POLITIK dan mendaki gunung sama-sama proses menuju
puncak. Namun, keduanya acapkali bersilangan sebagai kenampakan citra,
yakni di antara kuasa dan manusia.
Dalam politik, setiap individu berlaku sebagai publik, kaitannya soal merebut juga mempertahankan kepercayaan di puncak kekuasaan. Dalam pendakian, setiap individu berlaku sebagai diri, perkaranya seputar mencari dan mengenal pribadi di ketinggian pegunungan.
Keberpihakan dalam politik sering kali ditandai keterbelahan. Lebih-lebih dalam situasi politik yang bipolar, sikap-sikap politik sering muncul telanjang, melalui jual-beli serangan yang bertumpu pada lensa kelemahan lawan. Seolah, mengakui kelebihan, tanda kekalahan.Akibatnya, politik menjadi gaduh. Gagasan yang sejatinya ditawarkan, perlahan tertutup abu fanatisme yang mengendap tebal. Dalam kondisi itu, relasi kita terkoyak. Jalinan komunikasi seolah terhenti, hanya karena “aku” dan “dia” berbeda pilihan. Citra terbalik tampak dalam suasana pendakian. Entah atas dasar apapun pekerjaan mendaki dilakukan, pertemuan antarpendaki di gunung pasti membawa pada muara rasa dekat.
Seolah terjadi secara natural, para pendaki saling bersapa di tengah napas yang dipenggal lelah. Tradisi saling menawarkan kudapan menjadi penanda keintiman. Pendakian hampir selalu membawa kesan keakraban di antara sesama.
Padahal, sangat mungkin jika para pendaki itu punya ragam pilihan politik yang berbeda. Namun, perbedaan pilihan dan sikap itu tidak menyeruak menjadi batas yang menyekat. Mungkin sangat berbeda saat posisinya menjadi warga kota, pandangan dan situasi kontemplasi yang disediakan hutan digantikan kesemrawutan lalu lintas percakapan di gawai genggaman.
Kenampakan ini memberi penegasan bahwa manusia bisa berbeda dalam situasi yang beragam. Mengapa keakraban dalam pendakian gagap masuk ke dalam labirin percakapan? Mungkin, karena politik dan pendakian adalah dua hal serupa namun berlawanan.
Dalam politik, setiap individu berlaku sebagai publik, kaitannya soal merebut juga mempertahankan kepercayaan di puncak kekuasaan. Dalam pendakian, setiap individu berlaku sebagai diri, perkaranya seputar mencari dan mengenal pribadi di ketinggian pegunungan.
Keberpihakan dalam politik sering kali ditandai keterbelahan. Lebih-lebih dalam situasi politik yang bipolar, sikap-sikap politik sering muncul telanjang, melalui jual-beli serangan yang bertumpu pada lensa kelemahan lawan. Seolah, mengakui kelebihan, tanda kekalahan.Akibatnya, politik menjadi gaduh. Gagasan yang sejatinya ditawarkan, perlahan tertutup abu fanatisme yang mengendap tebal. Dalam kondisi itu, relasi kita terkoyak. Jalinan komunikasi seolah terhenti, hanya karena “aku” dan “dia” berbeda pilihan. Citra terbalik tampak dalam suasana pendakian. Entah atas dasar apapun pekerjaan mendaki dilakukan, pertemuan antarpendaki di gunung pasti membawa pada muara rasa dekat.
Seolah terjadi secara natural, para pendaki saling bersapa di tengah napas yang dipenggal lelah. Tradisi saling menawarkan kudapan menjadi penanda keintiman. Pendakian hampir selalu membawa kesan keakraban di antara sesama.
Padahal, sangat mungkin jika para pendaki itu punya ragam pilihan politik yang berbeda. Namun, perbedaan pilihan dan sikap itu tidak menyeruak menjadi batas yang menyekat. Mungkin sangat berbeda saat posisinya menjadi warga kota, pandangan dan situasi kontemplasi yang disediakan hutan digantikan kesemrawutan lalu lintas percakapan di gawai genggaman.
Kenampakan ini memberi penegasan bahwa manusia bisa berbeda dalam situasi yang beragam. Mengapa keakraban dalam pendakian gagap masuk ke dalam labirin percakapan? Mungkin, karena politik dan pendakian adalah dua hal serupa namun berlawanan.
Hutan dan gunung akan menampakkan sikap asli manusia, namun
politik kerap kali menyembunyikannya. Politik tidak membuat mengerti
siapa kita, namun berusaha keras menjadi apa yang “mereka” minta.Merajut nilai
Kendati politik dan pendakian seakan berbeda dan berlawanan. Keduanya, punya banyak kemiripan.
Pertama, kesiapan. Siapa saja yang akan turut serta menjadi pelaku keduanya, jelas harus benar-benar punya kesiapan. Di antaranya, pengetahuan dasar membaca arah, perbekalan yang cukup untuk perjalanan, keinsafan menghadapi rasa lelah di tengah ajakan untuk menyerah, dan yang pasti, tidak terlena saat kaki menggapai puncak.
