Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation
HIDUP
saya memang ditakdirkan lebih banyak di luar negeri, khususnya di
Amerika, dibandingkan di dalam negeri sendiri. Tujuh tahun di Pakistan,
dua tahun di Arab Saudi dan hingga saat ini sudah hampir 1/4 abad (25
tahun) di Negeri Pam Sam.
Dalam perjalanan panjang itu tentu saya
banyak belajar, mendalami dan menyelami banyak hal. Satu di antaranya
adalah belajar tentang tabiat kehidupan warga Indonesia di luar negeri,
di mana saya tentunya menjadi bagian darinya.
Dari perenungan dan
refleksi itu saya banyak mengambil pelajaran untuk saya pribadi jadikan
loncatan dalam melangkah lebih jauh ke depan. Saya menemukan dengan
jelas siapa, apa dan bagaimana warga Indonesia di luar negeri itu.Beberapa waktu lalu saya pernah menulis tentang Diaspora Indonesia
secara umum. Kali ini saya ingin menuliskan secara khusus tentang
masyarakat Muslim Indonesia yang ada di luar negeri, khususnya mereka
yang menetap di berbagai kota di Amerika Serikat.
Hal pasti yang
harus disadari adalah bahwa masyarakat Muslim Indonesia di luar negeri,
termasuk di Amerika, harusnya memiliki potensi sekaligus peluang untuk
melakukan banyak hal. Baik itu untuk kepentingan domestik (Amerika)
maupun kepentingan negara asal (Indonesia).
Tentu ini bukan basa basi. Tapi sebuah realita yang memiliki dasar-dasar argumentasi yang kuat.
Semua
tahu bahwa Indonesia adalah negara besar. Kebesarannya tidak saja
secara geografis yang membentang dari Sabang sampai Marauke. Yang jika
ditempuh dengan pesawat terbang akan memakan waktu sekitar 6 jam. Lebih
lama dari Perjalanan dari New York bagian timur Amerika ke California
bagian barat Amerika.
Sebenarnya kebesaran Indonesia hampir dalam
segala aspeknya. Dari sejarah, geografis hingga kepada jumlah
pulau-pulau yang membentang dalam negara kesatuan Republik Indonesia.
Hingga ke kekayaan dan keindahan alamnya.Tapi bagi saya pribadi, kebesaran dan keindahan Indonesia tidak saja
pada alamnya. Tetapi lebih utama ada pada manusianya. Manusia Indonesia
itu memiliki kelebihan-kelebihan dan potensi yang dahsyat. Sesuatu yang
terkadang terlihat pada kreasi atau karya yang sederhana tapi
menakjubkan dalam berbagai bidang kehidupan.
Di bidang kulinari misalnya, ketika menyebut kata "Indonesian food" Anda
akan bingung menentukan yang mana. Semua daerah/pulau memiliki bahkan
bukan hanya satu macam makanan. Tapi ragam bentuk dan rasa.
Sebagai
misal saja, ambillah makanan ala Bugis, Makassar. Ada puluhan bentuk
dan rasa makanan di daerah itu. Dari Coto Mangkasara, Pallu Kongro,
Pallu Basa, Pallu Mara, Sop Sodara, hingga Pallu Butung, Pisang Epek,
dan lain-lain.
Demikian pula ketika kita berbicara tentang
keindahan dan keragaman budaya bangsa ini. Setiap daerah memiliki
pakaian adat yang cantik. Setiap daerah juga memiliki tarian yang juga
luar biasa.
Karakter beragama Indonesia
Saya
tidak berbicara tentang agama (baca Islam) sebagai keyakinan dan amalan
ritualnya. Karena Sesungguhnya Islam itu satu di mana pun di dunia ini.
Islam memiliki sumber yang sama, yaitu Al-Quran dan as-Sunnah. Sehingga
pada tataran konseptual agama Islam itu bersifat tunggal.
Justru
yang ingin saya kemukakan adalah karakter manusia dalam memahami dan
menjalankan agama (Islam) itu. Pada tataran ini jelas akan ada keragaman
dari orang per orang, etnis/suku ke etnis/suku yang lain, dan dari
bangsa ke bangsa lainnya.
