JAKARTA ( KONTAK BANTEN) Keprihatinan Presiden RI keempat Megawati Soekarnoputri yang disampaikan melalui pidato politiknya, Minggu (12/11), dinilai oleh Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti sebagai pengingat bagi kita semua, untuk melakukan introspeksi. Menurut LaNyalla, kelemahan sistem demokrasi ala barat yang diterapkan sejak era Reformasi di Indonesia sudah jauh dari cita-cita pendiri bangsa.
“Saat amandemen konstitusi di tahun 1999 hingga 2002 silam, mengganti sistem bernegara itu bukan jawaban, karena ibarat pasien salah obat. Yang terjadi bukannya sembuh, tetapi malah keracunan,” ujar LaNyalla dalam keterangannya, Senin (13/11).
Ditambahkan LaNyalla, saat reformasi, kita seharusnya melakukan Amandemen dengan Teknik Adendum, dengan mengakomodasi tuntutan reformasi, sekaligus memastikan kedaulatan rakyat semakin kuat, tanpa mengganti sistem bernegara.
Pasalnya, rumusan sistem bernegara itu adalah pikiran para pendiri bangsa, yang telah dipelajari dan disepakati, bahwa Indonesia sebagai negara super majemuk dan kepulauan serta tradisi hidup bersama, sudah menemukan sistem tersendiri. Yaitu sistem yang sesuai dengan Pancasila.
“Praktik penyimpangan yang terjadi di era Orde Baru itu yang harus kita benahi total. Seperti penunjukkan utusan golongan oleh presiden, atau utusan daerah yang diisi pejabat di daerah. Juga partai politik yang dikerdilkan, sementara golongan karya direpresentasi dari tiga jalur, ABRI, Birokrasi dan Kekaryaan. Ini kan praktik yang salah, sehingga meskipun Presiden mandataris MPR, tetapi yang berada di MPR nyaris semua orangnya presiden,” urainya.
Karena itu, DPD RI menggagas, agar Indonesia lebih berdaulat, adil dan makmur yang bisa dirasakan di seluruh penjuru tanah air, maka kita harus kembali menerapkan sistem bernegara yang dirumuskan pendiri bangsa, dengan menyempurnakan dan memperkuat, untuk menghindari praktik penyimpangan yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru.
“Bukan lalu kita buang dan kita ganti total dengan sistem liberal. Akibatnya salah obat. Silakan dicek, dari awal 2014 hingga hari ini, bagaimana kualitas demokrasi langsung. Membaik atau memburuk,” tegasnya.
“Biaya pemilu langsung di Pilkada sampai Pilpres yang
terus membengkak, menguntungkan siapa? Lantas siapa yang bisa menjamin
akurasi suara Pilpres dari 800 ribu lebih TPS di Indonesia, selain KPU
sebagai satu-satunya lembaga setingkat komisi yang berwenang menentukan
siapa presiden Indonesia terpilih,” tukas LaNyalla.
Tokoh yang
konsisten memperjuangkan Pancasila kembali menjadi identitas konstitusi
itu juga mengkritik tokoh dan intelektual pro barat yang mengatakan
bahwa proses pemilihan presiden langsung akan semakin membaik dari tahun
ke tahun.
Bahkan ada yang menyatakan Pilpres tahun 2034 nanti puncak Pilpres terbaik.
“Bagi saya, itu asal ngomong saja, karena breakdown milestone-nya dari 2014 tidak ada kok, gak ada bedanya dengan prediksi skor sepakbola,” imbuhnya.
Tokoh asal Surabaya ini mengajak semua pihak menggunakan momentum saat ini untuk secara nasional membangun kesadaran kolektif.
Bahwa
bangsa dan negara ini telah memiliki sistem tersendiri. Bukan sistem
liberal barat, juga bukan sistem komunis timur. Tetapi Pancasila, yang
menempatkan penjelmaan rakyat yang utuh dan lengkap di lembaga tertinggi
negara.
“Presiden itu hanya mandataris, yang diberi tugas untuk
melaksanakan haluan negara yang dibuat oleh penjelmaan rakyat,”
jelasnya.
“Haluan Negara itu adalah wujud kehendak politik
kedaulatan rakyat sebagai pemilik negara. Dimana disusun oleh penjelmaan
yang utuh. Bukan saja oleh mereka yang dipilih melalui pemilu (anggota
DPR), tetapi juga oleh mereka yang diutus dari bawah, yaitu Utusan
Daerah dan Utusan Golongan yang lengkap. Lalu mereka inilah yang memilih
orang yang dianggap sanggup menjalankan itu,” pungkasnya.
0 comments:
Post a Comment