak mudah dan butuh waktu yang panjang. Oleh karena itu, fokusnya saat ini diubah agar manusia bisa hidup berdampingan dengan pandemi sambil menunggu vaksin dan obatnya ditemukan.
Untuk bisa hidup berdampingan dengan pandemi, konsep mengenai reverse engineering yang disampaikan mantan Presiden BJ Habibie ternyata jadi pelajaran penting untuk diimpelementasikan.
“Reverse engineering ternyata sangat diperlukan dan memberi hasil saat ada keterbatasan waktu dan ketika ada urgensi sehingga lahirlah rapid test, baik yang generasi pertama atau PCR test kit dan ventilator. Kalau itu tidak dikuasai, kita bisa bayangkan Indonesia tergantung 100 persen terhadap impor,” kata Bambang.
Menanggapi perlunya menekan impor alkes, Pengamat Ekonomi dari Universitas Atma Jaya Jakarta, Suhartoko, mengatakan dengan jumlah penduduk yang besar seharusnya menjadi indikator kebutuhan alkes pasti tinggi terlepas dari ada tidaknya pandemi Covid-19.
“Suka atau tidak, pandemi Covid-19 harus mendorong kemandirian dalam bidang produksi alat kesehatan ke depan. Paling tidak dengan kemandirian alkes, terjadi penghematan devisa karena impor dikurangi sekaligus menyerap tenaga kerja,” kata Suhartoko. n
0 comments:
Post a Comment