Di sìnilah kemudian Indonesia memiliki
keunikan karakter dalam beragama. Pertama karena keragaman agama dan
karakter beragama itu sendiri. Di negeri ini ada Islam, Kristen,
Katholik, Hindu, Buddha dan juga Konghucu. Bahkan selain agama-agama
yang diakui secara resmi oleh negara itu, juga ada banyak ragam
keyakinan dan praktek agama-agama lainnya.
Berdasarkan semua itu,
dan didukung oleh karakter kebangsaan Indonesia yang unik menjadikan
karakter beragama di Indonesia juga menjadi unik dan khas, yang belum
tentu ada pada bangsa-bangsa lain.
Karakter kebangsaan yang lemah
lembut walau tidak lemah (gentle but not weak). Bangsa ini menjadi
bangsa yang ramah (friendly), mudah tersenyum, mudah bergaul, bersahabat
dan rendah hati. Bangsa ini adalah bangsa yang sejarahnya mengedepankan
kerja sama di atas konflik dan perpecahan.
Dengan karakter
kebangsaan demikian yang kemudian menjadi bagian dasar dari karakter
beragama (berislam) menjadikan kehidupan bersama atau kehidupan sebagai
"Umat Islam" di Indonesia menjadi unik. Keunikan yang sesungguhnya
menjadi terjemahan langsung dari esensi Islam itu sendiri sebagai
"rahmatan lil-alamin".
Self Criticism
Namun
demikian, alangkah pentingnya untuk menyadari bahwa di balik semua
kelebihan dan kebanggaan sebagai bangsa, khususnya sebagai Komunitas
Muslim Indonesia yang hidup di luar negeri, ada juga
kekurangan-kekurangan yang perlu dikritisi dan diperbaiki.
Kekurangan
ini dalam pandangan saya bukan bagian dari karakter dasar umat dan
kebangsaan. Tapi lebih kepada dorongan buruk (nafs amarah) yang kerap
masih mendominasi kehidupan komunal (jama’i) anak-anak bangsa, termasuk
Komunitas Muslim di luar negeri.
Tanpa tendensi
memburuk-memburukkan, tapi lebih kepada "self introspection" dan "self
correction" di sini saya sampaikan sebagian dari kelemahan dan keburukan
yang kerap terjadi pada Komunitas Muslim Indonesia di mancanegara,
termasuk Amerika.
Pertama, diakui atau tidak, disadari atau
tidak, Komunitas Muslim Indonesia seringkali mengalami penyakit "minder"
yang cukup kronis. Hal ini cukup berdampak pada wawasan dan karakter
hidup di tengah masyarakat Amerika dan dunia yang heterogen.
Penyakit
minder (inferiority complex) itu adalah sebuah fenomena kejiwaan yang
merasa tidak mampu, lemah bahkan kalah. Penyakit ini dengan sendirinya
mengantar kepada sikap apatis, pasif, bahkan kecenderungan putus asa.
Kedua,
Komunitas Muslim Indonesia seringkali mengalami penyakit “don’t care”
(tidak peduli). Mereka tahu bahwa mereka punya tanggung jawab besar
dalam banyak hal. Tapi mereka seolah melarikan diri dari tanggung
jawabnya.
Salah satu penyebab utama dari sikap “no care” ini
adalah karena visi hidup yang terkadang terbatas pada kehidupan yang
bertujuan personal. Bagi sebagian mereka ada di Amerika yang penting ada
kerjaan dan aman secara finansial. Urusan Komunitas itu bukan urusan
saya.
Ketiga, Komunitas Muslim Indonesia di luar negeri,
khususnya di Amerika, kurang peduli lingkungan sekitarnya.
Ketidakpedulian ini biasanya terjadi karena memang kekurangtahuan
tentang lingkungan di mana mereka tinggal. Akibatnya sering Komunitas
Muslim Indonesia ketinggalan kendaraan untuk menangkap peluang-peluang
yang tersedia. Apakah itu peluang ekonom, pendidikan maupun
peluang-peluang politik yang tersedia di negara ini.
