Setelah hampir dua dekade sejak naskah Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) pertama kali disusun pada 2008, akhirnya RUU ini berhasil masuk ke dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2023. Namun demikian, sejak Presiden Joko Widodo mengirimkan Surat Presiden (Surpres) ke DPR, belum juga ada sinyal pembahasan.
Keengganan DPR untuk menyepakati RUU PATP dalam rapat paripurna patut diduga karena RUU ini mengatur tentang norma unexplained wealth, atau dugaan kepemilikan kekayaan secara tidak sah. Norma yang jika menjadi hukum positif, akan menyasar para pejabat publik (termasuk anggota dewan) dengan profil kekayaan yang tidak sesuai dengan pendapatan maupun LHKPN yang disampaikan ke KPK.
Hal ini patut dikritisi, terutama jika melihat bagaimana peliknya upaya pemulihan kerugian negara di lapangan. Sebagai contoh, kerugian keuangan negara yang timbul dari tindak pidana korupsi di tahun 2022 saja mencapai angka Rp 48,786 triliun, dengan tingkat pengembalian kerugian melalui pidana tambahan uang pengganti hanya sebesar 7,83 persen dari total kerugian negara atau setara Rp 3,821 triliun.
Tentu saja RUU PATP tidak hanya mengatur soal kerugian akibat tindak pidana korupsi, melainkan juga kejahatan lain yang berdimensi ekonomi seperti, penghindaran pajak, perdagangan orang, penipuan, penggelapan dan perusakan lingkungan. Human Rights Watch mencatat, kerugian yang diderita Indonesia karena pajak dan royalti yang tidak terpungut akibat pembalakan liar di tahun 2006 adalah sebesar US$ 2 miliar.
Upaya pemulihan kerugian dari berbagai tindak kejahatan tersebut masih jauh panggang dari api. Padahal peristiwanya terus menerus terjadi ditambah biaya penanganannya pun tidak kecil. Kita ketahui bersama, negara selalu mengalokasikan anggaran untuk penegakan hukum. Misalnya pada tahun 2022 total anggaran yang dialokasikan negara untuk penegakan hukum perkara korupsi di tingkat penyidikan adalah Rp 449 miliar, untuk menjerat tersangka sebanyak 2.772 orang. Jumlah tersebut belum termasuk untuk penegakan hukum tindak pidana ekonomi selain korupsi yang juga tersebar di Kementerian/Lembaga.
Berkaca pada temuan-temuan di atas, regulasi perampasan aset yang responsif terhadap perubahan modus tindak pidana berdimensi ekonomi menjadi kebutuhan mendesak. Apalagi modus terus berkembang dan terbilang kompleks melampaui batas-batas negara. Itu artinya regulasi perampasan aset yang akan dibentuk seharusnya mengakomodasi norma-norma dan pendekatan hukum yang lebih progresif, salah satunya dengan menerapkan asas non-conviction-based asset forfeiture (NCB) atau perampasan aset tanpa pemidanaan.
Urgensi perampasan aset tanpa pemidanaan
Naskah RUU PATP yang diserahkan oleh pemerintah kepada DPR RI memang sudah mengakomodasi asas NCB. Namun, penerapannya masih bergantung pada proses penegakan hukum pidana atas tersangka atau terdakwa dengan kondisi yang sangat spesifik. Kualifikasi situasi yang memungkinkan perampasan aset tanpa pemidanaan terjadi manakala tersangka atau terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, tidak diketahui keberadaannya atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a-d jo. Pasal 7 ayat (1) huruf a-b RUU PATP 2023.
Jika pengaturan tersebut tidak diperbaiki, maka RUU PATP tidak berbeda dengan norma NCB yang telah ada dan tersebar di sejumlah regulasi. Misalnya saja dalam Pasal 32 UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mensyaratkan kepastian dari penanganan perkara pidana atas tersangka atau terdakwa, sebelum akhirnya dapat mengajukan permohonan perampasan aset kepada pengadilan.
Intinya, semangat penerapan asas NCB atau pendekatan in rem dalam perampasan aset, berfokus pada aset bukan orang. Jika dibandingkan dengan penerapan asas NCB di negara lain seperti Belanda dan Belgia, dimana penegak hukum maupun lembaga pengelola aset dapat langsung mengajukan permohonan penyitaan dan perampasan aset melalui mekanisme hukum perdata tanpa harus menunggu pembuktian pidana. Sehingga selama sudah ada dugaan kuat bahwa aset tersebut digunakan untuk, diperoleh, atau merupakan hasil dari perolehan tindak pidana, maka aset bisa dirampas.
Pembahasan dan pengesahan RUU PATP tentu harus terus didorong dan dikawal agar sejumlah rumusan pasal dalam naskah yang sudah diserahkan ke DPR RI dapat diperbaiki sesuai semangat penerapan perampasan aset. Jika tidak dilakukan maka RUU PATP dapat berakhir sebatas formalitas dengan tetap menempatkan aparat penegak hukum maupun institusi perampas aset bekerja tanpa taji.***
0 comments:
Post a Comment