JAKARTA - Pemerintah disarankan untuk menarik utang bilateral yang berbunga rendah, dan mengurangi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan bunga yang lebih tinggi. Hal itu untuk mengurangi beban bunga dan cicilan yang harus dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tiap tahun.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, dalam diskusi yang digelar Indef di Jakarta, pekan lalu, mengatakan dengan kondisi Indonesia yang kembali turun kelas menjadi negara dengan penghasilan menengah bawah atau lower middle income country, maka bunga yang dikenakan oleh negara-negara kreditor dan lembaga-lembaga multilateral lebih rendah ketimbang saat berada di level upper middle income country.
"Pemerintah saat ini justru lebih baik menarik pinjaman dibandingkan menerbitkan surat utang yang memiliki bunga lebih tinggi," katanya.
Selain bunga yang lebih tinggi, juga terdapat risiko penjualan surat utang Indonesia yang digenggam oleh asing ke pasar jika prospek pemulihan ekonomi Indonesia tidak menentu atau pandemi pulih lebih lama.
Oleh beberapa negara, kondisi seperti itu biasanya dimanfaatkan untuk reprofiling utang atau menarik pinjaman dengan bunga lebih murah dan tenor yang jangka panjang, lalu digunakan melunasi utang dengan bunga yang lebih tinggi, terutama yang akan segera jatuh tempo.
Faisal memperkirakan dengan kondisi pandemi yang belum terkendali dengan baik, maka utang luar negeri (ULN) Indonesia masih akan meningkat ke depannya.
"ULN ke depannya masih akan naik dan saya tidak melihat ada yang krusial, karena mayoritas utang bersumber dari kerja sama dengan lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), serta kerja sama bilateral dengan sejumlah negara," kata Faisal.
Bank Indonesia (BI) mencatat ULN Indonesia sebesar 415 miliar dollar AS pada akhir Mei 2021 atau setara dengan 5.976 triliun rupiah dengan estimasi kurs 14.400 rupiah per dollar AS. Jumlah tersebut naik 3,1 persen dibanding posisi yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy).
Pendapatan Menurun
Sementara itu, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengatakan masalah pengelolaan fiskal saat ini adalah kewajiban bunga utang yang sangat besar, sementara pendapatan negara menurun, akibatnya kebergantungan pada utang baru tak bisa dikurangi.
"Dalam penggunaan utang pun tidak transparan, seperti untuk membiayai Covid-19, tidak ada transparansi sama sekali," katanya. Penggunaan dana pun banyak tidak sesuai sasaran dan tidak memiliki skala prioritas. Makanya, pemanfaatan utang yang begitu besar dalam lima tahun terakhir tidak berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi, bahkan kesejahteraan masyarakat.







0 comments:
Post a Comment