Oleh: Arif Supriyono Ketua Lintas Mahasiswa Indonesia
Istilah ini begitu populer. Bahkan masyarakat luas pun banyak yang tahu dan mengerti istilah itu dalam bahasa aslinya.
Ya,
istilah dalam bahasa Latin vox populi vox dei sudah begitu mendunia.
Dalam bahasa Indonesia, kalimat sakti ini memiliki makna ‘suara rakyat
adalah suara Tuhan’. Suara rakyatlah yang akan menentukan hitam dan
putihnya panggung politik atau yang menentukan hasil dari kontes
politik/pemilu.
Awal mulanya, istilah itu lebih dikenal
dalam dunia peradilan. Para pengadil dianggap sebagai wakil Tuhan di
muka bumi. Oleh karena itu keputusan para hakim harus mencerminkan
keadilan, suatu tindakan yang hanya bisa dimiliki oleh Tuhan.
Agar
keputusan hakim mendekati keadilan yang sesungguhnya, maka para
pengadil itu harus memahami benar suara rakyat. Paling tidak, keputusan
hakim ini harus mendekati kehendak atau suara Rakyat banyak.
Dalam konteks inilah suara rakyat dianggap sebagai penyampai kehendak
Illahi. Pengadil yang membawa aspirasi masyarakat luas dianggap
mengusung suara Tuhan.
Dalam perkembangannya, istilah suara
‘rakyat adalah suara Tuhan’ lebih menempel ke panggung politik. Kehendak
rakyat mayoritas akan sangat menentukan dalam suatu proses politik atau
pemilihan umum. Begitu kuatnya kehendak rakyat itu, maka tak ada
kekuatan lain yang secara moral bisa membendungnya.
Untuk
alasan itu pulalah maka proses politik yang melibatkan seluruh
masyarakat secara langsung dianggap sebagai sesuatu yang ideal. Jika
proses atau keputusan politik itu disampaikan lewat perwakilan yang
sering kali bersifat transaksional alias dagang sapi, maka itu dianggap
tak sesuai dengan kehendak rakyat atau suara Tuhan.
Semula
saya sepenuhnya sepakat dengan kalimat sakti yang menjadi landasan
setiap penyelenggaraan pemilu. Namun kali ini, saya tak lagi percaya
kalimat sakti tersebut. Betapa tidak, bau busuk dalam pelaksanaan pemilu
legislatif lalu begitu terasa menyengat.
Tak hanya antara caleg dengan konstituen, praktik politik uang yang sangat marak juga terjadi antara caleg beserta tim suksesnya dengan para pelaksana pemilu, mulai dari Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), hingga penyelenggara pemilu di tingkatan yang lebih tinggi. Bahkan kongkalikong untuk memberikan suara pada caleg tertentu sudah diskenariokan sejak sebelum pelaksanaan pemilu.
Dua orang teman saya yang menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) di Jakarta dan Jawa Barat mengutarakan hal itu. Menurut cerita teman saya sebulan menjelang pemilu 9 Desember 2020 , beberapa anggota PPS di wilayahnya sering tak datang saat diundang untuk rapat sosialisasi oleh KPUD. Anehnya, mereka justru hampir selalu hadir ketika caleg tertentu melakukan sosialisasi atau temu kader.
Teman saya yang anggota KPUD itu sempat menanyakan, mengapa hal itu bisa terjadi? Jawaban mengejutkan justru datang dari petugas PPS tadi. Para penyelenggara pemilu itu mengutarakan, dengan honor hanya Rp 200 ribu atau Rp 300 ribu per bulan, apa yang bisa mereka lakukan? Dengan sadar, sang penyelenggara pemilu itu mengatakan ingin mencari nafkah tambahan. Dalam praktiknya, tambahan nafkah itu dilakukan dengan ‘bermain mata’ bersama sang caleg. Tak heran utak-atik formulir kertas suara C1 pun banyak dilakukan meski hasil resminya sudah ditandatangani oleh para saksi.
Tanpa ragu, sang penyelenggara pemilu bahkan menawarkan sejumlah suara pada si caleg dengan imbalan uang. Per suara ada yang ditawarkan dengan harga Rp 50.000 hingga Rp 200.000, tergantung untuk kursi DPRD atau DPR. Untuk kursi DPR, harga per suara yang ditawarkan memiliki nilai lebih tinggi.
Belum lagi kalau kita lihat lolosnya seorang calon anggota Dewan Perakilan Daerah meski dia dianggap memiliki rekam jejak tak baik, yaitu cacat moral. Sang calon anggota DPD itu seorang mantan bupati, yang pernah dihujat khalayak luas dan akhirnya dicopot dari jabatannya karena kasus menikah siri yang dijalani hanya dalam hitungan hari.
Bukan hanya itu, cara dia menceraikan sang istri juga dianggap tak berperikemanusiaan, yakni hanya lewat pesan singkat (sms) dengan dalih sang istri dinilai sudah tak perawan. Aneh bian ajaib, sang caleg ini melenggang lolos sebagai anggota DPD. Perolehan suaranya pun menakjubkan, lebih dari satu juta orang yang mencoblosnya.
Bila fakta seperti itu yang terjadi, maka itu adalah suara setan. Suara setanlah yang sangat mudah dipengaruhi untuk hal-hal buruk atau dikomersialkan tetapi tidak pada tempatnya. Suara setan pula yang memihak atau memilih caleg busuk. Wallahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment