![]() |
OLEH: HADI SUSIONO PANDUKAlumnus Pesantren Alkhoirot dan Sabilillah, MA Nahdlatul Muslimin, Kudus-Malang, serta Undip Semarang |
Santri bak primadona akhir-akhir ini. Dielu-elukan dari tempat sunyi hingga hingar-bingar perbincangan publik.
Ya, santri memang kaum unik dan memiliki distingsi yang mencolok jika dibandingkan dengan kaum sebaya mereka. Santri memang diplot untuk mewarisi tradisi keilmuan Islam di kemudian hari.
Tetapi, tidaklah mudah bagi mereka. Diperlukan riyadhoh laku lahir dan juga batin. Di antaranya, santri harus rajin mutholaah atau mengulang-ulang pelajaran yang telah didapat. Repetisi hingga fasih bahkan hapal.
LATIHAN MEMBACA
Literasi tidak bisa dipisahkan dari santri. Membaca kitab susunan para mushonnif baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Semua tanpa syakal. (kitab kuning, kitab gundul).
Bagaimana mereka memahami itu semua? Latihan, latihan dan latihan membaca. Langkah awal bagi santri untuk bisa membaca adalah belajar ilmu tata bahasa Arab (Ilmu Nahwu).
Bagaimana suatu awal kalimat itu dibaca, apa susunan kata pertama, kedua dan seterusnya dalam sebuah kalimat sempurna atau kalimat tidak sempurna, misalnya. Ilmu Shorof juga harus dipelajari.
Perubahan kata dalam bahasa Arab, juga harus dimengerti oleh santri karena perubahan kata berimplikasi terhadap makna, seperti halnya pada Ilmu Nahwu di mana tata letak suatu kata memiliki makna beda. Pendek kata, santri harus mengerti dan paham betul kajian sintaksis dan morfologi bahasa Arab.
Nah, itu butuh waktu lama. Tidak instan! Makanya, tidaklah heran jika dalam kitab Ta’lim al_Muta’allim Thariq at-Ta’allum susunan Imam Burhanuddin Ibrahim al-Zarnuji, menyebutkan bahwa salah satu syarat sukses bagi santi (pencari ilmu) adalah waktu yang lama, tidak instan sekali lagi!
Sampai kapan? Sampai futhuh. Sedangkan, syarat yang lain adalah memiliki kecerdasan baik yang didapatkan given dari Sang Pencipta Otak, ataupun dari diskusi, drilling, repetisi, mencatat, menghafal ataupun mutholaah. Selain itu, santri harus bersungguh-sungguh, bersabar, memiliki bekal, dan mendapatkan bimbingan dari guru (kiai).
Lebih lanjut, jika santri sudah lulus kajian ketatabahasaan tersebut, dia bisa mempraktikkan membaca kitab kuning. Dan, pengembaraan lautan ilmu Allah pun dimulai dengan mengaji kitab yang dianggap kecil dan mudah, hingga kitab besar. Dari kitab yang berkonten Fiqih hingga Tasawuf dan seterusnya.
0 comments:
Post a Comment