Perilaku membanding-bandingkan antara kehidupan seseorang dengan orang lain merupakan fenomena yang kerap terjadi di masyarakat. Entah dalam bentuk perbandingan yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Dalam batas normal, membandingkan diri dengan orang lain sebenarnya dapat memotivasi diri agar lebih baik. Akan tetapi, dalam batas yang tidak terkontrol justru menimbulkan rasa sakit hati, hasad, tidak percaya diri, insecure bahkan frustasi. Misalnya, ketika seseorang dibanding-bandingkankan dalam hal pekerjaan, harta dan jabatan yang belum mapan, dan perilaku lainnya.
Keutamaan Masing-Masing
Lalu bagaimana Al-Qur’an dan tafsirnya memandang perilaku membanding-bandingkan tersebut? Misalnya, yang terdapat dalam QS. An-Nisaa [4]: 32 Allah SWT berfirman;
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا
Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan. dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Al-Qurtubi mengutip Hadis Riwayat At-Tirmidzi tentang sebab turun ayat tersebut. Dijelaskan bahwa Ummu Salamah pernah berkata “Laki-Laki yang berperang sementara perempuan tidak, dan kami juga hanya mendapatkan setengah harta warisan.” Lalu Allah SWT menurunkan ayat ini (Imam Al-Qurthubi, Terj. Tafsir Al-Qurthubi V: 376)
Penafsiran Ayat
Quraish Shihab menjelaskan ayat tersebut bahwa angan-angan sering
menimbulkan ketamakan dan iri hati. Bahkan pada tindakan membandingkan
yang menimbulkan kezaliman dan dosa besar. Membandingkan terjadi dalam
hal harta, bagian dalam warisan, kedudukan, kecerdasan, nama baik,
kecerdasan, dengan yang lebih baik. Namun demikian, ayat tersebut
mengajarkan realistis. Ada angan-angan dan harapan yang dapat dicapai
dan ada yang tidak, sesuai kemampuan diri (Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah II: 417-418)
Al-Qurthubi menjelaskan ayat di atas, bahwa berangan-angan untuk memiliki sesuatu yang dimiliki orang lain itu tidak dilarang selama tidak menimbulkan hasad. Hasad dalam hal ini adalah menginginkan agama dan dunia orang lain hilang dari sisinya. Baik berkeinginan kenikmatan itu kembali padamu atau tidak. Lebih lanjut Al-Qurthubi menjelaskan tentang kebolehan ghibthah (iri hati yang baik); yaitu berkeinginan agar keadaannya seperti saudaranya tanpa ada harapan hilangnya kenikmatan pada saudaranya tersebut. Ia mengutip pendapat Al-Kalbi: janganlah kalian iri hati dengan harta, istri, pembantu dan tunggangan, akan tetapi hendaklah kalian mengatakan: “Ya Allah limpahkanlah rezeki sepertinya” (Imam Al-Qurthubi, Terj. Tafsir Al-Qurthubi V: 376-379)
Berdasarkan pemaparan di atas, maka perilaku membanding-bandingkan dapat dibolehkan dan tidak dibolehkan. Dibolehkan selama tidak didahului hal-hal negatif seperti hasad, tidak bermaksud menjatuhkan atau menyakiti orang lain dan dalam rangka memotivasi diri sendiri. Namun sebaliknya, jika dengan membanding-bandingkan justru timbul hasad, menyakiti dan menjatuhkan orang lain maka hal ini tidak dibolehkan.
Membandingkan Yang Dibolehkan
Oleh karenanya, kita perlu berhati-hati pada perilaku membanding-bandingkan yang tidak bolehkan dengan cara-cara berikut;
Pertama, Memahamkan diri sendiri bahwa setiap orang memiliki passion atau keahlian masing-masing yang tidak dapat disamakan antara satu dengan lainnya. Cara sederhana yang dapat dilakukan adalah ikut mensupport mengapresiasi suatu keberhasilan dan pencapaian orang lain dengan suka cita.
Kedua, Fokus pada pencapaian diri. Mulailah kenali pencapaian apa yang telah diraih selama hidup kemudian fokuskan dan kembangkan. Cara sederhana yang dapat dilakukan adalah sibuk dengan pencapaian tersebut. Ketika seseorang senang dan berhasil dalam kegiatan menulis, maka fokuskan dan kembangkan. Selain itu, menchallenge diri sendiri dengan melihat pencapaian seseorang merupakan hal baik dalam rangka mengembangkan potensi diri.
Ketiga, Berbicara ketika perlu dan sekalinya berbicara, berbicaralah dengan baik dan positif. Perilaku membanding-bandingkan acap kali terjadi karena hati yang belum terorganisir dengan baik. Sehingga dengan tidak terkontrol, lisan berkata-kata yang menjurus pada perilaku membanding-bandingkan.
Keempat, mensyukuri semua hal. Sebagai manusia, sudah sepatutnya bersyukur dalam keadaan apapun. Perilaku ini secara efektif dapat mengontrol hati sehingga lisan pun terkontrol. Dengan bersyukur hati menjadi tenang dan tentunya akan menjadi insan yang paling dicintai Allah dan manusia lainnya.
Kesimpulan
Dengan demikian, meskipun ayat di atas berisi tentang angan-angan hingga membanding-bandingkan yang tidak dibolehkan. Namun penafsiran para ulama di atas menjelaskan kebolehan berangan-angan hingga membanding-bandingkan selama menimbulkan kemaslahatan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu a’lam.
Penyunting: Ahmed Zaranggi
0 comments:
Post a Comment