» Pemda harus menentukan komoditas prioritas yang layak disubsidi biaya transportasinya.
» Inflasi hanya bisa diredam dengan menaikkan suku bunga dan menurunkan harga.
JAKARTA ( KONTAK BANTEN) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan pemerintah pusat dan daerah terus bergerak mengendalikan inflasi melalui berbagai upaya, di antaranya mensubsidi biaya transportasi untuk komoditas yang mengalami peningkatan harga.
"Kita pemerintah dengan gubernur, bupati, wali kota, juga bergerak, ongkos transportasi barang-barang yang mengalami kenaikan itu ditutup dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ini juga akan mengurangi kenaikan harga barang dan jasa," kata Presiden Jokowi usai menyerahkan bantuan sosial di Balikpapan, Kalimantan Timur, Selasa (25/10).
Pemerintah daerah (pemda), jelas Presiden, diberi keleluasaan untuk mensubsidi biaya transportasi barang melalui anggaran belanja tak terduga dan Dana Transfer Umum (DTU) sebesar dua persen. Dengan kebijakan tersebut, harga-harga barang di pasar hingga Selasa ini cukup stabil.
Sejalan dengan itu, Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter, kata Presiden, juga mengendalikan inflasi dengan instrumen suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate.
Menurut data Bank Indonesia, suku bunga kebijakan 7-Day Reverse Repo Rate telah dinaikkan sebesar 50 basis poin pada Oktober 2022 ke level 4,75 persen.
Di Balikpapan, Kepala Negara menyalurkan bantuan subsidi upah dan juga Bantuan Langsung Tunai (BLT) bahan bakar minyak (BBM). Menurut data, hingga Selasa, BLT BBM telah tersalurkan 99,7 persen dari total penerima, sementara bantuan subsidi upah sudah tersalurkan 72 persen dari total penerima.
Komoditas Prioritas
Menanggapi upaya pemerintah itu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y Sri Susilo, mengatakan agar program subsidi biaya transportasi komoditas pangan terjaga maka yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah menentukan komoditas prioritas. Masing-masing daerah tentu memiliki komoditas prioritas yang berbeda-beda, sehingga kepala daerah harus memastikan mana yang paling penting mendapat subsidi.
"Secara umum beras yang perlu dijaga, transportasinya disubsidi, walaupun di beberapa daerah harga beras masih stabil. Kalau Yogya, selain beras juga perlu mensubsidi biaya transportasi minyak dan gula," kata Susilo.
Selain penentuan komoditas prioritas, kecepatan merespons keadaan dengan keputusan subsidi maupun pasar murah pemerintah juga sangat berpengaruh.
Skemanya Diatur
Diminta terpisah, Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Eugenia Mardanugraha, sepakat dengan Presiden memberi subsidi terhadap biaya transportasi, tetapi skemanya harus benar -benar diatur supaya tidak jatuh ke tangan yang salah.
Subsidi, terang Eugenia, bukan untuk meredam inflasi, tetapi untuk memperkuat daya beli. Misalnya, karena kenaikan harga BBM maka kemampuan membeli masyarakat itu menurun, dari biasanya membeli tiga menjadi hanya mampu dua. Makanya, skema subsidi itu harus tepat.
"Jangan sampai subsidinya justru diberikan untuk transportasi, nanti yang untung justru pengusaha transportasinya dan mereka tidak akan menurunkan harga angkut ke petani atau nelayan, sebab harga BBM kan sudah dinaikkan sebelumnya," paparnya.
Menurut dia, subsidi yang tepat itu harus langsung diberikan ke petani dan nelayan, karena mereka inilah yang menggunakan sektor transportasi itu. Dengan demikian, mereka diharapkan tidak menaikkan harga pangan atau ikannya ketika dijual ke konsumen.
Begitu pula subsidi ke nelayan harus langsung ke mereka karena dia menggunakan kapal motornya untuk melaut. Dengan subsidi diharapkan nelayan tidak menaikkan harga ikan tangkapannya.
Kalau ingin meredam inflasi, solusinya hanya dua yakni dengan menaikkan suku bunga dan menurunkan harga termasuk bahan bakar minyak (BBM).
"Jadi, subsidi itu hanya untuk memperkuat kemampuan beli saja tidak akan menurunkan harga di pasar," katanya.
Sementara itu, pengamat dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, mengatakan jika harga BBM naik, otomatis biaya transportasi ikut naik. Kalau subsidi sebagai solusi masalahnya maka sifatnya hanya jangka pendek, bergantung kemampuan APBN dan APBD.
"Kalau dua persen dari Dana Transfer Umum untuk subsidi transportasi barang, akan bertahan dalam jangka waktu berapa lama? Sedangkan harga BBM tinggi diperkirakan berlangsung dalam jangka waktu relatif lama," katanya.
0 comments:
Post a Comment