JAKARTA - Melonjaknya kembali angka kemiskinan pada September 2020 menjadi 27,55 juta penduduk atau 10,19 persen menegaskan program penanganan kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dicanangkan pemerintah pada 2020 belum efektif. Padahal, program tersebut menelan belanja hingga 695,2 juta triliun rupiah yang diperoleh dari penarikan utang.
Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya, Malang, Andhyka Muttaqin, yang diminta pendapatnya, Selasa (16/2), mengatakan program pengentasan kemiskinan hendaknya lebih bersifat pemberdayaan agar masyarakat memiliki penghasilan yang berkesinambungan. Selain itu, program kemiskinan hendaknya diprioritaskan bagi masyarakat desa, sebagai sumber kemiskinan terbesar.
"Masyarakat diberi kail, jangan ikannya. Kalau bantuan langsung tunai (BLT) tiga hari sudah habis dan masyarakat jadi bergantung pada bantuan selanjutnya. Kalau program pelatihan dan semacamnya akan lebih sustainable. Penerima lebih memiliki tanggung jawab dan membuat mereka lebih mandiri," kata Andhyka.
Lebih lanjut, dia mengatakan penambahan anggaran bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat miskin akan menekan laju angka kemiskinan. "Jika permintaan belum terdorong, percuma memberikan banyak keringanan bagi pelaku usaha. Masalah utama ada di sisi lemahnya demand. Masyarakat belum banyak terbantu oleh bansos karena kurang efektif," kata Bhima, di Jakarta, Selasa (16/2).
Dia juga meminta agar stimulus berupa subsidi upah bagi pekerja ditambah bukan malah dihilangkan. Idealnya per bulan pekerja mendapatkan tambahan subsidi 1,2 juta rupiah dan diberi minimum lima bulan ke depan.
Selain itu, program kemiskinan hendaknya lebih fokus pada perdesaan sebagai sumber kemiskinan terbesar, dengan melancarkan program-program yang bersentuhan dengan pertanian sebagai mata pencaharian utama masyarakat desa.
"Program yang diluncurkan hendaknya lebih bersifat protektif terhadap pertanian, supaya petani mau terus berproduksi, seperti proteksi harga dan proteksi terhadap produk impor. Jangan sedikit-sedikit impor dengan alasan memenuhi kebutuhan nasional," pungkasnya.
Sebelumnya, Guru Besar Sosiologi Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto, mengatakan maraknya fenomena masyarakat miskin di tengah berbagai bantuan sosial menunjukkan program yang diterapkan kurang efektif.
"Masyarakat bawah lebih berperan sebagai penerima program-program yang sifatnya charity, tanpa bisa meningkatkan kemampuan dan daya saing mereka," kata Bagong.
Dia mengimbau agar fokus program pembangunan sebaiknya yang bisa memicu roda ekonomi masyarakat kelas bawah, terutama stimulus untuk sektor riil.
Secara terpisah, Pakar Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Bhima Yudhistira, mengatakan belanja negara tahun ini harus direvisi dengan mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk program perlindungan sosial. Sebab, tahun ini ada gejala inflasi lebih tinggi yang bisa memicu naiknya angka kemiskinan.
Fluktuasi harga komoditas pangan kerap banyak dipicu tingginya harga di pasar dunia akibat kebergantungan pada produk impor. Faktor curah hujan yang tinggi, bencana alam, serta berbagai kendala lain yang mengganggu produksi dan distribusi sangat rentan dengan penduduk miskin.
Penambahan Anggaran
0 comments:
Post a Comment