» Untuk menghadapi perubahan iklim maka perlu pendekatan produksi yang lebih ramah iklim.
» Pemerintah diharapkan bisa memastikan petani cabai ikut menikmati keuntungan dari kenaikan harga tersebut.
JAKARTA (KONTAK BANTEN) - Pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian dan Badan Pangan Nasional, belum berniat menangani secara serius dan komprehensif kelangkaan pangan seperti cabai, sehingga harganya melonjak hingga di atas 100 ribu rupiah lebih per kilogram.
Ketidakseriusan instansi terkait itu karena masalah lonjakan harga cabai hampir terulang setiap tahun, namun mereka seolah tidak pernah mengevaluasi untuk menciptakan program terobosan sebagai solusi dari kelangkaan pangan tersebut.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, di Jakarta, Selasa (12/12), mengatakan produksi cabai memang sedang mengalami gangguan karena sebaran serangan virus Gemini cukup luas.
Hal itu menjadi salah satu penyebab produksi menurun dan mengganggu ketersediaan pasokan cabai. Dia mensinyalir kelangkaan pasokan berkaitan dengan fenomena perubahan iklim. El Nino (kekeringan), jelasnya, memberi dampak peningkatan kutu kebul yang menjadi vektor virus dan banyak menyerang tanaman cabai.
Kondisi itu makin parah karena sentra produksi cabai di Indonesia hanya beberapa titik saja, seperti Jawa timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Ketika sentra itu terganggu maka pasokan langsung berkurang.
"Pemerintah semestinya mengembangkan produksi di daerah lain dengan memperhatikan kesesuaiannya," tegas Said.
Hal lain adalah perlu penguatan dan pemerataan waktu produksi selain pemerataan wilayah produksi. Upaya tersebut harus diikuti dengan upaya memperkuat jalur distribusi sehingga sebarannya menjadi merata. "Jika situasi ini tidak bisa dikendalikan maka bukan tidak mungkin cabai impor masuk," tegasnya.
Menurutnya, ini hanya soal keseimbangan pasar saja. Pasar akan mencari jalannya sendiri. Kalau barang tidak ada permintaan tinggi para pengusaha bisa jadi impor karena ada keuntungan di sana.
Untuk menghadapi perubahan iklim maka perlu pendekatan produksi yang lebih ramah iklim.
Dana Politik
Pakar sosiologi sekaligus pengamat pedesaan dari Universitas Brawijaya, Malang, Imron Rozuli, mengatakan perubahan musim memiliki dampak ketersediaan pasokan cabai.
"Kondisi kemarau panjang memang pada wilayah yang irigasi nonteknis jadi masalah menurunnya pasokan. Bisa jadi kondisi ini sampai pilpres dan pileg serta masuk berikutnya di Ramadan. Bahkan cabai bisa menjadi komoditas yang sebagian nisbah gunakan untuk memasok dana politik," kata Imron.
Hal itu bisa jadi ada pola pengendalian harga tetap di posisi di atas harga rata-rata. Namun, memang ini masih asumsi dalam perspektif politik ekonomi. Dia yakin harga cabai akan bertahan di level atas 70 hingga Ramadan. Apalagi, saat ini baru proses penanaman saat mulai musim hujan tiba," katanya.
Sementara itu, pakar pertanian dari Universitas Trunojoyo Madura, Ihsannudin, menengarai pengaruh iklim dan cuaca menyebabkan turunya pasokan cabai, dan ini jamak terjadi pada bulan-bulan seperti sekarang ini. Dia berharap pemerintah dapat memastikan petani cabai ikut menikmati keuntungan dari febonema harga yang mahal.
Kondisi tersebut, jelasnya, tidak perlu terlalu diresahkan manakala tingkat harga tidak berpengaruh signfikan pada kondisi inflasi. Justru ini menjadi kesempatan bagi petani untuk memperoleh pendapatan dari buah karsa yang mampu panen cabai dengan baik di tengah tantangan kondisi cuaca dan iklim.
Sementara itu, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mengatakan masalah di sisi hulu menjadi penyebab kenaikan harga cabai. Hal itu seperti kenaikan biaya produksi seperti pupuk yang minim intervensi pemerintah.
Mungkin juga panen kurang bagus, produktivitas kurang bagus, sehingga mengerek harga jual. Kenaikan harga cabai juga karena pemerintah terlalu fokus urus pemilu, sehingga lupa bagaimana mengendalikan harga bahan pokok (bapok). "Pemerintah cawe-cawe pemilu dan akhirnya malah lupa mengurus rakyat," tegas Anthony.
0 comments:
Post a Comment