JAKARTA (KONTAK BANTEN) - Indonesia perlu mendongkrak kinerja sektor industri untuk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi ke depan. Selain dongkrak kinerja industri, pemerintah juga harus mendorong iklim kompetisi di Indonesia semakin membaik.
Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Indonesia (UI), Rizal Edi Halim, menilai Indonesia terlambat mendorong
industrialisasi. Padahal jika dari dulu dilakukan, hasilnya sudah
dinikmati sekarang.
"Seharusnya sejak lama kita mendorong industrialisasi agar meningkatnya multiplier effect, nilai tambah barang yang kita produksi," tegas Rizal.
Industrialisasi kita, terangnya, memang masih belum maksimal
dengan berbagai tantangan tentunya faktor produksi, seperti tenaga
kerja, regulasi, situasi politik, dan sebagainya sangat berdampak pada
perkembangan industri nasional.
"Kalau dikatakan industrialisasi sebagai sektor pendorong
mestinya sejak lama kita sudah melewati proses industrialisasi tersebut,
sehingga kita tidak hanya berada pada perdagangan bahan mentah, bahan
baku, tetapi sudah ada nilai tambah," urai Rizal.
Dia menekankan bahwa sektor industri harus menjadi pemberi nilai
tambah bagi perekonomian Indonesia karena nantinya bakal berdampak pada
sektor-sektor yang lain.
Sebelumnya, Ekonom Utama Departemen Riset Ekonomi dan Kerja Sama
Regional Bank Pembangunan Asia atau Asian Developmenta Bank (ADB), Arief
Ramayandi, di Jakarta, Kamis (16/5), mengatakan ADB memprediksi
Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen pada
2024 dan 2025 dengan penopang utama Produk Domestik Bruto (PDB) masih
konsumsi rumah tangga, sedangkan kontribusi ekspor pada tahun ini
diperkirakan masih lemah.
Masih lemahnya ekspor, jelas Arief, sebagai imbas dari gejolak
perekonomian global, yang dampaknya tidak hanya dirasakan Indonesia,
namun juga oleh berbagai negara lainnya.
Kendati masih melemah, dia menilai kondisi ekspor telah melewati
masa-masa krusial dan mulai menunjukkan pemulihan, meski belum cukup
memadai untuk menjadi andalan pertumbuhan PDB.
"Permintaan domestik akan menjadi faktor yang mendorong
pertumbuhan dan menghilangkan dampak negatif dari net ekspor," kata
Arief.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia di triwulan I-2024 yang tercatat 5,11 persen secara
tahunan (year on year/yoy), menjadi yang tertinggi sejak tahun 2015.
Dari segi besaran Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga
Berlaku tercatat sebesar 5.288,3 triliun rupiah, sedangkan PDB Atas
Dasar Harga Konstan mencapai 3.112,9 triliun rupiah.
Secara sektoral, penyumbang utama ekonomi triwulan I-2024 dari
sisi produksi berasal dari industri pengolahan, perdagangan, pertanian,
konstruksi, serta pertambangan dan penggalian.
Kelima sektor tersebut menyumbang pertumbuhan ekonomi secara
positif dengan total kontribusi mencapai 63,61 persen persen terhadap
PDB.
Kemudian dari sisi pengeluaran, penyumbang utama pertumbuhan
ekonomi triwulan I-2024 berasal dari Konsumsi Rumah Tangga dan
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Konsumsi rumah tangga dan PMTB
memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB masing-masing sebesar 54,93
persen dan 29,31 persen.
Pada triwulan I-2024, konsumsi rumah tangga menjadi sumber
pertumbuhan ekonomi Indonesia tertinggi yakni sebesar 2,62 persen.
Beri Dampak Langsung
Pakar ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI),
Surabaya, Leo Herlambang, yang juga diminta pendapatnya, mengatakan
pernyataan ekonom ADB tersebut memang benar, namun industri padat karya
tidak boleh ditinggalkan jika pemerintah memang ingin membangun
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
"Pendapat ekonom utama ADB itu betul, tetapi ada tapinya.
Mendorong aktivitas industri jangan hanya yang padat modal, tapi juga
yang bersifar padat karya," kata Leo.
Sebab, industri padat karya akan memberikan dampak kepada
perekonomian langsung karena mengurangi pengangguran dan lebih luas
putaran ekonominya.
"Saya sangat setuju karena selama ini proses industrialiasi terjadi karena competitiveness barang
(hasil produksi industri) kita selama ini kurang, dan itu harus
difasilitasi. Jadi, pemerintah jangan hanya menerapkan faktor
perpajakan, menerapkan industri masuk atau apa saja, tetapi juga harus
menciptakan dampak nyata lain, khususnya penciptaan tenaga kerja,"
tuturnya.
0 comments:
Post a Comment