Korupsi belum berhenti terjadi di Jawa Barat. Pandemi tidak membuat para pelakunya lebih peduli nasib rakyatnya.
Korupsi kembali menodai tanah Jawa Barat. Kali ini giliran Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna menjadi tersangkanya. Ironisnya, hal itu terjadi saat rakyatnya didera kemiskinan dan kini dipaksa mengecap pahitnya hidup saat pandemi Covid-19.
Kabar buruk itu disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (1/4/2021). Aa menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan barang tanggap darurat bencana pandemi Covid-19 Dinas Sosial Kabupaten Bandung Barat (KBB) tahun 2020. Kejadian ini mengingatkan pada kasus yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari Batubara terkait dana Covid-19.
Gelagat Aa bakal tersandung kasus ini sudah terendus sejak Maret 2020, awal pandemi bergulir. KBB menganggarkan sejumlah dana penanggulangan pandemi Covid-19.
KPK bahkan lantas memeriksa Aa perihal kasus ini pada November 2020. Setelahnya, petugas KPK pun tampak mondar-mandir di KBB. Mereka memeriksa dan menggeledah beberapa kantor pemerintahan hingga yang terakhir rumah Aa Umbara pada pertengahan Maret 2021.
Alex memaparkan, 30 saksi sudah diperiksa. Mereka terdiri dari aparatur sipil negara Pemerintah Kabupaten Bandung Barat dan pihak swasta. Pada Maret 2021, KPK menaikkan status perkara ini ke tahap penyidikan dan menetapkan tiga tersangka. Ketiga tersangka ini antara lain AUS yang menjabat sebagai Bupati Bandung Barat periode 2018-2023.
Sementara itu, dua tersangka lain, AW dan MTG, merupakan pihak swasta yang mendapatkan keuntungan dari praktik korupsi tersebut. Kedua tersangka menjadi penyedia barang-barang pangan untuk bantuan sosial (bansos) tanggap darurat masa pandemi Covid-19. AW tidak lain adalah anak Aa.
Selama kurun waktu April-Agustus 2020, Pemkab Bandung Barat telah membagikan bansos bahan pangan dengan dua paket. Bantuan ini mencakup bansos jaring pengaman sosial (bansos JPS) serta bansos pembatasan sosial berskala besar (bansos PSBB), sebanyak 10 kali pembagian.
”Realisasi anggaran proyek ini mencapai Rp 52,1 miliar. Dari proyek ini, AUS diduga menerima uang sekitar Rp 1 miliar. Sementara itu, MTG diduga menerima keuntungan sekitar Rp 2 miliar dan AW sekitar Rp 2,7 miliar,” papar Alex.
Daerah miskin
Korupsi jelas selalu melahirkan ironi. Namun, di daerah tergolong miskin seperti KBB, praktik itu terasa kian menyakitkan. Semenjak berpisah dari Kabupaten Bandung sejak tahun 2007, KBB selalu menempati peringkat 10 besar daerah dengan persentase kemiskinan tertinggi di Jabar versi Badan Pusat Statistik Jabar. Keberadaan banyak tempat wisata mentereng dan tenar hingga mancanegara tidak sebanding dengan nasib rakyatnya.
Setiap tahun, persentase kemiskinan di daerah berpenduduk mencapai 1,7 juta jiwa ini perlahan menurun. Dari 18,70 persen warga miskin di awal pembentukannya tahun 2007, persentase kemiskinan KBB menyentuh 9,38 persen pada tahun 2019.
Sayangnya, daya tahan itu rentan pecah. Akibat pandemi, persentase jumlah warga miskin ini merangkak naik di angka 10,49 persen dari total sekitar 1,7 juta jiwa pada tahun 2020. Bertambahnya jumlah penduduk miskin ini tentu menambah beban anggaran dalam proyek bantuan sosial.
Bukannya mencari cara jitu, Aa diduga justru memperkaya diri. Pilihan itu seperti melanjutkan perbuatan tidak terpuji yang dilakukan bupati sebelumnya.
Bupati Bandung Barat dua periode 2007-2018 Abubakar juga didakwa menerima setoran dari para satuan kerja perangkat daerah (SKPD) KBB dengan nilai mencapai Rp 1,29 miliar. Dia divonis 5,5 tahun penjara pada akhir 2018, tetapi meninggal saat menjalani masa hukuman pada tahun 2019.
Wajar apabila jagat maya gemas dengan ini. Sepanjang sejarah, KBB baru dipimpin dua bupati. Keduanya tersangkut korupsi. ”KPK sayang KBB”, begitu satu dari sekian banyak komentar di media sosial tentang kasus ini.
Langganan korupsi
KBB tidak sendirian. Noda korupsi telah mewarnai Jabar ratusan kali semenjak otonomi daerah terbuka di bumi pertiwi. KPK mencatat, dalam kurun waktu 2004 hingga Oktober 2020, sebanyak 101 kasus korupsi terjadi di Jabar. Jumlah ini menjadikan Jabar daerah dengan praktik korupsi tertinggi di Indonesia.
