JAKARTA ( KONTAK BANTEN) Sudah jadi rahasia umum bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Bahkan secara global, UNESCO menempatkan Indonesia di urutan kedua dari bawah terkait Literasi
Data UNESCO menyebut, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya dari 1.000 orang Indonesia, cuma satu orang yang rajin membaca. Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara soal minat baca.
Menariknya, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara lain.
Apa karena "rak buku"?
Indonesia memiliki perpustakaan dengan jumlah terbesar kedua di dunia setelah India. Sayang, jumlah perpustakaan itu tidak sejalan dengan peningkatan minat baca masyarakatnya.
Kepala Perpustakaan Nasional, Muhammad Syarif Bando mengungkap bahwa jumlah infrastruktur perpustakaan di Indonesia yaitu 164.610 unit. Sementara India yang berada di posisi pertama, memiliki infrastruktur perpustakaan 323.605 unit.
Di balik ”pengakuan” itu, ternyata masyarakat Indonesia masih memiliki keterbatasan akses perpustakaan dan buku bacaan berkualitas.
Laporan Perpustakaan Nasional tahun 2020 menyebut, perpustakaan yang ada di Indonesia saat ini baru mencapai 154.000 atau hanya 20 persen dari kebutuhan nasional.
Kekurangan perpustakaan itu di antaranya perpustakaan umum (baru 26 persen dari kebutuhan 91.000 pustakaan) dan perpustakaan sekolah (baru 42 persen dari kebutuhan 287.000 pustakaan).
Minimnya akses terhadap perpustakaan juga terasa hingga level kecamatan. Dari total kebutuhan 7.094 perpustakaan kecamatan di seluruh Indonesia, baru terpenuhi 6 persen atau 600 perpustakaan yang letaknya masih terpusat di Jawa.
Hal itu menyebabkan akses masyarakat terhadap perpustakaan dan buku di luar Jawa masih rendah. Belum lagi, tak semua perpustakaan punya kondisi yang bisa menarik minat masyarakat untuk datang dan berlama-lama membaca buku.
Ada perpustakaan dengan pelayanan dan kondisi sangat menarik serta membuat betah pengunjung. Namun, tentu tidak bisa dijumpai di pelosok.
Era digital juga jadi salah satu hambatan menaikkan minat baca masyarakat kita. Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, tahun 2017, jumlah penduduk Indonesia yang terkoneksi internet mencapai 143 juta orang.
Terbukanya akses itu seharusnya membuka pintu bagi ratusan juta orang untuk mencari ilmu dan pengetahuan dengan membaca. Sayang, masyarakat kita kebanyakan tidak mengakses tulisan ilmu dan pengetahuan.
Masyarakat kita lebih suka mengakses media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube. Mereka hanya mencari konten-konten menghibur, bukan mendidik. Bahkan, konten hoaks pun mereka tonton. Padahal, mereka menghabiskan waktu hingga 8 jam lebih untuk berselancar di dunia maya.
Tidak heran jika masyarakat Indonesia berada di urutan ke-5 dunia sebagai netizen paling cerewet di media sosial. Laporan itu dibuat berdasarkan hasil riset Semiocast, lembaga independen di Paris.
Warga Jakarta tercatat paling cerewet menuangkan segala bentuk unek-unek di Twitter, lebih dari 10 juta tweet setiap hari. Bandung juga masuk dalam jajaran kota teraktif di Twitter di posisi enam.
Bisa dibayangkan, dengan ilmu yang minimalis, malas baca buku, tetapi sangat suka menatap layar gawai berjam-jam, ditambah paling cerewet di media sosial memgomentari ini-itu, tanpa melihat latar belakang masalahnya.
Tidak heran jika Indonesia jadi sasaran empuk provokasi, hoaks, dan fitnah. Kecepatan jari untuk langsung like dan share melebihi kecepatan otak menimbang dan mencerna. Padahal, informasinya belum tentu benar.
Hal-hal di atas tentu merupakan masalah serius bagi negara kita untuk berkembang menjadi negara maju karena semua negara maju memiliki minat baca tinggi.
Jepang, misalnya. Mereka tak mau melewatkan waktunya tanpa membaca. Kita bisa dengan mudah menemukan orang Jepang membaca buku, koran, majalah di kereta api atau di taman-taman kota.
Hal yang sama juga terlihat di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara maju di Eropa. Bisa jadi, memang sejak awal lingkungan kita kurang mendukung kebiasaan membaca.
Seharusnya minat baca bisa ditumbuhkan sejak kecil di lingkungan keluarga. Hanya, sampai saat ini bisa dihitung, berapa banyak orangtua yang memperkenalkan buku pada anak-anaknya sejak kecil.
Bisa jadi, masalahnya karena harga buku yang relatif mahal atau memang masyarakat kita lebih suka menonton daripada membaca.***
0 comments:
Post a Comment