Dua Puluh tiga tahun sudah usia Provinsi
Banten, tepat 4 Oktober tahun 2000 secara resmi Banten memisahkan diri
dari Jawa Barat. Perjalanan panjang pemekaran Provinsi Banten selama
hampir lima dekade baru dapat terwujud pada awal abad Milenium.
Banyaknya cucuran keringat para penggagas pendirian Provinsi Banten
diiringi suka dan duka perlu kita maknai dengan semangat pembangunan
yang bebas dari nuansa koruptif.
Dalam merefleksikan dua puluh tiga tahun
Provinsi Banten, perlulah kita sejenak berkaca ke belakang, apa saja
yang terjadi, kemudian dimaknai bagaimana pembenahan ke depan.
Langkah-langkah yang bersifat resolusi dalam segala aspek pembangunan
berdasarkan lokalitas perlu terus digali guna terwujudnya kesejahteraan
yang diidam-idamkan, secara konkret dan terarah.
Perjalanan Provinsi Banten sejak
berdirinya memiliki lika-liku dan serba serbi yang mewarnai, terutama
masalah pembagian kekuasaan dan kesejahteraan bagi elit-elitnya, pada
akhirnya Banten dikenal dengan Provinsi dinasti dan Pejabat-pejabat
korupnya. Pengakaran politik dinasti di Banten saat ini sudah sampai
pada taraf yang mengkhawatirkan, politik dinasti disini penulis
gambarkan bukan saja dari trah/keturunan, namun lebih jauh pada hegemoni
kekerabatan (baik hubungan darah, bisnis sampai kepada
golongan/partai).
Permasalahan politik dinasti ini,
menyisakan masalah yang begitu kusut, yang mulai terbuka satu demi satu.
Budaya pengkondisian proyek untuk pengusaha-pengusaha tertentu yang
mendukung kekuasaan pemerintah menjadi masalah tersendiri, kemudian
pembentukan program-program pemerintah yang terkesan melindungi kelompok
elit juga nampak jelas di Banten.
Dalam modus-modus pembangunan
infrastruktur, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan pelayanan publik, para
penguasa menanamkan kukunya untuk memilah-milah kelompok yang dapat
diajak bekerja sama (dikondisikan), alhasil banyaklah bermunculan
pengusaha-pengusaha bodong untuk membangun/merawat relasi
pengusaha-pejabat untuk melanggengkan kekuasaan.
Lima Agenda Pembangunan Provinsi Banten Yang Gagal
Konsepsi kesejahteraan menurut para ahli
ialah pendistribusian ekonomi yang merata, kemudahan mengakses sandang
dan pangan, indeks kebahagiaan yang baik, kemudahan mengakses informasi
dan kemudahan dalam pelayanan publik (Ah Maftuchan, 2016).
Apabila kita ukur melalui konsepsi
kesejahteraan, masyarakat Banten saat ini mungkin akan mengatakan hal
yang amsih jauh panggang daripada api saat ini. Kegagalan pembangunan
dari berbagai lini dapat kita ukur dari lima agenda pembangunan yang
belum tercapai di Provinsi Banten, yakni di bidang pendidikan,
kesehatan, pariwisata, Agraria dan Pesisir/Maritim, dan Pelayanan
Publik.
Pertama, pembangunan di bidang
pendidikan masih belum tercapai dikarenakan banyaknya akses yang sulit
ditembus, terutama daerah pinggiran Kabupaten Lebak dan Pandeglang yang
memiliki askes jalan mencapai sekolah ada yang mencapai di atas lima
kilometer. Pembangunan penunjang sarana pendidikan seperti buruknya
kondisi jalan mencapai sekolah ikut mempengaruhi kualitas sekolah
tersebut, dikarenakan jika askes jalannya buruk bukan hanya siswa yang
malas belajar, tetapi gurunya pun turut malas mengajar, aspek lainnya di
bidang pendidikan ialah kesejahteraan guru yang belum terperhatikan
secara penuh, sehingga mempengaruhi kualitas mengajar guru, terlebih
guru honorer yang gajinya tidak sampai satu juta rupiah perbulannya.
Kedua, Pembangunan kualitas kesehatan di
Banten juga masih tergolong terbelakang. Pemerintah Banten saat ini
menggagas pengobatan gratis dengan menggunakan KTP, namun program ini
terhambat dengan pelayanan dari RSUD Banten yang tidak maksimal melalui
prosedural yang cukup rumit, bahkan pengguna BPJS pun tidak langsung
dilayani kala berobat di rumah sakit. Yang perlu dilakukan adalah
pengkoordinasian antar lembaga, agar kekacauan administratif semacam ini
tidak terjadi, karena program bukan hanya sebuah gagasan menarik dan
bagus, namun harus dengan optimisme bersama. Apabila Pemerintah optimis
dalam penanganan kesehatan, akan tetapi RSUD nya spesimis, maka hanya
akan menimbulkan ketelantaran penderita penyakit, maka disini terjadi
disfungsi regulasi/deregulasi (kemandekan regulasi/aturan).
