Fatimah Anisah Mahasiswa UI 
Memiliki baju baru untuk 
dia pakai dalam pawai rutin di tengah kota yang biasa dia lakukan. Raja 
pun menyuruh ajudannya untuk memanggil penjahit yang paling hebat. 
Singkat cerita datanglah seorang penipu yang mengaku penjahit hebat dan 
akan menjahitkan baju yang sangat luar biasa indah dan tiada duanya 
untuk sang Raja. Dia pun berlagak mengukur badan sang Raja, mengukur 
tingginya, lingkar perutnya, lebar bahunya, dan lain-lain. Setelah itu 
dia pun mohon diri dan menjanjukan baju itu akan siap esok lusa. 
Hari 
yang ditunggu pun tiba. Raja tidak sabar untuk melihat dan mencoba baju 
barunya. Namun alangkah kecewanya ketika penjahit itu datang dan tidak 
terlihat membawa apapun. “Wahai penjahit, mana baju baru yang kau 
janjikan untukku?” tanya Raja gusar. Penjahit itu pun buru-buru 
berpura-pura mengeluarkan sesuatu, “Mohon maaf Paduka, inilah baju 
terbaik yang saya kerjakan untuk Paduka.“ Dia pun mengulurkan kedua 
tangannya seolah-olah sedang mempersembahkan sesuatu. Raja mengernyitkan
 keningnya karena dia merasa tidak melihat apa-apa, begitu pula para 
ajudan yang mendampingi Raja. Penjahit gadungan itu pun melanjutkan, 
“Tidakkah Paduka bisa melihat keindahannya? Baju ini teramat istimewa 
sebab hanya orang pintar saja yang dapat melihatnya!“ Raja yang langsung
 termakan bualan penipu itu merasa sangat malu karena ia benar-benar 
tidak melihat baju yang dimaksud. Raja pun berpikir betapa memalukannya 
bila ia ketahuan tak dapat melihat baju itu. 
Dengan serta merta Raja pun
 menyahut, “Oh, betul sekali, betapa indahnya baju yang sudah kau buat 
ini, aku sungguh-sungguh menyukainya. Bagaimana dengan kalian?” Raja 
meminta persetujuan para ajudan. Para ajudan yang rupanya sama dengan 
Raja segera menjawab, “Oh, benar sekali Paduka, baju itu memang sangat 
indah!” Mereka kemudian berlomba-lomba memuji baju bualan itu, “Warnanya
 sungguh indah, tidak terlalu mencolok namun sangat berkarakter..” 
Seseorang lagi menimpali, “Lihat jahitannya, sangat rapi dan solid!” 
Seorang lagi tidak mau kalah, “Modelnya sangat orisinil dan berwibawa. 
Raja akan terlihat sangat gagah memakainya!“ Begitulah, kemudian ketika 
dikabari mengenai baju baru Sang Raja, seisi kerajaan pun berlomba-lomba
 berkomentar dan memberikan pujian mengenai baju itu, tidak ada yang 
berani mengakui tidak bisa melihat baju itu karena takut disangka bodoh.
*   *   * 
Cerita di atas mungkin sudah akrab di telinga kita. Dongeng masa kecil 
ini terlintas begitu saja dalam ingatan ketika membaca satu kata: 
Demokrasi. Apa hubungannya demokrasi dengan dongeng tadi? Demokrasi 
tidak ada bedanya dengan baju baru Sang Raja. Demokrasi, seperti halnya 
baju baru Raja, adalah omong kosong. Barangkali menyadari ‘keberadaan‘ 
sesuatu lebih mudah ketimbang menyadari ‘ketidakberadaan‘ sesuatu? 
Demokrasi sebenarnya tidak ada dan tidak pernah ada. Kalau begitu, 
kenapa sesuatu yang tidak ada, dan tidak pernah ada, dikira ada? 