Di Subang dan Cimahi, tiga kepala daerah berturut-turut terjerat korupsi bagaikan operan tongkat estafet.
KBB juga berpotensi masuk dalam kelompok daerah dengan tiga kali kasus korupsi berturut-turut. Sebelumnya ada Kota Cimahi dan Kabupaten Subang yang ketiban pola itu. Di Cimahi, korupsi dilakukan Itoc Tochija (2001-2012), Atty Suharti (2012-2017), dan Ajay M Priatna (2017-2022).
Atty dan Ajay ditangkap saat menjabat. Sementara Itoc tertangkap saat bersama Atty dalam kasus korupsi pembangunan Pasar Atas, Cimahi, tahun 2016. Sementara itu, Ajay ditangkap terkait perizinan rumah sakit di Cimahi, November 2020.
Di Subang, tiga kepala daerah berturut-turut terjerat korupsi bagaikan operan tongkat estafet. Eep Hidayat, Bupati Subang periode 2003-2013, ditangkap KPK dan didakwa korupsi terkait upah pungut Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun 2011.
Ojang Suhandi, yang dulu menjadi Wakil Bupati Subang, naik menggantikan Eep sebagai Subang. Selanjutnya, Ojang pun terpilih sebagai Bupati Subang periode 2013-2018 dari pemilihan langsung.
Belum selesai menjabat, Ojang terjerat korupsi terkait Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tahun 2016. Pucuk pimpinan pun digantikan wakilnya, Imas Aryumningsih. Ternyata, saat menjabat bupati, Imas juga terjerat kasus korupsi terkait proyek Pelabuhan Patimban tahun 2018.
Raja kecil
Otonomi daerah bagaikan pisau bermata dua. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf memaparkan, di satu sisi, otonomi daerah bisa meningkatkan pelayanan publik. Namun, kondisi itu berpotensi menimbulkan penguasa-penguasa yang memainkan regulasi demi keuntungan pribadi.
Keuntungan ini dapat berupa memperkaya diri atau melanggengkan kekuasaan dengan membentuk dinasti politik. ”Jadi, bisa saja terbentuk apa yang dinamakan raja-raja kecil. Semua diputarbalikkan agar terlihat celah hukumnya. Mereka bisa memanfaatkan kelemahan sistem hingga memanfaatkan kekompakan dari pejabat-pejabat di bawahnya,” papar Asep.
Saat biaya politik tidak rasional, para pejabat akan memanfaatkan kekuasaannya untuk mengganti biaya politik ini. Tidak ada istilahnya makan siang gratis, pasti ada imbalannya.
Selain itu, tutur Asep, ongkos politik untuk memenangi pemilihan kepala daerah yang besar juga berpotensi terhadap upaya ”balas budi” yang dilakukan kepala daerah kepada para sponsornya. Karena itu, upaya timbal balik inilah yang menjadikan kepala daerah kerap terjerat korupsi.
”Saat biaya politik tidak rasional, para pejabat akan memanfaatkan kekuasaannya untuk mengganti biaya politik ini. Tidak ada istilahnya makan siang gratis, pasti ada imbalannya,” ujar Asep.
Untuk mengantisipasi kejadian serupa terjadi kembali, Asep berpendapat, pemerintah harus memperkuat pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Penggunaan teknologi informasi dan elektronik diharapkan bisa membantu pengawasan tersebut untuk mendapatkan transparansi dalam setiap transaksi.
”Intervensi teknologi dalam setiap transaksi diharapkan bisa memastikan transparansi. Semua bisa melihat siapa yang menerima dan memanfaatkan uang rakyat. Kalau perlu, ada pembuktian dari perkembangan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Kita bisa lihat perkembangan kekayaan para pejabat,” ujarnya.
Menurut Asep, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih perlu disiapkan saat pemekaran wilayah dilaksanakan. Apalagi, Gubernur Ridwan Kamil menargetkan 40 kabupaten dan kota untuk wilayah Jabar.
Kamil beralasan, jumlah tersebut dianggap ideal dengan menggunakan rasio 1 juta penduduk untuk satu daerah administratif. Jadi, jumlah tersebut memenuhi kebutuhan penduduk Jabar yang mencapai 50 juta penduduk atau hampir seperlima dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 270 juta jiwa.
”Ini menjadi perjuangan keadilan, yaitu pemekaran wilayah. Saat ini Jabar baru 27 daerah, padahal Jabar harus punya 40-an kabupaten/kota. Perjuangan akan panjang, tapi harus terwujud,” ujarnya.
Panjangnya perjuangan ini harus disertai penguatan pengawasan dan peningkatan integritas setiap kepala daerah. Jika tidak, ongkos politik tinggi dan otonomi hanya akan menusuk mati nasib warga karena korupsi tidak pernah menaruh belas kasih. Di Bandung Barat, hak warga yang tengah menderita gara-gara pandemi juga disikat begitu saja.
Oleh Vena Damayanti Ketua BEM Universitas Tri Sakti Jakarta
0 comments:
Post a Comment