Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI resmi merilis daftar nama calon legislatif sementara (DCS) pada Jumat, 18 Agustus 2023. Sekitar 9.919 nama bakal calon legislatif memenuhi syarat untuk ikut dalam kontestasi Pemilu 2024. Dari ribuan nama tersebut, sejumlah nama memiliki hubungan keluarga sehingga tampak adanya politik dinasti. Ada beragam hubungan yang terjalin, mulai dari kerabat, kakak beradik, suami istri hingga keluarga lengkap, yaitu ayah, ibu, dan semua anaknya.
Bahaya Besar
Dalam laman resmi Mahkamah Konstitusi, politik dinasti diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Politik kekerabatan ini bukan sesuatu yang baru. Benihnya sudah lama berakar dalam masyarakat secara tradisional. Sekarang, politik dinasti muncul dengan strategi baru melalui jalur politik prosedural, yaitu melalui institusi partai politik.
Majunya beberapa orang yang memiliki hubungan keluarga sebagai bakal calon anggota legislatif dalam Pemilu 2024 adalah cerminan politik dinasti hari ini. Anggota legislatif memang tidak sama persis dengan posisi penguasa, tetapi dalam sistem demokrasi hari ini, mereka punya banyak kuasa. Bahkan, posisinya sangat strategis untuk menjadi mitra penguasa dalam menentukan kebijakan negara, juga dalam memuluskan agenda dan kepentingan penguasa.
Para anggota dewan ini memiliki banyak tugas dan wewenang yang erat kaitannya dengan tanggung jawab penguasa. Bahkan, mereka bisa menentukan keberlangsungan kekuasaan yang ada di tangan penguasa. Sebaliknya, mereka pun dapat disandera oleh penguasa untuk melegalisasi kehendak penguasa yang menyimpang dari yang seharusnya.
Dalam sistem demokrasi, selain fungsi aspirasi, para wakil rakyat ini juga memiliki fungsi legislasi, anggaran, maupun pengawasan. Tiga fungsi ini jelas berhubungan langsung dengan pihak pemegang kekuasaan. Oleh karena itu, terbuka peluang kerja sama saling menguntungkan antara anggota dewan dengan penguasa. Mereka bisa bekerja sama untuk melanggengkan kekuasaan penguasa, sekaligus jalan untuk meraih peluang yang sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Politik dinasti jelas akan memudahkan kerja sama yang terjalin sekaligus memuluskan tujuan yang hendak diwujudkan, baik tujuan individu penguasa maupun individu anggota dewan dan juga partainya. Mereka (penguasa dan anggota dewan) bersekongkol untuk mendapatkan aneka rupa manfaat. Sementara itu, rakyat hanya bisa gigit jari melihat wakil yang dipilih dan didukung melupakannya setelah kursi anggota dewan teraih. Para wakil rakyat itu mengkhianati janji manis yang mereka “nyanyikan” saat kampanye.
Paradoks Demokrasi
Politik dinasti memang tidak selalu buruk. Namun, sistem demokrasi yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat dan suara terbanyak yang menang, telah menjadi jalan untuk meraih suara mayoritas. Wajar jika partai berkoalisi dengan penguasa karena kekuasaan memiliki beribu jalan untuk mencapai tujuan. Sayangnya, tujuan tersebut bukanlah membela rakyat sebagaimana jargon yang demokrasi dengungkan, ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’.
Realitas hari ini menunjukkan, praktik demokrasi yang merupakan anak kapitalisme, cenderung berpihak kepada oligarki, penguasa sesungguhnya. Sementara itu, negara hanya menjadi fasilitator dan alat stempel kebijakan yang menguntungkan oligarki. Anggota dewan tinggal mengaminkan karena sejatinya mereka yang membangun politik dinasti, setali tiga uang dengan oligarki. Inilah bencana besar bagi rakyat yang diwakili oleh anggota dewan. Para wakil rakyat ini totalitas dalam mewakili rakyat, pun dalam merasakan kesejahteraan.
Politik dinasti adalah satu keniscayaan dalam demokrasi. Kemenangan yang didasarkan kepada suara terbanyak membuat semua partai berusaha meraihnya. Karena demokrasi adalah sistem politik berbiaya mahal, jadilah individu yang berkualitas, tetapi miskin modal, terhalang untuk maju menjadi calon anggota dewan.
Hanya mereka yang bermodal besarlah yang mampu maju dan menjadi wakil partai. Jelas partai lebih memilih orang bermodal besar sebagai calon mereka untuk duduk di kursi lembaga perwakilan. Mahar politik menjadi tradisi yang tidak terelakkan. Ketika ambisi parpol untuk meraih kemenangan bertemu dengan syahwat politik individu pemilik modal, maka terwujudlah politik dinasti. Kolaborasi busuk ini jelas melanggengkan praktik politik dinasti.
Jadilah aktivitas politik yang awalnya menjadi hak setiap warga negara gagal terwujud. Selain itu, praktik seperti ini memungkinkan terpilihnya individu yang tidak memiliki kemampuan berpolitik dan menjalankan peran sebagai wakil rakyat. Inilah ketidakadilah dalam berpolitik yang terwujud nyata. Hal ini menjadi bukti bahwa demokrasi itu sendiri yang memuluskan tegaknya politik dinasti.
Rendahnya kesadaran rakyat untuk mengenali calon wakil mereka juga berkontribusi terhadap adalnya politik dinasti. Apalagi dengan politik uang, rakyat menutup mata atas calon yang ada. Pragmatisme politik ini terjadi sebagai dampak rendahnya pendidikan politik untuk rakyat, juga dampak dari kemiskinan yang mencengkeram hidup mereka. Rakyat tak peduli siapa yang menjadi calon wakil mereka, yang penting uang
Harus Dihilangkan
Politik dinasti jelas harus dibuang karena menggerus kesempatan individu yang berkualitas dan berkemampuan yang benar-benar berjuang untuk menjadi penyambung lidah rakyat. Akibatnya, partai hanya menjadi mesin politik yang tujuannya kekuasaan semata. Fungsi partai politik akan tersumbat dan tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai penjaga kekuasaan agar berjalan pada jalur yang seharusnya, yaitu mengurus dan menyejahterakan rakyat. Rakyat terabaikan akibat kebijakan negara yang berpihak pada oligarki yang bersembunyi di balik pemerintahan maupun anggota dewan.
Selain meminggirkan individu di luar lingkaran keluarga bermodal besar, politik dinasti juga memuluskan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang jelas merusak mekanisme kerja dan merugikan rakyat. Kondisi ini akan menghalangi terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance) yang selama ini didengung-dengungkan akan tercapai melalui penerapan demokrasi. Inilah paradoks demokrasi. Lagi-lagi rakyat menjadi korban.
Wakil Rakyat dalam Islam
Wakil rakyat jelas memiliki peran strategis dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan Islam, struktur ini disebut sebagai Majelis Umat. Anggota Majelis Umat dipilih dari individu-individu yang menjadi representasi umat atau rakyat.
Majelis Umat dalam sistem Khilafah memiliki dua peran. Peran pertama adalah menjadi rujukan khalifah dalam meminta nasihat atas berbagai urusan. Dalam hal ini, Majelis Umat memberikan pendapat atau dimintai pendapatnya oleh khalifah dalam berbagai hal praktis terkait dengan pengaturan urusan umat.
Peran kedua adalah mewakili umat dalam memberikan muhasabah lil hukam, yaitu mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan. Majelis Umat mengontrol dan mengoreksi pelaksanaan tugas dan kebijakan penguasa. Tentu saja yang menjadi standar adalah aturan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunah. Majelis Umat mengingatkan penguasa apabila mereka mekanggar hak rakyat, melalaikan kewajibannya terhadap rakyat, menyalahi hukum Islam, atau menggunakan hukum selain yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Peran Majelis Umat ini jelas berbeda dengan tugas dan wewenang anggota dewan dalam sistem demokrasi hari ini. Anggota Majelis umat dipilih dari anggota Majelis Wilayah. Anggota Majelis Wilayah akan memilih anggota Majelis Umat. Metode pemilihan ini merupakan metode yang praktis, sederhana, dan hemat biaya, tetapi menghasilkan wakil umat yang memiliki kapabilitas dan amanah.
Anggota Majelis Wilayah sendiri dipilih oleh umat secara langsung di masing-masing wilayah yang setara dengan provinsi dalam sistem pemerintahan hari ini. Mereka adalah representasi umat di masing-maing wilayah. Siapa pun ia, warga negara muslim, balig, dan berakal sehat dapat dipilih menajdi anggota Majelis Wilayah, laki-laki maupun perempuan. Demikian pula ahludz dzimmah, yaituwarga negara yang bukan muslim, dapat menjadi angota Majelis Wilayah dan Majelis Umat dengan batasan wewenang sesuai dengan aturan Islam.
Dalam sistem Islam, dengan kehidupan yang berlandaskan akidah Islam dan penerapan seluruh sistem kehidupan berdasarkan Islam secara kafah, individu rakyat adalah orang yang beriman dan bertakwa pada Allah dan memiliki sifat amanah. Hidup seorang muslim ditujukan untuk mencari rida Allah, bukan jabatan, kekuasaan, dan harta.
Pun demikian halnya dengan anggota Majelis Umat. Mereka mengabdikan hidupnya untuk beramal saleh dan menjaga tegaknya aturan Allah. Dengan demikian, gambaran wakil rakyat sebagaimana hari ini, apalagi politik dinasti untuk kepentingan individu dan partai yang bersifat duniawi semata, tidak lazim dijumpai.
Kesadaran akan adanya pertanggungjawaban di akherat akan menjadi benteng penjaga para anggota Majelis Umat agar berada dalam ketaatan kepada Allah. Keanggotaan mereka dalam Majelis Umat merupakan bentuk fastabiqul khairat, sebagai bekal dalam menghadap Allah kelak. Kalaupun ada yang melanggar, maka sistem Islam memiliki mekanisme untuk menyelesaikannya dengan cara yang membuat jera.
Keberadaan Majelis Umat sebagaimana dalam tuntunan Islam akan menjaga tegaknya aturan Allah dan Rasul-Nya, dan menjadikan pengurusan rakyat berjalan dengan semestinya. Negara gemah ripah loh jinawi, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negara yang sejahtera dalam curahan keberkahan Allah, yang menjadi cita-cita dan dambaan umat, akan terwujud nyata. [
0 comments:
Post a Comment