Ketiga, Pembangunan pariwisata yang
belum tertata dengan baik, karena pariwisata di Banten 75% dikelola oleh
privat (swasta), sehinggan pemerintah provinsi tidak memiliki andil
lebih dalam penyerapan pendapatan di bidang pariwisata, seharusnya
pariwisata di Banten dilakukan dengan berbasis lokalitas, artinya
pengelolaan pariwisata dilakukan melalui optimalisasi pemerintahan desa
dengan mengandalkan BUMDES yang berafiliasi dengan Pemerintah melalui
badan usaha milik daerah maupun dengan dinas pariwisata secara langsung,
sehingga linierisasi program ini pun akan berdampak terhadap
pengurangan angka pengangguran di perdesaan.
Keempat, pembangunan agraria atau lebih
akrab kita sebut dengan land reform (Reforma Agraria) melalui Undang
Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Aturan Pokok Agraria masih jauh dari
ketercapaian. Terlalu tingginya kepentingan di atas tanah menjadi momok
tersendiri, alih-alih melakukan pembangunan, pemerintah justru
mendegradasi lahan pertanian secara besar-besaran, sehingga cita-cita
untuk mencapai kedaulatan pangan semakin jauh jaraknya untuk tercapai.
Konflik agraria pun turut mewarnai gejolak konflik. Gejolak konflik yang
terjadi di Banten lebih banyak dilatari oleh kepentingan
industrialisasi ataupun pembangunan kota-kota baru. Alih fungsi semacam
ini secara sadar dimaknai oleh masyarakat akan mendegradasi kearifan
lokal yang ada, tetapi justru pemerintah lebih mengindahkan kepentingan
pengusaha ketimbang suara rakyat yang ingin mempertahankan tanahnya,
untuk masalah ini banyak kasus terjadi di Banten.
Disamping pembangunan bidang Agraria,
penting juga rasanya penulis sampaikan pentingnya pembangunan
kemaritiman/pesisir yang belum tersentuh secara baik oleh pemerintah
Provinsi Banten, pasalnya sampai saat ini banyak keluhan yang dilakukan
nelayan terkait tempat bersandar kapal (dermaga) dan penataan
infrastruktur pesisir, terutama di wilayah Banten bagian selatan, dengan
gelombang laut yang cukup tinggi tetapi kualitas sandaran kapal masih
dikatakan seadanya atas dasar swadaya menurut kemampuan nelayan, belum
tersentuh secara masif. Tentu saja hal ini tidak aman bagi nelayan,
kemudian tidak adanya lembaga keuangan yang mengurusi pinjaman nelayan,
maka kedepan perlu adanya Bank bagi nelayan.
Terakhir, Pelayanan publik sampai saat
ini belum menunjukkan motivasi dari good and clean governence,
sebagaimana dikemukakan di muka bahwa pelayanan publik saat ini masih
bersifat matrealistik, artinya dapat dilakukan pelayanan baik apabila
ada pembayaran atas jasa pelayanannya. Disini aspek keadilan dalam
pelayanan justru dikesampingkan, mengingat masyarakat membutuhkan
pelayanan dengan baik tanpa harus diberikan beban tambahan, seperti
pungutan liar. Itu sudah menjadi tugas pemerintah tentunya.
Perburuan Rente Di Banten
Kondisi-kondisi yang belum tercapai
dengan biak sebagaimana diungkapkan di atas, mesti diperhatikan serius
oleh pengambil kebijakan (legislatif dan pemerintah) secara arif dan
bijaksana dengan mempertimbangkan kepentingan rakyat, bukan dengan
motivasi tertentu kelompok elit. Saat ini kepercayaan publik terhadap
pemerintahan loka tidaklah terlalu baik, hal ini dikarenakan
penguasa-penguasa lokal lebih memperhatikan pengusaha dan investor
ketimbang rakyatnya. Politik rente menyebabkan terjadinya spesimistis
rakyat terhadap pemerintahannya. Maka selanjutkan patut kita kemukakakn
kondisi politik rente di Banten.
