Oleh: Izzah Saifanah
Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat masih ada sebanyak 7,99 juta pengangguran per
Februari 2023. Jumlah tersebut setara dengan 5,45 persen dari sebanyak
146,62 juta orang angkatan kerja. Deputi Bidang Neraca dan Analisis
Statistik BPS Edy Mahmud mengatakan tingkat pengangguran terbuka pada
Februari 2023 ini turun dari data Agustus 2022 yang sebanyak 8,42 juta
orang atau 5,86 persen. "Dari 7,99 juta atau 5,45 persen yang
menganggur, ini turun. Jadi pertumbuhan ekonomi memberikan dampak
positif ke tingkat pengangguran terbuka ini," ujarnya dalam konferensi
pers, Jumat (5/5).
Problem
pengangguran berkaitan erat dengan kemiskinan, dan kemiskinan menjadi
salah satu pemicu kerawanan sosial serta menjadi indikator tingkat
kesejahteraan yang minim. Semua ini berpangkal pada penerapan sistem
kapitalisme, sistem ini telah memberikan celah untuk pengelolaan
kekayaan alam yang melimpah ini kepada asing dan swasta, akibatnya
rakyat tersisihkan dan menjadi pengangguran. Kalaupun bekerja, rakyat
hanya menjadi buruh di negerinya sendiri.
Pengelolaan
SDA yang diserahkan kepada asing juga membuat pemerintah kehilangan
sumber pendapatan dan tidak mampu memberi kesejahteraan, akibatnya
berbagai layanan publik menjadi dikomersialisasi, salah satunya
pendidikan. Banyak rakyat tidak mampu mengenyam pendidikan yang layak
atau tidak mampu bersekolah sehingga rakyat tidak memiliki keahlian dan
sulit mendapatkan pekerjaan.
Tidak
hanya itu, lapangan pekerjaan juga lebih banyak tersedia untuk wanita.
Hal ini dikarenakan tenaga kerja wanita dinilai lebih murah dibandingkan
dengan tenaga kerja laki-laki. Kondisi inilah yang menyebabkan banyak
kepala keluarga (laki-laki) yang menjadi pengangguran. Kondisi ini
semakin diperparah dengan kebijakan penguasa yang tidak prorakyat dimana
tenaga kerja asing diberi kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan,
sementara Sumber Daya Manusia (SDM) pribumi diabaikan.
Berbeda
dengan sistem sekuler kapitalisme, dalam Islam, pemimpin atau negara
menempatkan diri sebagai pengurus dan penjaga. Adanya dimensi akhirat
pada kepemimpinan Islam membuat pemimpin akan bersungguh-sungguh
melaksanakan amanahnya sesuai dengan syariat Islam sebagai tuntunan
kehidupan.
Berbeda dengan Islam,
Islam menetapkan mekanisme jaminan kesejahteraan dimulai dari mewajibkan
seorang laki-laki untuk bekerja. Namun, hal ini tentu butuh dukungan
dari negara, berupa sistem pendidikan yang memadai sehingga seluruh
rakyat khususnya laki-laki memiliki kepribadian Islam yang baik
sekaligus keahlian yang mumpuni.
Negara
wajib menyediakan lapangan pekerjaan, membuka akses luas kepada
sumber-sumber ekonomi yang halal, dan mencegah penguasaan kekayaan milik
umum oleh segelintir orang, apalagi asing. Termasuk mencegah
berkembangnya sektor nonriil yang kerap membuat mandek, bahkan hancur
perekonomian negara.
Sektor-sektor
yang potensinya sangat besar, seperti pertanian, industri, perikanan,
perkebunan, pertambangan, dan sejenisnya akan diolah sesuai dengan
aturan Islam. Pembangunan dan pengembangan sektor-sektor tersebut
dilakukan secara merata di seluruh wilayah negara sesuai dengan
potensinya.
Negara akan menerapkan
politik industri yang bertumpu pada pengembangan industri berat. Hal ini
akan mendorong perkembangan industri-industri lainnya hingga mampu
mencerap ketersediaan sumber daya manusia yang melimpah ruah dengan
kompetensi yang tidak diragukan sebagai output sistem pendidikan Islam.
Bantuan
modal dan keahlian juga akan diberikan kepada rakyat, bahkan mereka
yang lemah atau tidak mampu bekerja akan diberi santunan oleh negara
hingga mereka pun bisa tetap meraih kesejahteraan.
Layanan
publik juga akan dimudahkan sehingga rakyat mudah untuk memenuhinya
sehingga kualitas SDM pun akan meningkat dan siap berkontribusi bagi
kebaikan umat. Semua ini hanya ada ketika Islam diterapkan secara
sempurna, sistem ini melahirkan pemimpin yang bertanggungjawab terhadap
urusan rakyatnya.
0 comments:
Post a Comment