Jawabannya sama juga dengan baju baru Sang Raja: dia diopinikan dan 
dibicarakan oleh semua orang. Raja berkata ada, para ajudan membetulkan,
 seisi kerajaan mengakuinya. Tinggallah rakyat luas. Apa yang terjadi 
ketika Raja melakukan pawai dengan baju barunya itu? Seluruh rakyat 
sudah tidak sabar, penasaran dengan baju baru Sang Raja yang katanya 
hanya akan nampak di mata orang-orang yang pintar saja. Akan tetapi, 
betapa kagetnya rakyat ketika melihat Raja yang mereka bangga-banggakan 
itu diarak keliling kota dan melambai-lambaikan tangannya pada rakyat, 
tersenyum lebar penuh percaya diri dalam keadaan telanjang bulat! Rakyat
 pun terdiam terbingung-bingung, semuanya saling pandang. Tidak ada satu
 pun yang berani mengakui apa yang sebenarnya dilihatnya. Kemudian satu 
demi satu mereka mulai berkomentar, “Ooohh.. betapa indahnya baju baru 
Sang Raja!” satu orang mengawali. “Benar! Ooh Tuhan, seandainya aku bisa
 memiliki baju seperti itu!” yang lain menyahut. “Bodoh! Hanya Raja yang
 pantas memakai baju kebesaran seperti itu!” Sahut-sahutan pun mulai 
terjadi, dan pada akhirnya semua orang mengakui melihat baju baru Sang 
Raja. Begitu pulalah demokrasi, dia tidak pernah berhenti dibicarakan. 
Semua berlomba-lomba memakai slogan ini. Jika ada himbauan, maka 
kalimatnya adalah, “Mari kita pertahankan demokrasi!” Atau, “Jangan 
biarkan demokrasi ini rusak karena ulah sekelompok orang!” Jika sebuah 
lembaga mencanangkan visi dan misi, yang tertulis adalah, “Membangun 
masyarakat demokratis makmur sejahtera.” Jika ada seorang tokoh, maka 
dia dijuluki sebagai “Sang pembela demokrasi“, atau “Sang demokrat 
sejati“. Jika ada pemikiran, maka pemikiran itu adalah kata sifat dari 
demokrasi seperti “Demokrasi Terpimpin“, “Demokrasi Liberal“, “Demokrasi
 with God“, atau “Theo-Demokrasi“, dan lain-lain. Jika membentuk partai,
 maka namanya adalah “Partai Demokrasi Anu“. “Partai Demokrasi itu“, 
“Partai Pokoknya Demokrasi“, “Partai yang Penting Demokrasi“, “Partai 
Insya Allah Demokrasi“, dan lain-lain. Kalau ada penghargaan, maka itu 
adalah medali demokrasi. Di sana demokrasi, di sini demokrasi, demokrasi
 di mana-mana. Walhasil, tidak seorangpun sadar bahwa demokrasi itu 
sebenarnya tidak ada. Mereka tidak akan bisa menunjukkan mana demokrasi?
 Mereka tidak mungkin bisa menyebutkan negara mana yang paling 
demokratis? What a shame! Seperti halnya 
Sang Raja yang telanjang bulat 
keliling kota, betapa memalukannya. Kalau kita mau sadari, maka yang 
terjadi adalah korporatokrasi, bukannya demokrasi. Dan kalau dikatakan 
yang sebenarnya ini, maka dijamin tidak akan ada seorangpun yang 
mendukungnya, kecuali, ya para pemilik korporat-korporat besar itu. Dan 
inilah yang membuat sebuah bangsa terpuruk sedemikian rupa, karena 
rakyatnya terperdaya oleh sistem politik ilusi. Akan tetapi, semoga hal 
ini tidak lama. Kalau kita selesaikan dongeng baju baru Sang Raja, maka 
pada akhirnya ada seorang anak kecil yang innocent, lugu dan jujur, 
meneriakkan, “Raja telanjang!” Raja yang mendengarnya pun kaget dan 
terdiam. Arak-arakan pawai berhenti. 
Semua rakyat ikut terdiam menelan 
ludah. Ibunya anak itu pun ketakutan setengah mati dan mencoba 
membungkam mulut anaknya. Akan tetapi si anak tetap bersuara, “Lihatlah 
Ibu, Raja tidak memakai apa-apa.. Lucu ya?“ Raja pun mulai berkeringat 
dingin. Rakyat saling celingukan dan mulai bergumam-gumam kecil tidak 
jelas. Raja semakin berkeringat dan melirik para ajudannya, akan tetapi 
para ajudannya tidak berani menatap Sang Raja.. dan.. nah, sudahlah, 
tulisan ini tidak perlu dilanjutkan sebelum kita berfantasi yang 
macam-macam. Tentu kita semua sudah hafal dengan ending cerita ini. Yang
 penting sekarang, mari kita melihat realita saat ini. Beranikah kita 
menjadi jujur seperti anak kecil itu? Beranikah mengatakan yang 
sebenarnya tentang demokrasi? Kita tentu kesal ketika ada tokoh Islam 
yang tiap kali berpidato seakan ‘gatal‘ kalau tidak mengucapkan sepatah 
kata demokrasi.  Rasul saw. bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari 
akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam,” (HR. Abu Hurairah). 







0 comments:
Post a Comment