Keempat,
Komunitas Muslim Indonesia memiliki kecenderungan untuk membatasi diri
dalam pergaulan. Saya melihat hal ini terjadi karena merupakan dampak
langsung dari rasa minder yang disebutkan terdahulu.
Akibatnya,
networking Komunitas Muslim Indonesia sangat terbatas. Hampir tidak ada
di antara mereka yang terlibat dalam organisasi-organisasi lintas
etnis/bangsa misalnya. Selain itu kemampuan berkomunikasi dan bahasa non
Indonesia menjadi sangat terbatas.
Kelima, Komunitas Muslim
Indonesia memiliki kecenderungan yang mengedepankan “negative minds”
ketimbang berpikiran positif. Hal ini mengantar kepada sebuah prilaku
yang cepat “menghakimi” (judgmental). Bahkan melemparkan tuduhan tentang
isu yang tidak berdasar atau minimal terverifikasi.
Akibatnya
ghibah, gossip bahkan fitnah menjadi sesuatu yang seolah biasa saja. Di
zaman media sosial ini misalnya, gossip dan fitnah itu kerap berkeliaran
secara liar. Bahkan dari orang yang terkadang harusnya menjadi tauladan
bagi khalayak.
Keenam, bahwa Komunitas Indonesia, termasuk di
dalamnya Komunitas Muslim, dalam bersikap secara komunal (jama’i) sangat
diwarnai oleh warna komunal Kebangsaan kita di dalam negeri.
Ambillah
sebagai contoh bagaimana pilpres yang mengkotak-kotakkan anggota
masyarakat dalam negeri juga mewarnai hubungan antar anggota diaspora
Indonesia di luar negeri. Bahkan terasa hingga ketika anggota diaspora
menyikapi pilihan politik di Amerika itu sendiri.
Ada sejumlah
anggota Komunitas Indonesia yang mendukung kandidat politik di Amerika
karena sejalan dengan kandidat tertentu di Indonesia. Atau sebaliknya
melakukan resistensi kepada kandidat tertentu karena kandidat itu
dianggap berseberangan dengan pilihannya di dalam negeri Indonesia.
Ketujuh,
dan ini realita yang paling nyata dan menyakitkan. Yaitu adanya
penyakit “ghill” seperti pada ayat "wa laa taj’al fii quluubina ghillan
lilladzina amanu" justeru kerap terjadi di kalangan masyarakat Indonesia
di luar negeri, termasuk di dalamnya masyarakat Muslim Indonesia.
Akibatnya
ketika ada di antara anggota Komunitas yang sedikit menonjol, anggaplah
berhasil kecil pada bidang tertentu, ada-ada saja pihak yang berusaha
menjegalnya dengan cara apa saja.
Saya tidak ingin menyebutkan
contoh-contoh bagaimana upaya saling jegal menjegal di antara sesama
itu. Tapi yang pasti hal ini sangat terasa di kalangan Komunitas
Indonesia di luar negeri. Bahkan dalam urusan yang terkait dengan
keagamaan sekali pun.
Dalam perspektif agama fenomena seperti
ini lebih dikenal dengan sebutan "dengki" atau "iri hati" kepada sesama
yang kebetulan mendapatkan karunia tertentu dari Allah. Orang yang
berpenyakit hasad itu tidak saja "sakit hati" atas karunia yang Allah
berikan kepada orang lain. Tapi berusaha agar karunia itu dicabut
darinya. Bahkan orang lain tersebut, walau sesama anak bangsa bahkan
seiman, perlu dirusak dan ditenggelamkan.
Inilah penyakit yang
Rasulullah SAW ingatkan dalam sabdanya: "Hendaklah kalian berhati-hati
dengan hasad. Karena sesungguhnya hasad menghabiskan kebaikan
sebagaimana api menghanguskan kayu bakar".
Berhati-hatilah.
Karena pelaku hasad selain kebaikannya bangkrut, juga yang bersangkutan
akan hidup bagaikan cacing yang kepanasan.
"A'adzana Allahu wa iyyakum" (semoga Allah menjaga kita semua). Amin!
Manhattan, 7 Juli 2021
0 comments:
Post a Comment