Relasi antar pengusaha-penguasa sudah
bukan lagi menjadi barang tabu saat ini, kita disuguhkan sajian-sajian
berita televisi, pemberitaan media cetak dan online terkait dugaan
korupsi pejabat lokal, begitu pula di Provinsi Banten, beberapa tahun
lalu Gubernur Banten ditahan KPK karena suap dan korupsi, beberapa waktu
lalu belum lama juga Walikota Cilegon tertangkap OTT oleh KPK. Memang,
dari awal berdirinya provinsi ini banyak kasus korupsi dari berbagai
sektor, mulai dari korupsi proyek pengadaan perumahan bagi anggota DPRD
Banten yang menjerat mantan ketua DPRD Banten dan mantan Gubernur Banten
pertama, kemudian korupsi alokasi dana pendidikan yang melibatkan
kepala dinas pendidikan, korupsi alat kesehatan yang menjerat gubernur
dua periode, korupsi PT. Banten Global Development (BGD) untuk pendirian
Bank Banten, korupsi perizinan dan masih banyak lagi kasus korupsi
lainnya yang melibatkan pentolan tokoh-tokoh politik lokal.
Tentu saja, proyek-proyek kesejahteraan
kelompok dan individu sangat dipengaruhi besar oleh orang-orang yang
berada di belakang kekuasaan resmi. Syarif Hidayat (2004) pernah
melakukan penelitian di Banten terkait pemburuan rente, bahwa menurutnya
pembangunan di Banten tidak didasarkan pada pemerataan distribusi
kesejahteraan (distribution of wealth) masyarakat, tetapi lebih kepada
distribusi kekayaan penguasa dan pengusaha, tetapi perburuan rente
secara terbuka. Syarif menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa kekuasaan
di Banten dibagi atas distribusi kekuasaan oligarki yang tersebar di
Kabupaten/Kota dan hubungan birokrasi-pengusaha tingkat provinsi,
kemudian pada akhirnya ada sebuah kekuatan yang jauh lebih besar
daripada kekuasaan formal, kemudian disebut shadow state (negara
bayangan) dalam tatanan lokal. Dalam kondisi seperti ini, akan sulit
dalam melakukan pembenahan, karena pengambil kebijakan akan bergantung
pada pemilik modal dan pemerintah dibuat tidak berdaya dihadapan
penguasa tanpa mahkota tersebut.
Perburuan rente sendiri diawali oleh
terlalu intimnya hubungan penguasa dengan pengusaha, kemudian pada
akhirnya kekuasaan harus tunduk pada pengaruh kapital, yang justru akan
menyumbangkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Dalam Teori Ekonomi
Politik yang ditulis Caporaso & Levine (1992) menyebutkan bahwa
kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh struktur sosial ekonominya,
sedangkan struktur tersebut dibentuk oleh sistem, dan sistem dibangun
oleh penguasa. Namun pada akhirnya penguasa sebagai pengambil dan
pelaksana keputusan memiliki perilaku yang dapat merusak sistem yang
dibangun ketika terlalu banyak kepentingan kelompok maupun individu
melakukan intervensi atas kebijakan yang dikeluarkan. Dalam posisi ini
disebut oleh Caporaso dan Levine akan terjadi disparitas ekonomi yang
menyebabkan ketimpangan pada masyarakat.
Resolusi Banten
Permasalahan-permasalahan sebagaimana
yang telah diulas, perlu ditangani dengan beberapa langkah, diantaranya
ialah : (1) mengkoordinasikan secara aktif struktur pembangunan yang
bersifat inklusif kepada Kabupaten/Kota, kemudian dibangun secara
bersama-sama dengan melibatkan masyarakat melalui pemerintahan desa,
mengingat saat ini desa memiliki otonomi untuk membangun pemerintahannya
sendiri; (2) Melikuidasi pengusaha-pengusaha yang memiliki track record
yang kurang baik; (3) meninjau ulang kebijakan investasi agar tidak
merugikan rakyat; (4) Melakukan perencanaan daerah berbasis aspirasi;
(4) Melakukan pembangunan berbasis lokalitas, bukan berbasis
kepentingan.
Apabila daya pemangku kebijakan
melakukan pembangunan bersama-sama melibatkan masyarakat, akan terbentuk
sebuah pemerintahan yang bersih dan terbuka, dan tentunya memiliki
implikasi kebijakan yang baik bagi masyarakat. Paling tidak, apabila
langkah-langkah solutif tersebut dilakukan secara seksama, 10 tahun ke
depan Banten akan menemukan kemajuannya sebagai Provinsi terdepan
penyangga ibu kota, karena jika dihitung dengan matematika ekonomi,
banten memiliki cadangan sumberdaya yang sangat besar, mulai dari
pertambangan, pertanian, perkebunan, pariwisata, kelautan dan perikanan,
ditambah memiliki bonus demografi yang cukup besar. Dengan alasan
tersebut, Banten sebetulnya tidak layak dikatakan sebagai Daerah
terbelakang, namun hal ini dikarenakan mental pejabatnya yang
terbelakang, maka dari itu perburuan rente tidak patut diteruskan.
0 comments:
Post a Comment