Politik dan pendakian sejatinya adalah jalan. Tujuan keduanya terletak setelahnya. Pulang dengan selamat adalah akhir dari pendakian, kemampuan mendistribusikan kesejahteraan adalah inti dari proses politik.
Kedua, soal daya tahan. Politik dan pendakian meniscayakan soal yang satu ini. Seringkali, puncak bukan untuk mereka yang paling kuat. Akan tetapi diperuntukkan bagi mereka yang paling mampu bertahan. Jalan terjal, udara dingin, keputusasaan yang kerap datang dalam rasa lelah, tak lain adalah rupa-rupa tanda tanya yang menguji sejauh mana batas keteguhan menyelesaikan misi.
Sehingga, baik politik juga mendaki, sejatinya adalah kerja merajut nilai. Ada keyakinan dalam yang menggerakkan. Ada tujuan yang hendak diwujudkan. Banyak pelajaran yang bisa dipetik, dan tentu, ada akhir yang hendak dituju.
Politik dan pendakian adalah kerja-kerja menemukan makna relasi kuasa dan manusia, yakni sebagai publik, juga sebagai pribadi.
Membawa pulang
Selepas menikmati puncak, pendaki turun dengan membawa rupa-rupa, cerita, penemuan makna, juga sampah yang mereka hasilkan. Sikap politik, harusnya juga demikian. Pilihan, pembelaan, dan sampah fanatisme harusnya perlahan dikumpulkan untuk dibawa pulang.
Di ladang pertarungan, segala macam agitasi, sikap membela, dan segala berita bohong harus dibawa turun. Jika tidak, kesulitan mengurai sampah-sampah politik yang tersisa, hanya akan semakin membuat dunia politik makin ringkih.
Tanah yang seharusnya memberi nutrisi pada tunas-tunas baru kekuasaan, tidak bisa bisa diharapkan menghasilkan buah-buah kebijakan yang segar. Sebagai mana para pendaki, politisi juga harus mulai menanam bibit-bibit keadaban, jika tidak, hutan politik akan perlahan habis oleh rakusnya binatang-bintang pemburu kuasa.
Di antara dua puncak, selayaknya kita berpikir mendalam, sudah sejauh mana politik mengantarkan kita pada puncak kemanusiaan?[]
Kendati politik dan pendakian seakan berbeda dan berlawanan. Keduanya, punya banyak kemiripan.
Pertama, kesiapan. Siapa saja yang akan turut serta menjadi pelaku keduanya, jelas harus benar-benar punya kesiapan. Di antaranya, pengetahuan dasar membaca arah, perbekalan yang cukup untuk perjalanan, keinsafan menghadapi rasa lelah di tengah ajakan untuk menyerah, dan yang pasti, tidak terlena saat kaki menggapai puncak.
Politik dan pendakian sejatinya adalah jalan. Tujuan keduanya terletak setelahnya. Pulang dengan selamat adalah akhir dari pendakian, kemampuan mendistribusikan kesejahteraan adalah inti dari proses politik.
Kedua, soal daya tahan. Politik dan pendakian meniscayakan soal yang satu ini. Seringkali, puncak bukan untuk mereka yang paling kuat. Akan tetapi diperuntukkan bagi mereka yang paling mampu bertahan. Jalan terjal, udara dingin, keputusasaan yang kerap datang dalam rasa lelah, tak lain adalah rupa-rupa tanda tanya yang menguji sejauh mana batas keteguhan menyelesaikan misi.
Sehingga, baik politik juga mendaki, sejatinya adalah kerja merajut nilai. Ada keyakinan dalam yang menggerakkan. Ada tujuan yang hendak diwujudkan. Banyak pelajaran yang bisa dipetik, dan tentu, ada akhir yang hendak dituju.
Politik dan pendakian adalah kerja-kerja menemukan makna relasi kuasa dan manusia, yakni sebagai publik, juga sebagai pribadi.
Membawa pulang
Selepas menikmati puncak, pendaki turun dengan membawa rupa-rupa, cerita, penemuan makna, juga sampah yang mereka hasilkan. Sikap politik, harusnya juga demikian. Pilihan, pembelaan, dan sampah fanatisme harusnya perlahan dikumpulkan untuk dibawa pulang.
Di ladang pertarungan, segala macam agitasi, sikap membela, dan segala berita bohong harus dibawa turun. Jika tidak, kesulitan mengurai sampah-sampah politik yang tersisa, hanya akan semakin membuat dunia politik makin ringkih.
Tanah yang seharusnya memberi nutrisi pada tunas-tunas baru kekuasaan, tidak bisa bisa diharapkan menghasilkan buah-buah kebijakan yang segar. Sebagai mana para pendaki, politisi juga harus mulai menanam bibit-bibit keadaban, jika tidak, hutan politik akan perlahan habis oleh rakusnya binatang-bintang pemburu kuasa.
Di antara dua puncak, selayaknya kita berpikir mendalam, sudah sejauh mana politik mengantarkan kita pada puncak kemanusiaan?[]
Nanang Suryana
0 comments:
Post a Comment