![]() |
Wartawan senior sekaligus Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Teguh Santosa saat berbicara di Komite 4 Majelis Umum PBB di New York, AS/ |
JAKARTA ( KONTAK BANTEN) Peranan penting media massa berbasis digital dalam proses demokrasi,
khususnya menjelang Pemilu 2024 perlu ditopang dengan produk yang sesuai
kaidah jurnalistik. Karya pers yang profesional sangat dibutuhkan masyarakat sehingga
kontestasi politik menghasilkan figur-figur yang memiliki kemampuan
memadai, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif.
Demikian
antara lain dipaparkan Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI),
Teguh Santosa dalam dialog di RRI, Jumat sore (27/10).
Teguh menambahkan, arti penting media massa berbasis internet ditopang oleh perkembangan platform digital yang telah menjadi arus utama (mainstream platform) di tengah masyarakat.
“Sekarang kita melihat platform digital ini adalah platform
arus utama di mana publik mendapatkan informasi, juga bertukar pikiran
dan gagasan mengenai hampir semua hal. Khususnya mengenai figur-figur
baik yang mengikuti pemilihan di lembaga legislatif maupun yang ikut
pemilihan presiden,” ujar Teguh.
Pada platform digital,
ada dua entitas yang tumbuh bersama dan beriringan. Pertama, media massa
berbasis internet yang bekerja berdasarkan hukum dan aturan pers serta
tunduk pada UU Pers 40/1999, dan kedua adalah media sosial yang
digunakan anggota masyarakat secara personal untuk menginformasikan juga
untuk menyampaikan pandangan.
“Adapun akun media sosial yang
dikelola oleh perusahaan media massa oleh Dewan Pers dinyatakan sebagai
bagian dari produk pers,” urai Teguh.
Teguh juga mengatakan bahwa
pihaknya selalu mengingatkan perusahaan pers yang menjadi anggota JMSI
agar tetap tunduk pada kaidah jurnalistik dalam berkarya.
“Kita
selalu ingatkan agar informasi yang dihasilkan (anggota JMSI)
berorientasi pada nilai-nilai yang produktif, positif, dan konstruktif
bagi kehidupan bernegara. Wabil khusus dalam menghadapi kontestasi
politik,” kata dia lagi.
Saat disinggung soal gesekan di tengah
publik sebagai ekses dari kompetisi politik, Teguh optimistik masyarakat
luas sudah lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan politik.
Teguh
yang pernah menjadi Ketua Bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) membandingkan, kontestasi politik beberapa tahun
belakangan ini diwarnai ketegangan dan perpecahan di tengah masyarakat.
Mulai
dari Pilkada DKI Jakarta 2012, Pemilu dan Pilpres 2014, Pilkada DKI
2017, Pilkada serentak 2018, sampai Pemilu dan Pilpres 2019.
“Kalau
saya lihat kembali rekaman dari tahun-tahun itu, saya cukup optimistik
bahwa isu-isu tradisional yang dikembangkan dalam pemilihan-pemilihan
lalu sudah terjawab. Isu tradisional yang saya maksudkan adalah terkait
SARA. Misalnya 2019 ada dikotomi cebong dan kampret. Ruang publik kita
sangat terpengaruhi oleh wacana itu,” lanjut mantan anggota Dewan
Kehormatan PWI ini.
Saat ini, publik disuguhkan pada tiga
kandidat pasangan capres-cawapres. Menurut mantan Wakil Presiden
Confederation of ASEAN Journalists (CAJ) ini, ketiga pasangan tersebut
memiliki unsur cebong dan unsur kampret.
“Ini bagus, dalam arti publik bisa melihat bahwa kontestasi politik seharusnya memang dijauhkan dari isu primordial,” tegasnya.Di luar dari isu primordial yang memecah-belah, Teguh menilai penting
bagi calon presiden dan wakil presiden untuk lebih berbicara soal
kondisi dan tantangan bangsa Indonesia hari ini dan ke depan.
"Track record
dan rekam karya kandidat penting dikenali publik. Juga penting untuk
mengenali tantangan yang sedang dihadapi bangsa ini, baik domestik,
regional, dan global. Dari situ, publik bisa menilai model kepemimpinan
seperti apa yang dapat membawa bangsa ini mengaruhi lautan tantangan
itu,” tutup Teguh.
0 comments:
Post a Comment